TERJERAT OTT KPK

Patrialis Diduga Terima Suap Rp2,15 M

Patrialis Diduga Terima Suap Rp2,15 M
JAKARTA (riaumandiri.co)-Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan hakim konstitusi, Patrialis Akbar, sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait uji materi Undang-undang (UU) Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (26/1). Uji materi UU ini sudah selesai dan tinggal dibacakan putusannya.
 
Sebelumnya Patrialis ditangkap penyidik KPK dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan penyidik KPK pada Rabu (25/1) malam hingga Kamis (26/1) dini hari. Dalam operasi tangkap tangan itu KPK mengamankan 11 orang. Empat orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Patrialis Akbar. 
 
Dalam kasus ini, Patrialis diduga menerima sejumlah hadiah uang dalam bentuk mata uang asing. Patrialis menerima suap tersebut dari pengusaha bernama Basuki Hariman. Uang itu disampaikan melalui seorang perantara yang juga pengusaha bernama Kamaludin. KPK pun menetapkan Patrialis dan Kamarudin sebagai penerima suap. Kemudian KPK juga menetapkan Basuki dan sekretarisnya, NG Feni, sebagai pemberi suap.
 
"Diduga menerima hadiah sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis malam.
Adapun nilai tukar mata uang dari 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura itu sekitar Rp 2,15 miliar.
 
Basaria kemudian menjelaskan kronologi penangkapan. Awalnya, KPK menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya kasus suap terhadap Patrialis. KPK kemudian melakuan penelusuran dan mengamankan KM.
 
"(KM) temannya PAK (Patrialis), di lapangan golf Rawamangun," ujar Basaria.
Setelah itu, tim bergerak ke kantor BHR di Sunter, Jakarta Utara. Di lokasi itu, KPK mengamankan BHR, sekretarisnya yaitu NGF, dan enam karyawan lain.
 
"BHR ini memiliki sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging," ucap Basaria.
Setelah melakukan pengamanan, pada Rabu malam itu tim KPK kemudian bergerak mengamankan Patrialis Akbar.
 
"Pada saat itu berada di sebuah pusat perbelanjaan di Grand Indonesia, Jakarta, bersama seorang wanita," ucap Basaria.
 
"Diduga BHR memberikan hadiah atau janji kepada PAK terkait permohonan uji materi, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014," kata dia.
 
Ditambahkan Basaria, sebelumnya hakim konstitusi itu ternyata juga telah menerima uang haram. 
"Yang (USD) 20 ribu bahkan yang sudah ketiga. Tanggalnya (Kabiro Humas KPK) Febri (Diansyah) yang ini kan (update). Sudah ada pertama, kedua, ketiga," sebutnya.
 
Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang USD 20 ribu dan SGD 200 ribu. Namun Basaria tidak mengungkap berapa commitment fee yang diterima Patrialis.
 
Dalam jumpa pers di Gedung KPK tersebut, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menegaskan, KPK tidak menemukan dugaan gratifikasi seks dalam kasus suap yang melibatkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.  "Tidak ada gratifikasi seks," ujar Laode Muhammad Syarif.
 
Syarif membenarkan bahwa saat ditangkap, Patrialis bersama seorang perempuan. Keduanya ditangkap saat berada di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
 
Namun, karena dinilai tidak terkait dengan dugaan tindak pidana dan tidak ada kepentingan untuk diumumkan, identitas perempuan tersebut tidak disebutkan dalam jumpa pers.
 
"Ini adalah kasus yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, tidak ada hubungan dengan tindak pidana asusila," kata Syarif.
 
Penggugat UU tersebut angkat bicara soal kasus suap yang saat ini masih berproses di MK. "Proses dalam persidangan jadi kalau kita hitung dari Mei sudah 8 bulan. Jadi kami pertanyakan kenapa sampai lama karena sebelumnya MK sudah mengambil keputusan yang lama," ujar salah satu penggugat, Teguh Boediyana di Plaza Festival, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (26/1).
 
Dia meminta supaya MK segera memutus gugatan ini terlebih sudah ada indikasi suap dalam kasus tersebut. Menurut Teguh, sidang terakhir gugatan ini terjadi pada bulan Mei 2016. Dia beranggapan seharusnya gugatan tersebut diputus di tahun 2016 juga.
 
"Kami daftar Oktober pada 2015, kemudian proses berjalan, dan pemeriksaan semua selesai pada bulan Mei 2016, baik pemeriksaan terhadap saksi ahli dan sebagainya, kami menunggu putusan MK harus secepatnya," ucapnya.
 
