Ziarah Karyawan Mengenang Usman Awang

Ziarah Karyawan Mengenang Usman Awang

Seniman; Dari Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk Masyarakat

12 Agustus 2017, tepat matahari panas berdentang, rombongan Panggung Toktan sampai di Villa Damai Rasyidin, Sungai Besar Selangor. Villa itu tak jauh dari sebuah laut yang menyimpan semuanya, yang bergelombang tanpa mengenal musim. Kehadiran Panggung Toktan dan enam penyair Riau serta sejumlah wartawan Riau ini dalam rangka menghadiri jemputan akbar dari Panitia Ziarah Karyawan Asia Tenggara Mengenang Usman Awang.

 
Malamnya delegasi dari Singapura, Malaysia, Vietnam dan Indonesia disuguhkan persembahan Panggung Toktan, Nuyang Jaimee dan Ibrahim Ilyas di panggung utama di tengah sawah. Di belakang panggung berserak patung-patung yang tersergam seolah hendak berdialog dengan sastrawan, teaterawan, wartawan dan pengunjung.
 
Pada 13 Agustus malam, panggung sawah pun diisi secara tunggal oleh penampilan Teater musikal Uda dan Dara yang disutradarai Dinsman. Naskah Pementasan itu diambil dari karya Usman Awang, Sastrawan Negara Malaysia. Usai pementasan, seluruh delegasi Asia Tenggara pun kembali ke Villa Damai Rasyidin. Mereka tak langsung masuk bilik masing-masing tapi tampil membacakan sajak-sajak mereka. 
 
Kegiatan ini bertajuk 'Baca Sajak Sampai Subuh'. Satu persatu penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Malaysia unjuk kebolehan., sebagai negerinya para pujangga tentu Riau menjadi pusat perhatian tersendiri bagi pengunjung. 
 
Kehadiran Alhaj Aris Abeba yang diselingi alat musik yang dimainkan Parulian, Fitrahar dan Qory Islami menjadi pembuka sajak dari Indonesia. Suara dalam wibawa yang serak-serak basah dari penyair asmara itu pun menghipnotis penonton. 
 
Tak lama sesudahnya H Dheny Kurnia yang berjuluk Tuk Kemantan Tuo pun naik ke panggung dan memanggil beberapa penyair Riau seperti Herman Rante, Griven H. Putera dan Zamhir Arifin. Zamhir bersajak dengan lembut seperti jalan dan senyumnya yang biasa lunglai. Cukup sejuk. 
 
Lalu Griven H Putera alias HES pun bersajak dengan cuca atau mantera sufistik. Tiga sajak yang dicucakan Griven menghipnotis penonton, sampai-sampai Imam Toktan (Alhaj Aris Abeba) sendiri tak sempat memotonya. 
 
Tiga sajak Griven tersebut berjudul Hak, Sampai dan Kembali. Amesa Aryana, Hanif Muis (pemain teater) serta Madi (pemusik) memberikan suara latar sufistik yang kuat dan sublim. Sampai-sampai Yasin Saleh berkomentar kepada HES alias Griven, 
 
“Jika nanti ayahanda ke Pekanbaru, tolong ananda bacakan lagi sajak tadi. Dan khususkan buat ayahanda sendiri ya,” katanya dengan suara yang dalam dsambil memegang tongkatnya. 
 
Yassin Saleh menunduk sejenak, tak lama kemudian, lelaki berjuluk Balam Tua itu menepuk-nepuk dada HES, “...sajak yang engkau buat dan kau baca tadi keluar dari sini.” Lelaki itu terus menepuk-nepuk dada HES dengan punggung tangannya. “Ananda. Tak banyak lagi penyair yang sama ucapan dan tindakannya,” ucap peneraju Ziarah Karyawan tersebut kepada HES dengan khidmat dan serius.
 
Usai Griven tampil, Si Gagak Kota alias Herman Rante yang juga merupakan Dekan di Universitas Lancang Kuning itu pun membuat suasana semakin hening dan sunyi. Lengking gagak yang keluar dari suara khas penyair senior Riau ini pun bertambah menggelegak, menggeletar ketika ditingkahi suara berat Ammesa Aryana. 
 
