Malaysia Ingin Belajar dari Indonesia Bagaimana Menjaga Kebebasan Pers

Malaysia Ingin Belajar dari Indonesia Bagaimana Menjaga Kebebasan Pers
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Banyak hal yang ingin dipelajari masyarakat pers Malaysia dari Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas pers di negeri jiran itu. Mulai dari upaya menjaga dan merawat kebebasan pers sampai strategi menghadapi serbuan new media yang mengancam pers arus utama. 
 
Hal ini tercermin dari berbagai pertanyaan yang diajukan perwakilan masyarakat pers Malaysia saat berkunjung ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (4/8). 
 
Hubungan antara masyarakat pers kedua negara terbilang dekat. Di era 1970-an, Indonesia dan Malaysia ikut mendirikan Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ). Lalu, lebih dari sepuluh tahun terakhir, delegasi Malaysia selalu menghadiri kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diselenggarakan masyarakat pers Indonesia setiap tanggal 9 Februari. 
 
Karena pengalaman dalam menghadiri HPN itu pula, masyarakat pers Malaysia memutuskan menggelar kegiatan serupa yang mereka beri nama Hari Wartawan Nasional (Hawana) pada pertengahan September mendatang.
 
“Kami terinspirasi HPN di Indonesia yang dapat mengumpulkan dan menyatukan masyarakat pers di Indonesia,” ujar CEO Kantor Berita Bernama, Datuk Zulkefli Salleh, yang memimpin delegasi Malaysia.
 
Selain Datuk Zulkefli, ikut dalam rombongan dari Malaysia itu Pemimpin Redaksi Bernama Datuk Zakaria Abdul Wahab, Kepala Biro Bernama di Indonesia Azeman Ariffin, dan Sekretaris Harian Ikatan Setia Kawan Wartawan Indonesia Malaysia (Iswami) Sabaruddin Ahmad Sabri.
 
Adapun pihak PWI dalam pertemuan itu adalah Sekjen PWI Hendri Ch. Bangun, Ketua bidang Luar Negeri Teguh Santosa, dan Bendahara Muhammad Ihsan. 
 
Datuk Zulkefli mengharapkan kesediaan pihak PWI untuk tidak hanya hadir, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam Hawana. 
 
“Saudara-saudara di PWI kami harap bisa berbicara di Hawana dan membagi pengalaman dengan kami,” ujarnya. 
 
Delegasi Malaysia juga menyampaikan keinginan mereka mendirikan Dewan Pers seperti yang ada di Indonesia. Dalam pertemuan, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait Dewan Pers mulai dari sejarah pembentukan, mekanisme pemilihan anggota, dan hubungan antara Dewan Pers dengan pemerintah, serta kewenangan yang dimiliki Dewan Pers dalam menangani kasus-kasus pers.
 
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Hendri Ch. Bangun yang juga anggota Dewan Pers menjelaskan bahwa Dewan Pers didirikan berdasarkan UU 40/1999 tentang Pers yang memberi kesempatan kepada masyarakat pers di Indonesia untuk mengatur diri sendiri (self regulation). Sementara anggota Dewan Pers dipilih oleh masyarakat pers dari perwakilan organisasi perusahaan media, organisasi profesi dan tokoh masyarakat atau akademisi. 
 
Hendri menambahkan, bahwa Dewan Pers adalah lembaga negara independen yang tidak berada di bawah pemerintah, namun memiliki hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga pemerintah. Adapun terkait kewenangan, disebutkan bahwa Dewan Pers memiliki kewenangan mengadili kasus-kasus pemberitaan yang masih berada pada koridor jurnalistik. 
 
Dalam diskusi tersebut, juga disinggung pendirian Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sebagai upaya masyarakat pers Indonesia untuk melindungi dan memperkuat kebebasan pers.
 
Teguh Santosa yang juga Ketua Umum SMSI mengatakan, pendirian SMSI tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat internet menjadi platform informasi utama belakangan ini. 
 
“Mengorganisir perusahaan media siber atau online diperlukan untuk meningkatkan kualitas pers di Indonesia khususnya yang berkembang di dunia maya,” ujar Teguh dalam rilisnya yang diterima riaumandiri.co.
 
Dia menambahkan, menurut data terakhir jumlah media online di Indonesia tidak kurang dari 43 ribu, dan sebagian besar tidak profesional. Artinya, perkembangan ICT bisa kontraproduktif bagi kebebasan pers. 
 
Menjadi sangat mudah bagi pihak-pihak yang tidak memahami prinsip-prinsip suci pers untuk menggunakan perkembangan ICT demi hal-hal yang bertentangan dengan kebebasan pers, seperti penyebaran rasa kebencian dan kabar bohong. 
 
“Seperti di Malaysia, pembaca media cetak juga menurun, sementara pembaca media online meningkat pesat. Masyarakat pers Indonesia perlu membenahi media online sesegera mungkin,” ujar Teguh.
 
Editor: Nandra F Piliang