Teguh yang juga Ketua DPRN juga mengatakan, efek dari pasal 36 yang ada di UU tersebut adalah kualitas daging yang akan dijual ke masyarakat tidak sehat. Oleh karena itu dia meminta MK untuk membatalkan sebagian pasal 36 di UU No 41/2014 tersebut.
 
"Kami konsen masalah penyakit ini adalah penyakit yang sangat mengerikan, Inggris 2001 pada saat outbreak ada 600 ribu ekor sapi yang harus dimusnahkan, ada 4 juta domba yang dimusnahkan, inilah dasar pertimbangan kami," ucapnya.
 
Di sisi lain, DPRN membantah pihaknya melakukan penyuapan terhadap Patrialis. "Kita enggak ada suap, justru kami curigai (hakim) MK (bermain) dengan gugatan kami dan akhirnya terbukti," ujar Ade Zulkarnaen, Sekjen DPRN. 
 
Pasalnya, gugatan ini rentan suap karena akan ada oknum yang merasa dirugikan jika gugatan dengan nomor 129/PUU/2015 tersebut dikabulkan.
 
"Adanya kasus ini kami jadi senang dan terbukti, tidak ada satu pun anggota dewan peternakan yang terlibat," ucapnya.
 
Paling Sering Diperiksa Dewan Etik
 
Ketua Dewan Etik Abdul Mukhtie Fajar mengaku paling sering memeriksa hakim konstitusi Patrialis Akbar. Bermacam aduan dari masyarakat hingga pemberitaan di media membuat Patrialis sering keluar-masuk ruangan Dewan Etik.
 
"Beliau hakim konstitusi yang sering diperiksa oleh Dewan Etik. Dan beliau paling sering merasa terima kasih karena sering diingatkan oleh kami," kata Mukhtie Fajar di gedung MK, Jalan Medan Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (26/1).
 
"Nah, kalau sekarang kena musibah ya, innalillahi rojiun saja," imbuhnya.
 
Mukhtie mengatakan ada banyak laporan yang masuk ke Dewan Etik terkait Patrialis. Hakim konstitusi itu sering dipanggil karena terkait pilkada hingga masalah penyataan yang kontroversial. "Kasus tadi terkait pilkada, terkait apa, tugas-tugas menyampaikan tugas pokok, sampai terkait dengan pernyataannya," ucap Mukhtie.
 
Mukhtie mengaku Patrialis juga pernah diberitakan oleh organisasi kemasyarakatan peduli MK terkait soal suap. Namun, saat didalami oleh Dewan Etik, tidak ada bukti lengkap.
 
"Kami undang tidak pernah datang, alamatnya juga tidak jelas. Kemudian kami tanya langsung waktu ada laporan resmi, mereka juga tidak tahu-menahu. Jadi mereka dalam menjaga konstitusi ini, masyarakat punya bukti cukup kalau diundang kami, datanglah," ujar Mukhtie.
 
Mukhtie meminta, ke depan pemilihan hakim konstitusi lebih selektif. Pasalnya, tugas hakim konstitusi tidak mudah dan memiliki tanggung jawab berat. 
 
"Saya kira harus selektif, yang jelas pola seleksi hakim konstitusi, mau itu dari DPR, MA, maupun Presiden. Betul-betul harus diseleksi, karena jadi hakim MK memang berat," ujar Mukhtie.
Mukhtie mengatakan salah satu syarat mutlak hakim konstitusi adalah sosok negarawan. Sehingga mereka yang terpilih harus memiliki sikap untuk publik. 
 
"Sikapnya untuk kepentingan publik, negarawan bukan kelompok atau pribadi, harus punya integritas. Nah, ini paling sulit diukur seperti apa dan menguasai betul-betul hakim konstitusi serta bersikap adil," paparnya.
 
Belakangan, kata Mukhtie Fajar, mereka yang duduk di balik bangku hakim konstitusi telah didominasi orang politik. Sementara dulu, pada generasi pertama, MK lebih sering diisi dari kalangan akademisi.
 
"MK generasi pertama mayoritas orang perguruan tinggi, lalu sekarang bergeser ke politik. Misal Patrialis itu orang politik, dulu ngambil Pak Hamdan orang politik, kalau DPR jelas orang politik," ujarnya.
 
Sebelum Patrialis, Akil Mochtar juga ditangkap KPK. Ketua MK itu akhirnya dihukum seumur hidup dan kini menghuni penjara di LP Sukamiskin hingga akhir hayat.  (bbs/kom/dtc/ral)