Tuntutan Gaya Ayunan Leadership pada Era Disruption

Tuntutan Gaya Ayunan Leadership pada Era Disruption
Oleh: Dr H Irvandi Gustari (Dirut Bank Riau Kepri)
 
KITA semua mungkin setuju bahwa makna dari kepemimpinan itu adalah gabungan dari manajemen dan seni. Maka dari itu leadership atau kepemimpinan itu tidak saja cukup mengandalkan ilmu manajemen semata, namun diperlukan suatu kemampuan seni (arts) yang menjadikan para pengikut dari seorang pemimpin itu, merasa ada suatu irama dan nuansa serta warna dari pola kepemimpinan yang sedang dijalani oleh pemimpin mereka. 
 
Pada zaman digitalisasi yang diwarnai disruption di berbagai sektor, memang dituntut seorang pemimpin yang punya kemampuan memainkan seni dari kepemimpinannya itu. Sebab dalam dinamika bisnis yang kerap berupah dan bahkan berkembang dengan cepat, dibutuhkan tidak saja kemampuan dari core competency (decision making, problem solving, kemampuan komunikasi, kemampuan koordinasi, dsb), namun lebih dari itu, yaitu kemampuan dari merajut dan merangkai secara hamonisasi dari core competency yang menjadi tuntutan sebagai seorang pemimpin.
 
Kita akan bahas sejumlah tokoh pemimpin dunia yang fenomenal dan apakah kita bisa mencontek gaya kepemimpinan mereka?
 
Akan timbul pertanyaan, apakah di zaman disrupsi ini, gaya kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang penuh kejutan maupun nyentrik serta eksentrik, bisa dijadikan contoh? Atau gaya kepemimpinan dari Benjamin "Bibi" Netanyahu adalah Perdana Menteri Israel, yang penuh misteri dan banyak intrik, bisakah kita jadikan acuan dalam memimpin dalam era digitalisasi ini yang cepat berubah?
 
Atau beralih sejenak ke zaman lawas dahulu kala, coba kita lirik kepemimpinan Mahatma Gandhi. Gandhi adalah seorang pemimpin besar India. Gandhi adalah tokoh yang sangat anti-kekerasan, dan mengetuktularkan cara hidup yang disebut Ahimsa, dalam kaitan berjuang untuk membela kebenaran atas ketidakadilan dengan tanpa kekerasan. 
 
Gandhi memilih paham dengan tidak berkompromi dengan penguasa yang bukan prokeadilan, maka lambat laun yang bersangkutan akan sadar dengan kekeliruannya dan akan kembali jalan yang benar.
 
Lanjut kita kepada tokoh fenomenal Asia yaitu Lee Kuan Yew. Kita semua pasti akan sangat terkesan gaya kepemimpinan Lee Kuan Yew saat memimpin Singapura dan menjadikan Singapura masuk menjadi negara nomor 2 di dunia pada kategori Daya Saing Global yang setiap tahun dikeluarkan World Economic Forum dan selalu dari tahun ke tahun posisinya di atas Amerika Serikat dan Jepang.
 
Cara kepemimpinan dari Lee Kuan Yew dikenal memakai pola kepemimpinan otoriter yang kompromi, dengan arti otoriter yang diayun.
 
Sejak tahun 1959 Lee memimpin dan telah mengantar Singapura loncat ke depan dan menjadikan Singapura adalah negara sekaligus kota metropolitan utama di dunia. 
 
Bila kita mundur sejenak ke belakang, di saat Singapura baru merdeka, adalah tak lebih bagaikan sebagai kota yang kumuh dan berantakan serta semrawut penataannya.
 
Saat ini Singapura telah berubah total menjadi negara maju lewat tangan Lee dengan pola kepemimpinan yang rada otoriter dan bahkan cenderung arogan. Malah oleh lawan politiknya, Lee sering dinilai suka seenaknya membuat kebijakan. 
 
Uniknya lagi Lee sering melontarkan kritik tajam pada negara-negara tetangga yang notabene sangat berkaitan erat untuk kepentingan Singapura yaitu pada Malaysia dan Indonesia. 
 
Pertanyaannya adalah, apakah dengan zaman sudah berubah dan sudah masuk pula pada era teknologi dan disrupsi ini, pola otoriter yang dengan cara diayun sekalipun bisa kita pedomani pada zaman now ini? 
 
Ada juga tokoh dari Cina yang fenomenal dan menjadikan Cina berubah pesat dan total seperti saat ini, sebut saja pemimpin Cina -Deng  Xiaoping yang dikenal telah berhasil mengubah Cina secara pesat. Den Xiaoping meluncurkan reformasi ekonomi pada 1992. 
 
Di bawah kepemimpinan Deng, kita ketahui Cina mulai menerapkan sistem perekonomian dengan sistem kombinasi sistem kapitalis dan sosialis. Selama memimpin Cina Deng, kita ketahui Cina berhasil tumbuh dengan angka yang sangat tinggi dan di atas 10 persen. 
 
Deng Xiao Ping dalam menjalakan roda pemerintahan untuk pengembangan perekonomian lebih senang dengan warna liberal dan mengarah kepada Amerika Serikat. 
 
Dari tahun 1980, di bawah kepemimpinan Deng memimpin ekspansi ekonomi dan bernegosiasi dengan Inggris dalam hal meminta kembali Hong Kong ke pangkuan Cina. 
 
Deng dengan pendekatannya secara karismatik berjumpa dengan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Negosiasi Deng membuahkan hasil yaitu Deklarasi Sino-British Joint yang ditandatangani pada 1984. 
 
Deng masih meneruskan manuvernya, di mana Portugal mengembalikan Macau pada tahun 1999. Pasca kembalinya ke pangkuan Cina dua wilayah tersebut yaitu Hong Kong dan Macau yang oleh Deng dinyatakan olehnya “satu negara, dua sistem”, yang di bawah satu kekuasaan politik dengan pola dua sistem perekonomian yaitu sistem komunisme dan sistem kapitalisme. Kepemimpinan Den Xiaoping memang menarik untuk di cerna pada zamannya.
 
Lalu, gaya kepemimpinan yang mana bisa diterapkan pada zaman saat ini yang penuh disrupsi di mana-mana?  Tidak ada jawaban yang mutlak dan benar. Sebab dalam era disrupsi ini, semua gaya kepemimpinan bisa dipakai dan diterapkan, namun harus dilakukan gabungan dan harmonisasi dari seluruh gaya kepemimpinan yang ada, sehingga bisa menjawab tantangan yang ada pada era disrupsi ini. ***