Penerima Dana E-KTP Capai Puluhan

JPU: Uang Dibagi di Ruang Setnov

JPU: Uang Dibagi di Ruang Setnov

JAKARTA (riaumandiri.co)-Puluhan pihak disebut-sebut menikmati aliran dana pengadan KTP elektronik, yang dianggarkan melalui APBN tahun anggaran 2011-2012 dengan total Rp5,95 triliun. Salah satu pihak yang disebut-sebut ikut kecipratan uang tersebut adalah Ketua DPR Setya Novanto.

Uang yang diterima mereka yang disebut menikmati dana korupsi tersebut bervariasi. Mulai dari dolar AS hingga rupiah dalam hitungan jutaan hingga miliaran. Sejumlah pihak disebut-sebut sebagai penerima. Mulai dari anggota DPR, pejabat negara hingga pihak pribadi dan perusahaan.

Informasi mengejutkan itu, dilontarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat sidang perdana dugaan korupsi e-KTP, yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3). Tak tanggung-tanggung, total dana yang diduga diselewengkan mencapai Rp2,314 triliun.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen kepada Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.

Sejumlah nama yang akrab di telinga publik, ikut disebut-sebut. Di antaranya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua DPR Setya Novanto, mantan Ketua DPR Marzuki Ali serta sejumlah tokoh lainnya.

Dalam dakwaan kemarin, JPU sempat menyinggung peran pria yang akrab disapa Setnov tersebut. Dalam kasus ini, Setnov disebut telah meminta jatah Rp574 miliar bersama dengan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Permintaan jatah itu dilakukan ketika DPR mulai membahas RAPBN tahun anggaran 2011 pada Juli-Agustus 2010. Saat itu, anggaran proyek e-KTP juga mulai dibahas.

Saat itu, Andi Narogong selaku pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengurusi proyek e-KTP, mulai lebih intens bertemu dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin. Pembahasan anggaran itu pun mencapai konklusi dengan menggunakan uang negara sebesar Rp 5,9 triliun.

"Karena anggota DPR (Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin) tersebut dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional," ujar JPU.

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, mereka bersepakat DPR akan menyetujui anggaran kurang-lebih Rp5,9 triliun tersebut dengan pengawalan dari Partai Golkar dan Partai Demokrat dalam pembahasannya. Untuk itu, anggota Dewan meminta imbalan.

"Guna merealisasikan pemberian fee tersebut, Andi Agustinus alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran KTP elektronik yang kurang-lebih senilai Rp 5,9 triliun," kata jaksa KPK.

Ketika itu, ada kesepakatan antara Andi Narogong, Setya Novanto, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, terkait penggunaan anggaran pengadaan e-KTP tersebut.

Yakni, sebesar 51 persen atau sejumlah Rp2.662.000.000.000 dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek. Sedangkan sisanya sebesar 49 persen atau sejumlah 2.558.000.000.000 akan dibagi-bagikan kepada sejumlah pihak. Yakni, beberapa pejabat Kemdagri termasuk para terdakwa sebesar 7 persen atau sejumlah Rp365.400.000.000. Selanjutnya anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261.000.000.000.

Sedangkan Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574.200.000.000. Angka yang sama juga ditujukan untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin. Lainnya, adalah keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen atau sejumlah Rp783.000.000.000

Hanya saja, sepanjang surat dakwaan itu, jaksa KPK tidak menjabarkan apakah jatah Novanto dan Andi Narogong itu terealisasi atau tidak. Sedangkan, jatah lain yang sudah ditetapkan itu dijelaskan rinci oleh jaksa KPK.

Dalam sidang kemarin, JPU juga sempat menyebut adanya dugaan pembagian fee uang proyek e-KTP di ruang kerja Setnov, yang ketika itu menjabat Ketua Fraksi Golkar DPR. Selain ruangan Novanto, pembagian fee juga pernah dilakukan di ruangan mantan anggota Komisi II dari Fraksi Golkar, Mustoko Weni.

Selain itu, JPU juga menyebutkan, pengusaha Andi Narogong juga pernah beberapa kali membagikan uang kepada pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Sejumlah nama pimpinan Banggar disebut yaitu Melchias Marcus Mekeng sebagai Ketua Banggar senilai USD 1,4. Lalu, tiga Wakil Ketua Banggar yakni Tamsil Lindrung sejumlah USD 700 ribu, dan Mirwan Amir serta Olly Donkokambe yang masing-masing sebesar USD1,2 juta.

Rp2,314 Triliun
Sementara itu, JPU dari KPK, Irene Putri, mengatakan, akibat dugaan korupsi secara bersama-sama tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.

Angka itu sesuai dengan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 11 Mei 2016. (selengkapnya lihat tabel, red)

Sementara itu, JPU dari KPK lainnya, Eva Yustisiana mengungkapkan, selain sejumlah anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri, auditor BPK hingga Deputi Sekretariat Kabinet juga disebut menerima aliran dana e KTP tersebut.

"Pada November-Desember 2012 juga diberikan uang kepada staf Kemendagri, pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sekretariat Komisi II DPR dan staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)," ujarnya.

Dalam perkara ini, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Usai persidangan, JPU Irene mengatakan, pihaknya akan menghadirkan 133 saksi di tahap pembuktian. Termasuk di antaranya Ketua DPR Setya Novanto. "Iya kami akan hadirkan," ujarnya.

Tim jaksa sambung Irene akan memprioritaskan menghadirkan saksi terkait penganggaran. Ada sekitar 10 saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan pekan depan. Hanya saja ditanya apakah 10 orang tersebut dari DPR, Irene belum bisa memastikan.

"Penganggaran itu di situ melibatkan Bappenas, Kemenkeu, tim teknis, kemudian DPR yang mengesahkan," kata Irene. (bbs, rol, dtc, ral, sis)