Sejumlah Anggota DPD Gugat UU Pilkada

Sejumlah Anggota DPD Gugat UU Pilkada
JAKARTA, RIAUMANDIRI.co - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggugat atau mengajuan judicial review terhadap UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena hak konstitusi mereka dirugikan karena harus mundur sebagai anggota DPD sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
 
Anggota DPD yang melakukan gugatan tersebut adalah Ahmad Muqowam (ateng), M. Mawardi(Kalteng), Abdurrahman Lahabato (Maluku Utara), M. Syukur (Jambi), Intsiawati Ayyus (Riau), dan A. Kanedi (Bengkulu) serta dan Taufik Nugroho (anggota DPRD Barito Utara).
 
"Kami sebagai pemohon merasa dirugikan hak konstitusional kami atas jaminan dan perlindungan hukum yang adil, hak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) hurus s UU 10/ 2016 berdasarkan penalaran yang wajar," kata Achmad Moqowam, di Jakarta, Jumat (25/8). 
 
Selain menjelaskan materi gugatan sesuai dengan pedoman baku dan substansi dari perundangan, Moqowam juga menjelaskan hal yang berkaitan dengan lembaga politik, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, jabatan publik, jabatan politik, dan jabatan karir.
 
"Lembaga politik adalah terkait dengan pengelolaan negara dan berurusan dengan kebijakan publik. Secara teoritik dikenal jabatan publik politik dan jabatan publik eksekutif. Jabatan Publik Politik, adalah jabatan publik yang ditetapka melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat (election) mulai dari DPRD, DPR, DPD, bupati, walikota dan gubernur," kata Moqowam.
 
Sedangkan Jabatan publik eksekutif jelas Moqowam, antara lain ditetapkan melalui Pengangkatan (appointee) meliputi dikategorikan ASN, Kepolisian Negara dan TNI. Oleh karena itu,mereka memohon pada  MK agar mampu memberikan putusan sesuai jiwa konstitusi (soul of constitution) yang secara political science benar dan dapat dipertanggung jawabkan Dalam bingkai negara hukum.
 
"Biarlah ruang jabatan publik politik itu menjadi ruang gerak dan ruang pengabdian politisi, dan tentu tidak akan mengganggu ruang gerak yang dimiliki oleh pejabat dari jabatan publik eksekutif, dalam hal ini antara lain ASN, Polisi dan Tentara/ TNI. Posisioning dan ruangnya memang berbeda, tetapi ini atas nama kesetaraan (equality before the law) sebagai suatu kebenaran," kata Moqowam. 
 
Menurut Moqowam, mengingat jabatan publik politik adalah menjadi ruang publik politisi, seharusnya sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum tidak ada halangan, apalagi mundur misalnya. Sebaliknya jika politisi mau jadi Polisi, Tentara atau ASN maka harus mundur dari jabatan publik politik.
 
"Ketentuan UU 10/2016 menentukan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPD harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah bersifat diskriminatif karena memperlakuan berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berkapasitas sebagai pejabat publik politik dengan kepala daerah (incumbent) yang juga berkapasitas sebagai pejabat publik politik karena sama sama dipilih dalam pemilihan (election)," ujarnya. 
 
Dikatakan Moqowam, bagi Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya tidak wajib mundur. Sedangkan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya, harus mengundurkan diri. "Disinilah letak diskriminasi tersebut.Dalam kapasitas yang sama diperlakukan berbeda," tegasnya. 
 
Karena itu mereka sebagai pemohon kepada MK agar ketentuan anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala  daerah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai anggota DPR, DPD, dan DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah apabila mencalonkan diri di luar daerah pemilihannya.
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 26 Agustus 2017
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang