Diduga Palsukan Surat atas Lahan di Pekanbaru, Oknum Anggota DPRD Riau Dipolisikan

Diduga Palsukan Surat atas Lahan di Pekanbaru, Oknum Anggota DPRD Riau Dipolisikan
RIAUMANDIRI.co, PEKANBARU - Anggota DPRD Riau, Er dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Riau, karena diduga membuat surat palsu atas lahan yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. Di atas lahan ini berdiri Gedung Badan Kesatuan Bangsa Politik Provinsi Riau yang akan dieksekusi pihak pengadilan.
 
Adapun pihak yang melaporkan Er adalah Nurva Endrita, warga Jalan Nurul Ikhlas Nomor 30 A Kelurahan Tangkerang Tengah, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru.
 
Dituturkan Nurva melalui keponakannya, Dian Citra Dewi, bahwa lahan tersebut telah dimiliki dan digarap kakeknya yang merupakan pensiunan Polri sejak tahun 1962. Sekitar tahun 1970, didirikan pondok yang ditempati oleh keluarga mereka.
 
Pada tahun itu juga, sang kakek pernah mengurus surat atas tanah tersebut ke kantor desa (saat itu bernama kewedanaan). "Saa itu, orang kantor desa mengatakan tanah tersebut belum bisa diurus karena dari tahun 1962 hingga 1970 itu baru 8 tahun. Bisa diurus minimal 10 tahun," ungkap Dian yang didampingi Nurva, Rabu (25/10).
 
Lalu, pada tahun 1975 kakeknya kembali kantor desa, dan terbitlah Surat Tebang Tebas atau Surat Keterangan Tanah, yang di bawahnya tertera stempel. "Namun di atasnya disebutkan kakek saya sudah menggarap lahan tersebut secara terus-menerus dari tahun 1962, dan kakek saya meninggal pada tahun 1979," lanjutnya.
 
Kemudian pada tahun 1991, tanah tersebut ingin dibeli oleh Direktorat Jenderal Pajak. Lalu, kata Dian, pihak keluarga melalui neneknya ingin meningkat status atas hak menjadi Sertifikat Hak Milik berdasarkan SKT yang dimiliki. Namun saat itu, oleh pihak kelurahan proses itu dipersulit.
 
"Kami baru tahu cerita ternyata lurahnya waktu itu masih keluarga Er. SKT tersebut sempat ditahan sama orang kelurahan. Entah mau difotokopinya entah mau diapakannya, saya tidak tahu. Sehingga batal jual beli dengan Dirjen Pajak. Setelah beberapa hari, baru dikembalikan surat tanah itu ke nenek saya," sebut Dian.
 
Tidak lama setelah itu, lanjutnya, Er mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap neneknya dan sejumlah tergugat lainnya sekitar 16 orang yang menempati tanah tersebut. "Saat sidang di lapangan, Er tidak bisa menunjukkan batas tanahnya. Kalah la dia waktu itu. Dengan putusan tahun 1991 itu NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil,red)," katanya.
 
Pasca ditolaknya gugatan Er, pihak keluarga kemudian melanjutkan pengurusan surat, dan akhirnya selesai. Lalu, ada penawaran dari Dirjen Pos dan Telekomunikasi untuk membeli lahan tersebut. "Tahun 1993 sertifikat jadi, semua diurus, sertifikatnya jadi. Maka dijuallah ke Dirjen Postel," ujarnya lebih lanjut.
 
Tidak menyerah, Er kembali mengajukan gugatan pada tahun 1993, dengan alas hak dan objek yang sama. Namun, menurut pihak keluarga, di dalam materi persidangan itu banyak kejanggalan, dan Er dinyatakan menang. Pihak keluarga, kata Dian, kemudian mengajukan upaya hukum banding, dan hasilnya Pengadilan Tinggi keluar tahun 1996, menguatkan putusan lembaga peradilan tingkat pertama.
 
Sepuluh tahun dari putusan tersebut, pihak keluarga mengaku tidak pernah mendapat teguran dan surat yang menyatakan kalau mereka kalah. Malah pada tahun 2003, mereka masih sempat menyertifikatkan sebagian lagi lahan yang belum dilepas dari Dinas Pariwisata Provinsi Riau sebagai pihak penerima hibah dari Pemerintah Pusat melalui Dirjen Postel.
 
"Tahun 2006 kami dikejutkan dengan putusan putusan pengadilan dan keluar surat pemberitahuan yang menyatakan kami harus mengosongkan tanah tersebut," imbuhnya.
 
Setelah mempelajari putusan tersebut, tahun itu juga pihak keluarga melaporkan adanya indikasi surat palsu ke Polresta Pekanbaru. Saat itu ada press rilis dari Polresta yang menyatakan kalau surat itu palsu berdasarkan Labfor Medan. "Kita masih simpan kliping korannya. Kemudian Er dipanggil ke Polresta berdasarkan informasi dari penyidik. Setelah dua kali dia datang, lalu saya dapat informasi kalau kasus itu dihentikan," sebut Dian.
 
"Tahun 2012 datang lagi datang lagi surat peringatan yang sama dari pengadilan. Kita lapor lagi ke Polda Riau saat itu, dan dinyatakan tidak bisa diteruskan penyidikannya," sambungnya.
 
Lalu, pada 21 agustus 2017, mereka dipanggil Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Riau bersama seluruh masyarakat yang menempati lahan tersebut. Hal itu dikarenakan Pemprov sudah didesak untuk membayarkan ganti rugi atas lahan tersebut. Oleh Pemprov, kata Dian, menanyakan sikap kami. Karena warga merasa memiliki, satupun tidak ada yang mau menyerahkan. Pihak Pemprov menyatakan agar kami mempertahankan lahan tersebut.
 
"Selasa (24/10) kemarin, tante saya (Nurva,ree) melaporkan hal ini ke Polda Riau. Tante saya memiliki sertifikat lahan persis di belakang Kantor Kesbangpol Riau, dan itu yang tidak pernah dibatalkan pihak pengadilan, dan ikut disuruh mengosongkan lahan itu. Kami mengindikasi surat ini (yang dimiliki Er, red) palsu," tegas Dian.
 
Dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Guntur Aryo Tejo, membenarkan adanya laporan tersebut. Dikatakan Guntur, dalam laporan tersebut pihak terlapor, yakni Er, disangkakan melanggar Pasal 263 KUHPidana tentang membuat surat palsu keterangan palsu berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/458/X/2017/SPKT/Riau tanggal 24 Oktober 2017.
 
"Kita masih mempelajari laporan tersebut. Pihak pelapor (Nurva, red) sudah diminta keterangan saat membuat laporan. Sementara untuk terlapor (Er, red) juga akan diklarifikasi," kata Guntur.
 
Terpisah, Er menanggapi santai laporan tersebut. Menurut Legislator asal Kota Pekanbaru itu, laporan seperti ini sudah sering dia terima. "Kalau melaporkan saya, silahkan saja. Bila perlu bawa bukti yang mereka miliki ke forensik sana. Jadi terhadap laporan itu saya santai saja. Pelapor itu punya surat apa, saya menang di pengadilan itu bukan tidak punya dokumen lengkap," singkatnya.
 
 
Reporter: Dodi Ferdian
Editor: Nandra F Piliang