Pradigma Kekuasaan Membuat DPD Makin Buruk

Pradigma Kekuasaan Membuat DPD Makin Buruk
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan, yang menentukan masa depan DPD itu bukan DPR atau presiden, tetapi DPD itu sendiri.
 
Hal itu dikatakan Irman ketika berbicara dalam dialog kenegaraan bertema 'Revisi UU MD3 dan Revitalisasi Fungsi DPR, MPR dan DPD, di Media Center DPR, Rabu (22/3). Dia menilai perjuangan DPD untuk memperkuat kewenangannya dirusak dengan benturan-benturan politik internal.
 
"Bahwa di DPD terjadi benturan-benturan politik secara internal yang kemudian berujung pada DPD tiba-tiba mengatur masa jabatan pimpinan. Dalam sejarah parlemen Indonesia tidak pernah ada 2,5 tahun karena pimpinan DPD sesuai masa jabatan keanggotaan DPD, yaitu 5 tahun," kata Irman.
 
Irman juga sependapat dengan anggota DPR Rambe Kamarulzaman yang ikut berbicara dalam diskusi tersebut bahwu mau mengatur masa jabatan pimpinan parlemen, termasuk DPD itu bukan di Tatib, tetapi di Undang-undang.
 
"Lalu pertanyaannya, ini fenomena apa? Berarti ada fenomena political interplay di dalam DPD itu sendiri tentang paradigma kekuasaan. Jadi nampaknya ini bisa berakibat buruk ke depan. Kalau parlemen seperti ini, maka ini akan tradisi lagi, setelah 2,5 tahun diatur lagi, tiap tahun, tiap bulan, tiap minggu. Kalau perlu RI 7 tiap hari kita gilir. Ini hal yang membuat situasi kelembagaan tidak stabil karena ada politikal interplay yang sedang bermain dengan tiba-tiba memotong masa jabatan sistem pejabat," jelas Irman.
 
Terkait usulan tambahan kursi DPD, Irman mengatakan bahwa sebenarnya kelembagaan negara kuatnya bukan di jumlah anggotanya. Bahkan semakin sedkit jumlah pemain di satu lembaga maka semakin kuat lembaga negara itu.
 
"Pesiden itu cuma satu orang dibantu oleh wakilnya, tetapi yang mengambil keputusan satu orang saja, maka dia bisa melawan 550 anggota DPR dengan dia sendiri," kata Irman.
 
Tidak Dianggap DPR
 
Sedangkan Ketua Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan DPD RI John Pieris merasa kecewa dengan DPR yang tidak menganggap DPD RI bagian dari parlemen Indonesia. "Memang teman-teman yang ada di DPR itu belum menganggap kita (DPD) bagian dari parlemen Indonesia," ujar John Pieris.
 
"Jadi saya kira, kalau kita tidak dianggap sebagai bagian dari parlemen lalu apa? apakah kita sub ordinat dari DPR atau DPR super ordinat terhadap DPD?," katanya mempertanyakan.
   
Pada hal kata John Pieris, DPD juga tidak menuntut kewenangan yang sama dengan DPR, apalagi melebihi kewenangan DPR dalam bidang legislasi.
 
"Sepantasnya DPD itu diberikan kewenangan yang  memadai lah. Tidak harus sama juga dengan DPR. Misalnya kewennagan dalam bidang legislasi yang menyangkut perimbangan  keuangan pusat dan daerah, daerah otonomi  baru dan sisa yang besar-besar itu serahkan kepada DPR," ujarnya.
 
Dalam konteks legislasi ke depan, dia mengusulkan cukup satu badan legislasi nasional. Tidak perlu ada lagi Panitia Perancang Undang-undang di DPD dan tidak ada lagi Baleg di DPR.
 
"Satu saja. Nah kira-kira apa rancangan UU DPR kita bahas. Dalam pembahasan itu kita (DPD) terlibat dalam pembahasan tingkat satu sampai dengan tingkat terakhir sebelum paripurna," jelasnya.
 
Struktur konsideran itu juga harus disepakati, menimbang, mengingat, meemperhatikan dan titik dua, mencantumkan pendapat DPD RI. "Itu kan menarik, supaya UU  yang dibuat dan disahkan, disetujui DPR  dan disahkan oleh Presiden harus memperhatikan pendapat DPD," katanya. 
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 23 Maret 2017
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang