Membalik Logika...

Membalik Logika...
KENAPA ya, di mata sekelompok organisasi yang katanya pro lingkungan, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) itu pasti jelek? Tidak peduli pelestarian alam. Merusak lingkungan. Membakar lahan dan dicap dengan segala stigma buruk. Pokoknya perusahaan HTI itu seakan tidak ada benarnya. Apa benar begitu?
 
Banyak fakta yang dilakukan perusahaan HTI memperbaiki lingkungan hidup. Contohnya saja, penyelamatan ekosistem hutan gambut di kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu di Riau yang diprakarsai oleh grup Sinar Mas Forestry (APP). Grup Raja Garuda Emas (APRIL). Pesaing APP juga memiliki program restorasi ratusan ribu hektar kawasan hutan gambut yang bersandi Restorasi Ekosistem Riau. 
 
Untuk membantu pemerintah mengurangi bencana asap dari kebakaran lahan, SMF dan RGE seakan membuat perlombaan. Tanpa bantuan dua perusahaan itu, kerja keras pemerintah di bawah Satuan Tugas Penanggulangan Kebakaran Lahan dan Hutan Riau, selama 2 tahun terakhir, rasanya belum akan sesukses sekarang ini. 
 
Namun bagi sekelompok organisasi yang katanya pro lingkungan tersebut, program konservasi dan penanggulangan api dari perusahaan HTI adalah proyek pencitraan semata. Proyek itu dibuat hanya untuk menutupi keburukan yang dibuat selama ini.  Tapi sudah lah, mereka memang begitu. Kalau stigma sudah tercap, yang buruk-buruk saja yang terlihat. Hal yang baik disembunyikan. Atau paling komentarnya “ (yang baik) itu sudah menjadi kewajiban perusahaan,” . 
 
Sekadar berbagi pengetahuan buat orang awam. HTI adalah bagian dari hutan produksi negara. Ada dua poin yang terkandung di dalamnya. Yaitu “hutan negara” dan “hutan produksi”.  
 
Jadi HTI itu hutan negara. Bukan hutan milik pribadi. Negara hanya meminjamkan dengan jangka waktu tertentu. Negara hanya memberikan izin pakai. Ketika izinnya habis, hutan itu harus dikembalikan lagi kepada negara. 
 
Kedua, hutan produksi. Sesuai namanya, hutan produksi berarti untuk kebutuhan produksi, atau boleh diambil produknya. Kata memakai istilah petani, boleh dipanen. Produksi awal hutan produksi, awalnya dulu, adalah  panen kayu alam yang ditebang habis untuk kebutuhan bahan baku bubur kertas atau kertas. Setelah pepohonan alami bersih, perusahaan HTI menanam tanaman hutan baru yang memiliki umur pendek, seperti akasia atau eukaliptus. 
 
Selain hutan produksi, fungsi hutan negara masih ada lagi, yaitu hutan konservasi dan hutan lindung. Dua hutan itu tidak boleh diganggu gugat. Fungsinya adalah untuk kelestarian alam yang akan diwariskan kepada anak cucu kelak. 
 
Namun faktanya, hutan negara yang aturannya sangat ketat dan tidak boleh diganggu gugat itu, justru lebih banyak yang rusak. Dibandingkan dengan hutan produksi HTI yang diberi izin pakai perusahaan HTI, hutan negara yang pertanggungjawabannya murni pada negara justru lebih hancur karena dirambah. 
 
Contohnya Taman Nasional Tesso Nilo, sebuah suaka gajah dan harimau Sumatera  yang awalnya mencapai 83.000 hektar. Kini hutan konservasi itu hanya tersisa 15.000 hektar atau 16 persen lagi. Data dari Panitia Khusus DPRD Riau, yang dikutip dari situs antaranews.com, pada 26 Maret 2015, total hutan konservasi/lindung di Riau yang tersisa hanya tinggal 25 persen. 
 
Lalu mengapa sekelompok organisasi yang katanya pro lingkungan itu, tidak banyak menyuarakan penyelamatan hutan konservasi negara itu. 
 
Jawabannya, isu itu tidak seksi. Kalau mempersoalkan perambahan di hutan negara, sekelompok organisasi tersebut akan berhadapan dengan perambah yang berani mati. 
 
Menghadapi perusahaan lebih enak dan gampang. Bahkan banyak orang yakin, tindakan sekelompok organisasi tersebut banyak ditunggangi dan pesanan dari pihak asing. ***
 
 
 
*Penulis: Adlin, SHut, Pemerhati Kebijakan Lingkungan