Penyandang Disabilitas Minta Kuota Caleg 10 Persen

Penyandang Disabilitas Minta Kuota Caleg 10 Persen
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Penyandang disabilitas menuntut hak politik mereka dalam pemilu. Bukan saja hak memilih tapi juga dipilih sebagai calon legislatif (DPR/DPD/DPRD) dengan kuota 10 persen.
 
Harapan tersebut disampaikan Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril dalam rapat dengar pendapat umum dengan Pansus RUU Pemilu, di Gedung DPR, Kamis (16/02/2017).
 
Karena itu, PPDI mengusulkan tentang ketentuan “sehat jasmani dan rohani” dalam pencalegan sebaiknya dihilangkan karena multitafsir. Alasannya, banyak publik dan bahkan dokter menganggap penyandang disabilitas disamakam dengan sakit, padahal tidak. PPDI mengusulkan keterwakilan penyandang disabilitas sebesar 10 persen.
 
Menanggapi usulan PPDI tersebut, Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, jika UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hanya mengatur secara umum. Maka, RUU Penyelengaraan Pemilu harus mengatur hak politik penyandang disabilitas.
 
Menurut politisi PKB itu, RUU ini akan memberikan ruang kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ramah terhadap penyandang disabilitas. “Apakah di setiap TPS akan disediakan sarana fasilitas yang ramah atau dengan mekanisme membuat TPS khusus atau jemput bola untuk mengumpulkan suara dari penyandang disabilitas,” jelas Lukman.
 
Mengenai hak untuk dipilih bagi penyandang disabilitas, Lukman mengatakan, sudah banyak kaum difabel yang cukup kompeten tetapi tidak diberikan kesempatan yang sama dengan yang normal. 
 
"Harus ada aturan-aturan yang tidak mendiskriminatif, seperti syarat sehat jasmani dan rohani yang dinilai multi tafsir, sehingga pihak rumah sakit dan dokter pun menutup akses pencalonan," jelasnya.
 
Dia mencontohkan seorang tidak bisa mendengar atau melihat itu dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani. "Menilai mereka itu tidak sehat secara jasmani, mohon dikoreksi. Harus ada ukuran-ukuran yang tidak membuat mereka terdiskriminasi,” tutur Lukman.
 
Untuk mendorong keterwakilan penyandang disabilitas, kata Lukman, maka harus ada tindakan afirmasi sehingga kompetisi antara yang normal dan difabel berjalan seimbang, misalnya dengan memberikan diskon kursi.
 
“Satu kursi anggota DPR normal itu 500 ribu, maka ada diskon kepada disabilitas, bisa kurang dari 25 persen. Sedangkan untuk mencalonkan di DPD, syaratnya ada 2000 KTP, maka kaum disabilitas bisa dikurangi separuhnya, cukup 1000. Kemungkinan seperti itu pola-pola kita untuk mendorong afirmasi disabilitas,” ujarnya.
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 18 Februari 2017
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang