Mendambakan Pemimpin Negarawan

Mendambakan Pemimpin Negarawan

Kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa erat kaitannya dengan kualitas pemimpin. Terkait hal ini sudah banyak contohnya, bahkan semua orang sudah mafhum. Sebut saja Nabi Muhammad SAW. Ketika membangun Madinah. Kota yang sebelumnya bernama Yastrib itu di bawah kepemimpin Sang Revolusioner sejati berubah menjadi negara paling beradab pada kala itu. Tak hanya itu, dalam konteks ke-Indonesiaan, Soekarno dan para founding fathers lainnya juga—dengan segala prestasi, dedikasi, dan loyalitasnya kepada negara—mampu mengeluarkan Indonesia dari jeratan penjajahan asing yang sudah beratus-ratus tahun lamanya menjajah Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah memiliki pemimpin negarawan. Pemimpin negarawan adalah pemimpin yang mendedikasikan seluruh tenaga, harta, dan pikirannya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam bahasa Bung Hatta, pemimpin itu menderita. Menderita bukan karena tidak mempunyai harta, melainkan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Pernyataan ini akan semakin terbukti manakala kita benar-benar mempelajari kehidupan para angkatan 45 dengan penuh hikmat dan teliti.

Beda zaman tentu meniscayaan perbedaan keadaan dan perjuangan. Memang, secara riil kondisi masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan era kepemimpinan 45 atau pasca reformasi. Akan tetapi, dari segi moral, etika, dan perjuangan, generasi 45 belum ada yang menandinginya. Dalam kondisi ini, mereka berpolitik untuk rakyat, bukan untuk kepentingan suatu golongan.

Adegan pertaruhan dua lembaga negara belakangan ini cukup menyita publik. Tak hanya menyita, publik juga banyak menilai bahwa ranah politik saat ini sudah melenceng dari hakikatnya. Dulu, orang berpolitik karena panggilan, bukan karena uang atau jabatan. Bagi mereka, politik adalah seni untuk mengatur negara dengan parpol sebagai kendaraannya. Inilah hakikat politik sesungguhnya. Namun, tidak dengan sekarang ini. Politik saat ini sudah dipenuhi oleh aktor-aktor kotor. parpol sekarang tidak lebih dari kios kelontong yang menjual jasa. Lebih dari itu, ideologinya adalah laba.

Defisit Pemimpin Negarawan
Kegaduhan politik yang ditandai kisruh antar dua lembaga penegak hukum dan tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legeslatif disebabkan karena minimnya, bahkan semakin memudarnya pemimpin berintergritas. Di sinilah letak persoalannya bahwa saat ini Indonesia sedang krisis pemimpin negarawan. Pemimpin negarawan adalah mereka yang memiliki dedikasi tinggi, loyalitas, dan intergritas.

Pemimpin negarawan tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok, melainkan kepentingan bersama demi tujuan sama: mewujudkan Indonesia sejahtera. Kita patut miris. Bagaimana tidak, dalam beberapa dekade belakangan ini puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang terobsesi menjadi pemimpin negari. Namun, mereka hanya menjadi pemimpin dalam julukan takaran saja, tidak dilengkapi dengan integritas dan kapasistas mumpuni. Akibatnya, negeri ini karut-marut ketika yang menguasai kaum medioker.

Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latief mengatakan, kegaduhan ini merupakan sebuah konsekuensi karena yang muncul saat ini hanya aktor-aktor politik. Saat ini terjadi surplus politisi dan defisit negarawan, politik hanya dipersatukan oleh dua hal, yakni kepentingan dan ketakutan. Menurutnya, politik yang diwarnai dengan kepentingan dan ketakutan akan menimbulkan kegaduhan karena tidak ada lagi kepercayaan. Akibatnya, sesama anak bangsa saling mengkhianati dan siapa yang lebih dahulu dia yang mendapatkan apa. Dalam kondisi sperti ini, keteladanan pemimpin sangat dibutuhkan. Yakinlah bahwa kalau pemimpin bisa menunjukkan keteladanannya, masyarakat akan mengikutinya.

Masih menurut Yudi Latif bahwa, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang nomor satu di republik ini, seharusnya menempatkan dirinya sebagai negarawan, bukan hanya sebagai politisi. Yudi menduga, proses politik Jokowi dari walikota, gubernur kemudian menjadi presiden terlalu cepat sehingga dalam beberapa hal, ada yang tidak sepenuhnya dikuasai. Padahal, menteri itu bukan jabatan politik biasa, tapi juga penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Begitu juga dengan pengangkatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Wantimpres semestinya diisi oleh orang agung atau luhur yang punya kemuliaan sebagai negarawan, itulah yang pantas jadi penasihat Presiden. Tapi ternyata mereka rata-rata berasal dari partai politik.

Ketika ada kasus KPK-Polri, Wantimpres sama sekali tidak berfungsi sehingga Jokowi menambalnya dengan Tim 9. Senada dengan itu, Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi menilai, kegaduhan politik yang terjadi saat ini karena adanya kecenderungan suatu kubu yang ingin menguasai pimpinan lembaga-lembaga hukum mulai dari kejaksaan, kehakiman hingga Kemenko Polhukam (Koran Sindo, 22/2).

Kekuasaan Menolong
Tulisan ini bukan bermaksud memojokkan atau sejenisnya, melainkan sebagai kritik konstruktif supaya ke depan pemerinatahan semakin baik dan manfaatnya dapat dirasa oleh masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu, dalam konteks ini, Jokowi dan para pejabat negara harus mengesampingkan kepentingan kelompok atau parpol. Adanya upaya pimpinan PDIP—partai pengsung Jokowi-JK—untuk menjadikan presiden sebagai petugas partai harus diabaikan. Sebab, jika tidak diabaikan dikhawatirkan presiden akan tersandera. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka negeri ini semakin ke depan dipastikan semakin tidak karuan (amburadul).

Pengasuh Rumah Perkaderan Monash Institute Semarang dan Pakar Politik UI, Mohammad Nasih mengatakan, kekuasaan, jika tepat sasaran dapat menolong banyak orang. Begitu pun sebaliknya. Untuk itu, setidaknya terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi, dimiliki, dan kemudian dilaksanakan oleh para pemimpin. Pertama, prestasi. Menjadi pemimpin tidak cukup hanya mendapatkan dukungan masyarakat banyak. Sebab, tugas pemimpin tidaklah gampang. Selain sebagai panutan, ia bertanggung jawab mensejahterakan orang yang dipimpinnya (rakyat-red). Untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab secara maksimal dan optimal dibutuhkan kecakapan.

Kedua, dedikasi. Dedikasi dalam hal ini tentunya kepada bangsa dan negara. Menjadi pemimpin atau pejabat negara konsekuensinya adalah menjalankan amanah rakyat. Amanah rakyat jangan sampai dikhianati. Untuk itu, diperlukan dedikasi tingkat tinggi. Terkait ini, Bung Hatta mengatakan bahwa menjadi pemimpin harus siap menderita. Tenaga, pikiran, bahkan harta harus digunakan untuk berjuang memajukan bangsa. Bayang-bayang menjadi pemimpin itu terhormat dan mempunyai banyak harta harus dilenyapkan. Buat apa menumpuk harta jika kemudian nama kita dicatat sebagai mafia negara? Lebih baik “menderita” karena berjuang demi bangsa dan negara, supaya nama kita harum dikenang selama-lamanya. Pemimpin seperti ini disebut pemimpin negarawan.***
Ketua Kajian Agama, Negara, dan Budaya (KANeBa) UIN Walisongo Semarang, Pengajar Monash Institute, Semarang.