Putusan MK Mendistorsi Definisi Agama Sebagai Negara Berketuhanan

Putusan MK Mendistorsi Definisi Agama Sebagai Negara Berketuhanan

RIAUMANDIRI.co, JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) bertentangan dengan konstitusi atau UUD 1945 perlu dilakukan kajian agar dalam pelaksaan putusan itu tidak menimbulkan kegaduhan dan problem yuridis.

“Berkaitan dengan tindak lanjut putusan MK perlu ada kajian dan keputusan bagaimana pelaksanaan putusan MK tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan dan problem yuridis eperti munculnya penolakan dan tantangan dari kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan putusan tersebut,” jelas Arwani dalam keterangannya, Rabu (8/11/2017).

Salah satu yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut menurut dia adalah segera merevisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

"Usulan revisi tersebut harus segera masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan kategori Daftar Kumulatif Terbuka Putusan MK," jelasnya.

"Revisi tersebut dimaksudkan Arwani untuk mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan merupakan entitas yang berbeda dan memang dilindungi oleh konstitusi.  "Ini juga sejalan dengan sikap MUI yang menegaskan aliran kepercayaan bukanlah agama,” ujar Arwani.

Meski demikian, Wakil Ketua Umum PPP itu menilai putusan MK ini bakal mendistorsi definisi agama itu sendiri serta spirit konstitusi negara Indonesia sebagai negara berketuhanan.

"Putusan MK ini juga dapat mengaburkan prinsip negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945. Karena itu pelaksanaan putusan ini harus melalui Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” tutup Arwani.

Seperti diketahui bahwa MK mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admiduk yang mewajibkan mengisi kolom agama di KTP. Hal ini membuat para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat KTP.

Gugatan atau judcial review itu diajukan empat penganut kepercayaan, yaitu Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), Arnol Purba (penganut Ugamo Bangsa Batak) , dan Carlim (penganut Sapto Darmo).

MK dalam putusannya menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK juga memutuskan pula bahwa kata "agama" dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan". ***


Reporter    : Syafril Amir
Editor          : Mohd Moralis