Si Gagak Kota pun menari-nari, mengepak-ngepakkan sayapnya ke sana kemari di panggung yang dilatari foto Rendra,Usman Awang dan Massuri SN itu. Suaranya menggema, memukau penonton hingga senyap. Mati. Mata penonton tak berkedip. Semua berdecak kagum. Semuanya terpana. Segalanya diam. Mematung.
 
Pada pertunjukan penyair Riau tersebut, H Dheni Kurnia pun menutupnya dengan Mantra Pekasih. Laungan magis ala Talang Mamak menutup penampilan Riau yang gemilang malam itu. Nanyian orang Talang Mamak pun mengkhatamkan penampilan penyair  Riau pada malam penuh cinta itu, pada malam penuh mesra itu. Semua terkesima, semua senyap, semua terlongo, sunyi menangkup di mana-mana. Lalu, tepuk tangan gemuruh pun membahana di mana-mana.
 
Dondang Azab
 
Dondang Azab yang diambil dari puisi Dheni Kurnia yang disutradari Qori Islamy tampil pada malam pertama pertunjukan teater. Berkat dukungan semua pihak, baik penyair, wartawan dan akademisi seperti Syafriadi, Bambang Irawan Syahputra Azam, Zamri dan lain-lain, semua pemain dan pemusik tampil totalitas. 
 
Hanif Muis sukses memerankan Patih. Suaranya yang berat penuh wibawa, ditambah penampilannya yang tenang penuh sasa membuat ia benar-benar seperti patih talang. Ditambah lagi rambutnya yang panjang mengurai. Sungguh benar-benar patih talang yang jumawa. Begitu juga dengan Ardi (Wahab muda), Fitrahar (Burkam), Intan Fakhriyah (sosok wanita) dan A Amesya Ariyana (Wahab Tua). Mereka tampil dengan karakter yang kuat pada peran masing-masing. 
 
Luka Talang Mamak, duka masyarakat marginal Riau tampak menguak kuat. Luka duka akibat kong- kalikong pengusaha kapitalis dengan tipu hela itupun membuat luka makin lebar dan pedih dalam masyarakat Riau. Bukan hanya hutan talang yang luluh lantak, persebatian antara nenek mamak dengan anak kemenakan pun punah ranah. Wahab yang diperankan Ardi pun terbuang. 
 
Ditinggal orang tercinta, dipencilkan dan dihukum sanak keluarga. Orang-orang kapitalis benar-benar telah melintang pukangkan mereka. Benar-benar berkecai sudah. Wahab dihukum Tuhan, dihukum alam dan dihukum masyarakatnya karena telah bekerjasama dengan pengusaha asing dalam memiliki tanah adat secara tidak sah. Istri tercinta harus mati setelah sebelumnya didera bala penyakit yang luar biasa ganjilnya. Kepercayaan masyarakat, keluarganya pun telah mati kepadanya. 
 
Patih dan masyarakat menghukumnya dengan hukum adat yang tak dapat digantikan hukum negara. 
 
Lebih baik hilang anak daripada hilang adat, benar-benar menjadi kekuatan dan kejumawaan masyarakat adat Melayu Riau. Alam benar-benar bersebati dengan masyarakat Talang Mamak. Untuk itu jangan sakiti alam. Cintai mereka. Karena cinta Tuhan juga terdapat dalam cinta mereka.
 
Para pemusik seperti Hengky, Madi, Parulian dan lain-lain pun membuat pertunjukan teater satu setengah jam itu benar-benar mampu memaku penonton walau gerimis telah datang dengan iramanya sendiri. Renyai yang turun tak menyurutkan langkah penonton untuk menyaksikan pertunjukan itu hingga tuntas. Bahkan gerimis pun menjadi istrumen tersendiri malam itu. Seusai pertunjukan, satu persatu pengamat dan penonton menyalami Toktan dan anggota. Mereka mengucapkan tahniah tak sudah-sudah. Senyum imam Toktan Alhaj Aris Abeba pun sumringah. Senyum pengganti bulan malam itu.
 
Ziarah Kayawan Mengenang Usman Awang
 
Pertama, Secara kaffah (keseluruhan), kegiatan ini amat berfaedah terutama untuk menjalin dan menyulam hati di antara penyair serumpun. Kita ketakal batang ketukul, kita keladi muyang. Kita seasal dan seusul. Kita pun satu nenek moyang. 
 
Upaya pertemuan ini membuat suasana batin di antara yang hadir kian erat dan lekat. Jika helat kesenian ini terus berlanjut, maka benarlah bahwa budaya, sastra da agama tak punya sekat batas. Sempadan teritorial ternyata hanya ada dalam kamus politik. Dalam sastra dan budaya ia hilang tak berbekas.
 
Kedua, panggung di tengah sawah ini mengispirasi dan memberikan sebuah pesan bahwa seniaman, sasatrawan tak pernah berjarak dengan masyarakatnya. Jadi, karya apapun yang dilahirkan seniman, ia lahir, tumbh dan berkecambah dari akar budaya masyarakatnya, dan akan dinikmati masyarakatnya. Dalam masyarakat sawah atau masyarakat ladang; kejujuran, kepolosan, kerja sama dan keikhlasan menjadi pondasi. 
 
Untuk itu, sebagai sastrawan, berkaryalah dengan polos, jujur dan ikhlas menuju karya paripurna. karya, yang di mana ia sesuatu yang indah, sesuatu yang berfaedah dan sesuatu yang dinikmati masyarakatnya, terutama diridhai Tuhannya.
 
Ketiga, pertunjukan Uda dan Dara yang disutradari Dinsman merupakan sebuah teater Malaysia yang layak ditonton. Di sana ada cinta, getir dan pemberontakan. Kehadiran tokoh Utih (Ilhamdi) dari Indonesia pada pentas itu sungguh membuat Malaysia kini berbeda dengan masa lalu. Mereka sadar bahwa kekuatan harus dilakukan bersama. 
 
Malaysia tak bisa jaya kalau sendiri, begitu pula orang-orang Melayu di Riau dan Indonesia, mereka tak akan gagah dan jumawa sendiri bila bila tak disokong keluarga dan saudara mara meraka dari negeri serumpun lainnya. Kesebatian itu jangan hanya maujud dalam persoalan seni sastra dan budaya semata tapi sejatinya masuk dalam ranah politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. 
 
Persoalan yang dihadapi masyarakat Melayu Indonesia, Malaysia dan negara serumpun lainnya hari ini sepertinya sama. Orang-orang Melayu berada di pihak  yang tak begitu menentukan,walau belum boleh disebut di pihak  yang kalah.
 
Pertunjukan Uda dan Dara jika jadi diperankan di seluruh Malaysia, bukan tidak mungkin ada sesuatu kejutan terjadi di Malaysia dalam waktu dekat ini. Saya melihat kegelisahan Ayahanda Yassin Saleh dan Sastrawan Malaysia lainnya hari ini seperti keresahan dan kegelisahan sastrawan Indonesia pra tumbangnya orde baru dahulu. Semoga prediksi saya ini keliru!
 
Keeempat, bagi Riau sendiri. Kegiatan ini patut menginspirasi tapi tentu saja dalam bentuk yang lain. Saya berhajat dan berharap agar Dondang Azab dapat tampil di seluruh kabupaten dan kota se-Riau. Ini juga merupakan bagian dari Tradisi teater Melayu masa lalu, di mana seusai idul fitri biasanya seniman di kampung saya dan kampung-kampung lain akan mempersembahkan sandiwara di lapangan terbuka. 
 
Pemain dan masyarakat penonton menyatu dalam suasana hari raya. Mungkin tradisi itu sedikit banyaknya menginspirasi saya hingga seperti hari ini. Untuk itu, seniman, sastrawan, teaterawan hendaknya mencoba hadir di tengah-tengah masyarakat. Mempertunjukkan teater, berdialog, menyelam ke hati dan perasaan mereka. 
 
Persoalan mereka yang miskin, terbelakang, marjinal, yang susah hendaknya ada dalam hati sastrawan. Kepedulian itu bukan hanya ditunjukkan dalam karya sastra dan pentas teater semata tapi benar-benar di alam nyata. Gesa pengusaha, “paksa” orang-orang kaya agar benar-benar peduli pada masyarakat. Datangi penguasa, ajak mereka agar benar-benar melaksanakan program yang mengangkat harkat dan martabat rakyat. Ya. Seni dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat!.
 
Penulis : Griven H Putera, Sastrawan/Budayawan Melayu Riau