PKS Tak Setuju Pasal Penistaan Agama Dihapus

PKS Tak Setuju Pasal Penistaan Agama Dihapus
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Ketua Fraksi PKS di DPR RI Jazuli Juwaini menilai desakan untuk menghapus pasal larangan penistaan agama tidak sejalan dengan semangat penghormatan terhadap agama di Indonesia. 
 
"Mahkamah Konstitusi telah mengukuhkan (menolak pembatalan) Pasal dalam UU 1/PNPS/1960 jo UU KUHP Pasal 156A tersebut. Ini artinya secara konstitusional dan by the law UU larangan penodaan agama sangat penting bagi upaya penghormatan dan penjagaan semua agama yang diakui secara resmi oleh negara dari upaya penodaan atau penistaan," kata Jazuli di Jakarta, Kamis (18/5).
 
Disebutkan, UU Nomor 1/PNPS/1965 pada Pasal 1 menyatakan dengan tegas larangan penodaan agama yang berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
 
Karena itu, anggota Komisi I DPR ini meminta pihak-pihak yang bersikeras mendesak pembatalkan larangan penodaan agama untuk memahami bahwa UU tersebut justru dibutuhkan guna menjaga kerukunan antar umat beragama.
 
"Justru jangan dihapus kalau kita ingin menjaga kerukunan, karena jika tidak ada pasal tersebut orang seenaknya menghina dan menista agama dan ini akan memancing disharmoni, bahkan bisa menciptakan instabilitas nasional," terangnya.
 
Secara universal, lanjut Jazuli, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah menyebutkan bahwa hak beragama adalah hak yang paling dasar (basic human rights) dan tidak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights). 
 
Dalam konteks Indonesia, negara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga negara. Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," kata Jazuli.
 
Jaminan terhadap hak beragama, lanjutnya, tidak hanya berupa perlindungan atas pilihan keyakinan seseorang, tetapi juga perlindungan negara atas setiap agama dari upaya penodaan dan penistaan yang dilakukan oleh siapapun. 
 
Negara, kata Jazuli, juga mengembangkan dan mempromosikan sikap toleransi dalam menjalin hubungan antarumat beragama, mencegah berbagai tindakan yang menyulut ketersinggungan umat beragama serta tegas melarang penistaan agama atas nama apapun, termasuk kebebasan. 
 
"Untuk itu, UUD 1945 pada Pasal 28J menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak asasi orang lain dalam rangka tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pun, setiap orang dalam menjalankan kebebasannya tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum," papar Jazuli.
 
Jazuli Juwaini justru mengajak seluruh warga bangsa untuk bersyukur bahwa negara kita memiliki pendirian dan aturan yang jelas tentang posisi agama dan ancaman terhadap perbuatan yang merusak bangunan kerukunan beragama sebagaimana tersebut di atas. 
 
"Di negara kita, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang menghinakan, menodai, dan menistakan agama. Tidak boleh ada sikap yang menyerang dan merusak nilai dan ajaran agama. Ketegasan sikap negara terhadap intoleransi secara konkret diwujudkan dalam beleid tentang larangan penodaan agama. Ini harus kita pertahankan," pungkas Jazuli.
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 10 Mei 2017
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang