Belajar Regional, Ujian Nasional

Belajar Regional, Ujian Nasional
(riaumandiri.co)-Mendikbud Muhadjir Effendy pada November 2016 lalu mengusulkan mulai tahun pelajaran 2017 menghapus Ujian Nasional (UN) tetapi usulan Mendikbud itu tidak jadi sebab Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) tidak menerima usulan itu dan akhirnya UN tetap dilaksanakan tahun 2017 ini.
 
Kala itu banyak kalangan senang mendengar kebijakan Mendikbud ingin melakukan moratorium UN yang dikatakan menjadi tolok ukur mengukur kompetensi anak didik sesuai dengan standart kompetensi minimal tingkat nasional. Sesungguhnya UN belum tepat dikatakan menjadi alat ukur standar nasional. UN cenderung kegiatan seremonial tahunan.
 
Moratorium UN pada dasarnya bagus untuk mengevaluasi pelaksanaan UN selama ini dan menyiapkan sarana prasarana pendidikan. Menyiapkan kualitas guru yang standar untuk semua daerah di Indonesia.
 
Moratorium UN baik untuk memberi waktu kepada pihak sekolah untuk mencapai standar nasional. Hal itu karena berdasarkan data, UN hanya untuk memetakan sekolah secara nasional. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pengendalian mutu pendidikan secara nasional, dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
 
Dari amanat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya tidak tertera UN sebab ada kata evaluasi dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Artinya, lembaga mandiri adalah pihak sekolah sendiri akan tetapi pelaksanaannya harus akuntabilitas.
 
Hal ini sangat tepat dan bisa diterima secara logika sebab standart pendidikan nasional tidak bisa diukur hanya karena lulus pada penyelenggaraan Ujian Nasional. Hal itu terlihat jelas karena kondisi atau realita di lapangan seorang siswa dinyatakan lulus komponennya bukan hanya UN akan tetapi ada proses belajar mengajar yang panjang.
 
Standar kelulusan juga harus disesuaikan dengan kondisi sekolah yakni sarana prasarana yang dimiliki sekolah. Standarisasi harus serasi dengan sarana prasarana yang ada. Kondisi yang ada, sekolah atau madrasah yang ada di pelosok desa sudah pasti fasilitas pembelajaran seperti laboratorium, sarana penunjang lainnya tidak selengkap sekolah atau madrasah yang ada di kota.
 
Begitu juga dengan tenaga pendidik tidak seimbang atau tidak sama untuk semua daerah yang ada di Indonesia. Oleh karena itu standart pendidikan nasional tidak bisa diukur hanya dengan hasil UN. Kondisi yang ada sekarang sejumlah ketimpangan secara kasat mata terlihat antara lembaga pendidikan di pedesaan dan lembaga pendidikan di perkotaan.
 
Pemerataan sarana prasarana menjadi sangat penting untuk mendapatkan kelulusan siswa yang berstandar nasional. Sarana prasarana yang sama untuk semua daerah atau memiliki standarisasi secara nasional sangat menentukan kelulusan siswa secara nasional. Pemerintah bisa melakukan itu dengan membuat terobosan dalam menciptakan sekolah di Indonesia dengan standar pendidikan berskala nasional buat semua sekolah negeri dan swasta.
 
Pembenahan secara total
Kebijakan Mendikbud ingin melakukan moratorium UN pada dasarnya baik sebab memberi waktu atau jeda untuk pembenahan secara total. Mulai dari pembenahan sarana prasarana sampai kepada pembenahan kurikulum yang selama ini menjadi beban pendidik dan peserta didik akibat dari kebijakan yang tidak adil dan merata.
 
Pastinya keragaman kurikulum menjadi keniscayaan untuk bisa mewujudkan standarisasi bagi semua sekolah yang ada di Indonesia. Keragaman kurikulum menjadi tantangan buat sekolah dan para siswa. Pemerintah memiliki otorita, wewenang, kekuasaan untuk mengubah keragaman kurikulum menjadi keseragaman kurikulum.
 
Keragaman bisa saja terjadi mengingat, kultur, budaya Bangsa Indonesia yang memiliki keragaman. Namun, para praktisi pendidikan yang mengelola pendidikan bisa mengembangkan dan mengarahkan anak didik agar lebih baik dan berguna bagi agama, bangsa dan negara.
 
Kondisi ini membuat keragaman itu penting, kebhinneka tunggal ika harus dimiliki para penyelenggara pendidikan guna untuk mengembangkan potensi peserta didik. Keberagaman adalah kondisi dari Bangsa Indonesia yang beragam suku, agama dan ras. Namun, dalam penilaian ujian di sekolah dengan standarisasi nasional maka harus ada keseragaman kurikulum. Hal itu untuk mengetahui dan mengukur kualitas anak didik secara nasional. Belajar bisa saja skalanya regional akan tetapi ketika ujian harus nasional.
 
Tegasnya memiliki standart pendidikan nasional dengan keragaman ujian secara nasional akan tetapi tidak harus mengabaikan potensi lokal. Akhirnya, sarana prasarana harus sejalan dengan prinsip bahwa anak didik memiliki posisi sentral mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertang­gungjawab.
Sedangkan tujuan UN sesuai dengan Peraturan Mendiknas Nomor 39 tahun 2007, pasal 2 (a) menyebutkan tujuan UASBN adalah mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.
 
Mendiknas pun menetapkan pelaksanaan ujian nasional tahun 2008 merupakan Ujian akhir sekolah berstandar nasional. Artinya, ujian nasional dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah. Namun, pada prinsipnya bukan UN tetapi bagaimana proses pendidikan dan proses pembelajaran bisa memenuhi standar yang ditentukan. Sesungguhnya bukan persoalan kelulusan anak didik lewat UN karena hal itu bisa saja diserahkan kepada sekolah masing-masing.
 
Kini yang diperlukan sistim pendidikan yang mendorong sekolah berstandar nasional. Bila sekolah sudah berstandar nasional maka UN yang diserahkan kepada sekolah masing-masing akan menghasilkan anak didik yang berkualitas, berkarakter sebab tidak terbebani untuk memaksakan diri berkua­itas nasional. Hal itu sudah secara otomatis sebab sarana prasarana sudah standar nasional.
 
Bila sarana prasarana sekolah sudah standar nasional maka UN yang dilaksanakan tidak lagi sekadar formalitas untuk mendapatkan nilai kelulusan atau pengakuan nilai ujian anak didik. Normatif dan formalitas bukan keinginan akan tetapi subtansi dari UN yang utama.
 
Pada tahap selanjutnya tidak saja formalitas yang normatif akan tetapi mengarah kepada pendidikan karakter yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Penanaman karakter dalam pendidikan tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan sudah menyentuh semua aspek kecerdasan siswa yaitu afektif, kognitif dan psi­komor.
 
Hal ini sejalan dengan psikologi pendidikan yang melihat pendidikan secara total yakni anak didik yang dididik itu ada­lah manusia yang memiliki unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Keinginan pemerintah Indonesia mewujudkan pendidikan berkaraker maka diperlukan sistim pendidikan yang integral (menyatu) dan holistik (menyeluruh) baik dari segi meteri pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran.
 
Sementara UN yang dilakukan selama ini baru sebatas penilaian hasil belajar siswa berdasarkan kecerdasan kognitif saja. Akhirnya, aspek kejujuran terabaikan. Kriteria kelulusan siswa cenderung dilihat nilai akademiknya saja tanpa memperhatikan karakter siswa. Manalah mungkin proses pendidikan selama tiga tahun hanya dinilai dari ujian tulis selama tiga atau empat hari yang disebut UN.
 
Penulis pemerhati masalah psikologi pendi­dikan, alumni Fakultas Psikologi UMA Medan