Oleh : Vinsensius Sitepu

Trump Menantang Dunia

Trump Menantang Dunia
Setelah Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), spekulasi warga dunia pun kian liar, tentang apakah janjijanji kampanye politiknya akan nyata terejawantahkan. Hingga detik ini warga dunia memandang Trump dengan sudut pandang, bahwa presiden negara itu menganut prinsip proteksionisme, walaupun kita dapat pahami dari sudut pandang lain, bahwa politik praktis lebih kuat.
 
Beberapa hari yang lalu, Kantor Berita Associated Press (AP), mengabarkan bocoran potongan transkrip pembicaraan antara Presiden Trump dan Presiden Meksiko. Pembicaraan melalui telepon itu bernada ancaman Trump kepada presiden negara tetangganya agar militer Meksiko lebih tegas lagi mengontrol orangorang jahat yang kerap masuk ke AS. AP menyebutkan gaya bicara Trump kepada sang presiden tak ubahnya gaya bicara Trump ketika berpidato, yang cenderung blakblakkan dan nyelekit. Hingga detik ini, kedua negara membantah adanya bocoran tersebut.
 
Perkembangan terbaru lainnya adalah Trump membatalkan janjinya untuk menampung ribuan imigran di Australia agar dipindahkan ke AS. Padahal perjanjian itu sebelumnya telah disepakati Trump dengan Perdana Menteri Australia Turnbull. Pernyataan Trump ini mengargetkan Australia, mengingat negara benua ini adalah sekutu mesra AS di kawasan Asia sejak Perang Dunia I.
 
Kebijakan Presiden Donald Trump dalam masalah imigrasi dan pengungsi adalah yang mendapat kecaman luas di luar negeri dan dalam negeri AS. Ketika mengumumkan perintah eksekutif, Trump menyebut serangan 11 September 2001. Tetapi tak seorang pun dari 19 pelaku pembajakan pesawat untuk menyerang Twin Towers di New York berasal dari 7 negara, di mana warganya dilarang masuk ke AS. Pelaku itu berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Lebanon. Beberapa pihak menggarisbawahi bahwa daftar negara yang dilarang tidak termasuk negaranegara di mana Presiden Trump mempunyai kepentingan bisnis, seperti Arab Saudi.  Dan Pemerintah Arab Saudi sendiri mendukung kebijakan Trump itu.
 
Setidaknya kita tahu Trump mulai mendekati Presiden Meksiko dan memujimujinya melalui media massa, sebagai presiden yang baik untuk diajak bekerjasama. Tatkala berkampanye, Trump berjanji akan membangun tembok pembatas sepanjang 35 ribu kilometer di perbatasan dua negara itu, namun dengan catatan Pemerintah Meksiko yang harus membiayai proyek itu.
 
Walaupun nanti AS sendiri yang akan membiayai, tentu ini mendapat tentangan dari dalam negeri sendiri, sebab dari segi biaya tentulah tidak kecil. Trump bersikukuh dengan alasan pembangunan tembok itu, untuk meredam para imigran gelap dari Meksiko termasuk menjaga Amerika Serikat dari peredaran narkoba yang masif. Meski alasannya rasional, tetapi solusinya agak menyimpang.
 
Trump juga kerap memperingatkan tentang isu deportasi dan hubungan perdagangan. Selama ini 80% ekspor Meksiko bergantung kepada AS. Sekitar 60% produk impor berasal dari AS. Ancaman permusuhan Trump bisa jadi meningkatkan pencalonan kandi­dat sayap kiri, Andres Manuel Obrador dalam pemilu Meksiko mendatang.
 
Pelarangan masuknya warga Timur  Tengah kian mendapat tantangan. Jaksa Agung Amerika Serikat, Sally Yates terangterangan mengkritik kebijakan presiden, karena Amerika Serikat sejatinya adalah negara bebas dan terbuka bagi siapa saja, tidak memandang agama ataupun ras tertentu. Yang unik adalah ketujuh negara tersebut diyakini tidak mempunya kepentingan bisnis secara langsung yang dimiliki oleh Donald Trump. Yang satu ini jelas-jelas kebijakan yang diskriminatif. Akhir Januari, Jaksa Agung itu pun akhirnya dipecat.
 
Donald Trump tercatat sebagai Pre­siden Amerika Serikat pertama yang secara terbuka menjalin hubungan “super mesra” dengan Rusia, negara yang selama puluhan tahun adalah rival negara adidaya itu. Tidak jelas apa latar belakang Trump mengubah perspektif politik luar negerinya dengan Rusia.
 
Tetapi satu hal, yaitu kepentingan bisnis Trump di Rusia, barangkali alasan yang paling masuk akal, ditambah desas desus bahwa intelijen Rusia memegang kartu As berupa video Trump yang sedang berpesta dengan wanita panggilan di Rusia. Kanselir Jerman, Angelina Merkel dan negaranegara Eropa pun mengecam intervensi Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina. Kedekatan Trump dengan Putin berpotensi melemahkan Eropa, karena aneksasi Rusia terhadap beberapa negara lain di Eropa dapat semakin meluas.
 
Sejarah dan Taktik AS
Bagi siapa saja yang memahami sejarah Amerika Serikat secara mendalam, negara adidaya itu tidak selamanya mempratikkan demokrasi yang sesungguhnya, terlebih-lebih praktik jurnalisme yang bagi sebagian orang dijadikan rujukan jurnalisme yang ideal.
 
Noam Chomsky, profesor di MIT, misalnya punya sejarah panjang dan konsisten mengkritik kebijakan Amerika Serikat sebagai polisi dunia. Dengan beragam penelitian mendalam dia banyak tahu tentang praktik kotor politik Amerika Serikat di banyak negara di dunia, setidaknya sekitar 50 persen dari total negara yang ada, mulai dari perang Asia Pasifik, Perang Vietnam, Perang Teluk, Invasi Irak, Perang Timor Timur dan banyak lagi.
 
Amerika Serikat di mata Noam Chomsky adalah negara yang menerapkan standar ganda, demi kepentingan nasional. Jikalau perlu negara itu mendanai monster diktator di sebuah negara asalkan mampu mengamankan lahanlahan di negara itu untuk kepentingan korporasi Amerika Serikat.
 
Dalam kasus Guatemala (1975), yang terjadi adalah sebuah genosida, yang tak banyak orang tahu, karena media dunia media bungkam atau dibungkamkan. Kala itu, tentara-tentara Amerika Serikat melatih para pembelot untuk membunuh dan memperkosa warga, yang akhirnya mampu menggulingkan pihak berkuasa yang dituduh komunis.
 
Noam Chomsky juga mendedahkan fakta serupa ketika Amerika Serikat mendukung sepenuhnya aneksasi Timor Timur oleh Soeharto pada 1975 demi menggulinggkan pemerintahan komunis di bekas negara jajahan portugis itu. Alasan utama aksi yang memakakan korban ribu­an warga sipil tersebut tak lain tak bukan demi perebutan ladang minyak di wilayah itu.
 
Khusus menyoal kemesraan AS-Rusia, barangkali dapat dibaca sebagai strategi khusus Trump untuk menghalangi dominasi Tiongkok di wilayah Asia dan dunia. Trump sadar kemajuan Tiongkok dan kebangkitan Asia akan menjadi ancaman serius bagi ekonomi AS dan sangat berpotensi merebut pengaruh di negara-ne­gara lain. Dengan Trump mendekati Rusia yang notabene adalah sekutu Tiongkok dan banyak negara lain, setidaknya berpotensi memecah pengaruh Tiongkok di Eropa, selanjutnya di Asia Tenggara, di mana yang kita ketahui Filipina memutuskan kerjasama militernya dengan AS dan berpaling kepada Rusia. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin memutuskan mesra dengan Rusia adalah sebuah taktik khusus Trump memecah belah pengaruh beruang merah itu, sekalipun itu berisiko jikalau kelak kepentingan bisnisnya hancur termasuk diungkapkannya video mesum dirinya.
 
Saat ini AS menghadapi berbagai masalah terkait ekonomi, khususnya tingkat pengangguran yang meningkat, sebagai akibat korporasi negara itu yang membangun pabrik di luar negeri yang upah buruhnya jauh lebih murah. Kemudian taktik membangun pengaruh secara damai di Timur Tengah pun tidak kunjung efektif. Irak hingga kini masih bergejolak. Kedamaian di Suriah juga belum mencapai titik terang. Yaman pun masih mengalami diselimuti perang saudara.
 
Prediksi dua dekade silam bahwa AS kehilangan taringnya ada benarnya, sebab standar ganda yang selama ini diterapkan menjadi bumerang besar bagi AS. Alih-alih membawa kedamaian di negara berkonflik dengan menyokong pihak oposisi ataupun pemerintah sah, AS akhirnya mengalami pembalasan yang tak kalah menyakitkan, yang mendorong belanja militer yang tidak sedikit. Alasan invasi AS ke Irak pada 2003 yang disebutkan Bush untuk mengungkapkan senjata pemusnah massal, hingga sekarang tidak terbukti. Itu justru berakhir dengan penggulingan dan menghukum mati Saddam Hussein. Padahal di kala pemerintahan Reagen, Saddam Hussein adalah kawan mesranya untuk mengendalikan beberapa negara di Kawasan Timur Tengah, khususnya ketika mendukung Irak dalam perperangan dengan Iran. Tetapi ketika invasi Irak ke Kuwait pada 2 Agustus 1990 yang menyulut Perang Teluk, AS bersama sekutunya justru membantu Kuwait untuk menghantam Irak.
 
Banyak pihak memahami aksi perang berdarah AS di negara-negara Timur Tengah adalah demi menguasai sumber minyak, seraya menyudutkan pihak Islam dengan rasionalisasinya terhadap aksi ISIS yang kejam. Tidak sedikit pula orang menduga bahwa ISIS sendiri adalah bentukan AS sendiri sebagai bagian dari strategi usang yang dipraktikkan AS di negara-negara lain sejak perang dunia II. Oleh sebab itu tak heran di Indonesia sendiri isu-isu komunisme dan sosialisme dianggap hantu yang sangat mengerikan dan semakin dihembuskan. Mungkinkah AS berperan dalam isu-isu besar akhir-akhir ini, ketika diketahui Indonesia lebih rapat dengan Tiongkok dan Rusia, sebab kita tahu cara-cara seperti ini berhasil menumbangkan Soekaro yang pro PKI dan anti Sekutu?
Noam Chomsky (2015) mengetahui bahwa naiknya Soeharto menjadi presiden adalah berkat jasa AS, karena berhasil menumpas antek-antek PKI dan sukses menghabisi ribuan korban jiwa pada tahun 1965. Di sini AS paham, bahwa isu komunisme sangat mudah jikalau dipadupadankan dengan sentimen agama dan ras dan sangat mudah pula memantik kegun­cangan sosial.(sumber analisa).
 
Penulis adalah Praktisi Komunikasi Massa