Krisis Garam, Menteri KP Diminta Buka Telinga

Krisis Garam, Menteri KP Diminta Buka Telinga
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan menilai, terjadinya krisis garam sekarang ini karena kesalahan manajemen Menteri Kelautan dan Perikanan yang tidak bisa mengantisipasi kenaikan harga garam yang sudah terjadi sejak tahun lalu.
 
Dia mencontohkan, satu bal garam bermerek Zebra berisi 10 bungkus beberapa bulan lalu dijual Rp 15.000, lalu naik menjadi Rp 25.000 dan saat ini sudah menyentuh angka Rp 77.000 per bal. Melihat kondisi tersebut, Daniel meminta Menteri Kelautan dan Perikanan perlu membuka telinga, membuka mata dan hati. 
 
“Jangan sok tahu, sebab masalah ini sebenarnya sudah diketahui sejak tahun lalu. Artinya data produksi sudah ada, data kebutuhan juga ada dan Menteri KP sudah paham ada kekurangan tetapi impor ditahan. Solusinya buka mata, buka telinga dan buka hati. Nggak ngawur terus,” tegasnya kepada pers sebelum mengikuti Sidang Paripurna DPR, Kamis (27/7/2017).
 
Ketika ditanya apakah masalah ini pernah dibahas dengan Menteri KP, menurut Daniel, sudah dibahas dalam raker pada masa sidang belum lama ini. Didesak lagi solusi apa yang segera dilakukan, ya itu tadi. “Percuma kalau tidak mau denger dan nggak mau lihat fakta dan nggak punya hati bagi rakyat yang kena dampak kenaikan harga garam ini,” tandas politisi PKB ini.
 
Akibat krisis garam kini, lanjut Daniel, semua masyarakat terdampak, tidak hanya masyarakat menengah ke bawah, juga kalangan induustri. Sekarang kapal-kapal ikan mangkrak, arena bahan utama untuk melaut adalah garam untuk es. “ Sekarang harga garam lebih mahal ketimbang solar. Sebentar lagi mangkrak sebab kalau jalan (melaut) akan rugi. Akibatnya ikan kosong dan harga naik, percaya deh,” katanya.
 
Dikatakan Daniel, meski Indonesia sebagai negara pantai, tetapi bukan potensi garam yang baik lantaran cuaca yang tidak mendukung. Terlalu banyak curah hujan dan di negara tropis terlalu lembab sehingga garam yang dihasilkan tidak berkualitas.
 
Berbeda dengan Australia, garam seperti tambang tinggal dikeruk hasilnya sudah standar industry pada angka 98 ke atas. Di Indonesia rata-rata 96, 95 97 sehingga harus diolah kembali. Pengolahannya yang membuat mahal bisa tiga kali lipat dari Australia, sehingga memang perlu impor. 
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang