Sidang Dugaan Penistaan Agama

Saksi Ahli: Alquran tak Bisa Bohong

Saksi Ahli: Alquran tak Bisa Bohong
JAKARTA (riaumandiri.co)-Guru besar linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rahayu Surtiarti, menjadi saksi ahli bahasa meringankan dalam sidang lanjutan ke-15 kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
 
Dalam sidang yang digelar di Auditorium Kementerian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3), ia mengatakan tidak ada yang menunjukkan Alquran adalah sumber kebohongan.
 
"Karena Alquran tidak bisa bohong. Tapi orang bisa menggunakan apa pun (termasuk Alquran) untuk berbohong," terangnya. 
 
Menurut dia, pesan dalam pidatonya, Ahok ingin mengungkapkan ada orang yang menggunakan surat Al Maidah ayat 51 untuk membohongi. Rahayu menjelaskan, maksud Ahok dalam kata 'dibohongi pakai' adalah merujuk kepada orang-orang yang sengaja menggunakan surat Al Maidah.
 
Hal tersebut diungkapkan berdasarkan pengalaman Ahok saat berada di Bangka Belitung. Banyak lawan politiknya menyebarkan selebaran yang menggunakan surah al-Maidah agar tidak memilih pemimpin Muslim. "Karena pada pengalaman sebelumnya, tertulis di buku Merubah Indonesia, terdakwa sudah cerita ada orang-orang yang menggunakan ayat tersebut untuk maksud tertentu," kata Rahayu.
 
Jaksa Penuntut Umum (JPU) langsung menanyakan apakah terdapat unsur kampanye dalam pidato pejabat tersebut. Menjawab jaksa, Rahayu menilai, tidak adanya unsur kampanye seperti yang dituduhkan. "Meski masa kampanye tapi tidak ada sama sekali kalimat yang memberi kesan bahwa itu berkampanye," kata Rahayu.
 
Rahayu menilai, pidato pejabat itu membahas tentang pemaparan program sosialisasi budi daya perikanan. "Justru yang dikampanyekan adalah program perikanan. Pembicara hanya meyakinkan pendengarnya dengan sejumlah kata-kata yang dianggap menguatkan argumennya dengan kalimat pengandaian," ujar Rahayu.
 
Pengandaian tersebut, kata dia, sebagai penegasan guna menyampaikan pesan sesungguhnya saat Ahok berpidato di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. 
 
"Ketika orang berpidato, dia bebas memberikan ujaran sebagai bagian dari pidato yang membahas itu. (Surat) Al-Maidah hanya pengandaian. Kalau dihilangkan, bisa jadi kurang meyakinkan," kata Rahayu.
 
Dia juga tak menampik bila terdakwa memang merasa dirinya benar dalam menyampaikan pidato tersebut. "Dia (terdakwa) merasa benar dan orang lain tidak benar?" tanya Jaksa. "Iya," jawab Rahayu.
 
Terkait hal itu, Koordinator Persidangan Tim Advokasi GNPF MUI, Nasrulloh Nasution, yang turut menyaksikan jalannya persidangan menyatakan, keterangan ahli yang menyatakan surat Al Maidah 51 sebagai alat kebohongan sesuai dengan keterangan-keterangan ahli yang dihadirkan JPU, dalam sidang-sidang sebelumnya. 
 
Ketika itu, para saksi ahli pidana dan ahli agama Islam yang dihadirkan JPU menjelaskan makna dibohongi surat Al Maidah 51, berarti surat Al Maidah dijadikan alat kebohongan dan ulama yang menyampaikan surat Al Maidah sebagai orang yang berbohong.
 
Nasrulloh mengatakan, Rahayu juga menjelaskan arti kata "orang" dalam kalimat dibodohin pakai surat Al Maidah 51 adalah ungkapan yang bermakna umum, tidak hanya bermakna elite politik. 
 
"Artinya, bisa juga bermakna ulama sebagai orang yang menyampaikan surat Al Maidah 51," ujarnya.
 
Keterangan ahli bahasa ini, kata dia, sudah sesuai dengan keterangan ahli-ahli JPU, menguatkan fakta bahwa selain mengatakan Surat Al Maidah 51 sebagai alat kebohongan. "Ahli juga mengatakan bahwa orang yang menyampaikan surah al-Maidah 51 sebagai orang yang menyebarkan kebohongan," katanya.
 
Nasrulloh berpendapat, ahli bahasa yang dihadirkan penasihat hukum Ahok juga menguatkan unsur niat Ahok untuk menista agama Islam. Menurut dia, ahli sudah menyimpulkan bahwa perkataan Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah 51 merupakan hasil pengalaman Ahok dari kegagalannya bertarung di Pilgub Bangka Belitung 2007.
 
Lebih lanjut, kata dia, Ahok menuduh kegagalannya dalam pemilihan kepala daerah akibat adanya selebaran yang saat itu disebar. Selebaran yang beredar itu menyeru agar tidak memilih pemimpin non-Muslim sebagaimana dinyatakan dalam Alquran Surat Al Maidah 51.
 
Nasrulloh juga menambahkan, ahli bahasa menerangkan bahwa tidak ada ruang hampa dalam pikiran dan setiap perkataan tidak dapat berdiri sendiri dan selalu berhubungan dengan perkataan sebelumnya. 
 
Pengalaman kegagalan Ahok di Pilgub Bangka Belitung 2007 akibat Surat Al Maidah 51, kata dia, menjadi pengalaman buruk yang kemudian dituangkan dalam bukunya berjudul Merubah Indonesia dan disampaikannya dalam pidato di Balai Kota dan di Partai Nasdem.
 
"Pengalaman buruk Ahok dengan surah al-Maidah 51 adalah bukti penguat adanya unsur niat menista agama Islam," kata dia. (rol, ral, sis)