Oleh : Kurniadi *)

Menyikapi Konflik Sosial di Indonesia

Menyikapi Konflik Sosial di Indonesia

Indonesia terdiri lebih dari 1.000 etnis dengan berbagai adat istiadat dan norma hidup serta bahasa yang berbeda. Kekayaan etnis tersebut seharusnya menjadi kekuatan untuk mempersatukan bangsa, namun kenyataan justru meningkatkan ekskalasi konflik di tengah masyarakat. Dalam periode antara 1997-2004, terjadi 3.600 kali konflik dengan jumlah korban sedikitnya 10.700 orang belum termasuk konflik Aceh, Maluku dan Papua.

Berdasarkan pengelompokan isu/pola konflik sosial di tahun 2013, 2014 dan 2015 (medio kuartal Januari s/d April) diantaranya sebagai berikut: Tahun 2013 total telah terjadi 92 peristiwa konflik, diantaranya bentrok antar warga berjumlah 37 kasus, isu keamanan 16 kasus, isu SARA 9 kasus, konflik kesenjangan sosial 2 kasus, konflik pada institusi pendidikan 2 kasus, konflik ORMAS 6 kasus, sengketa lahan 11 kasus, serta ekses politik 9 kasus. Sedangkan di tahun 2014 total jumlah konflik 83 kasus dengan rincian bentrok antar warga berjumlah 40 kasus, isu keamanan 20 kasus, isu SARA 1 kasus, konflik ORMAS 3 kasus, sengketa lahan 14 kasus, ekses konflik politik 4 kasus. Terakhir ditahun 2015 (Medio Kuartal/ Januari s/d April) total jumlah konflik yang terjadi 26 kasus, dengan rincian bentrok antar warga berjumlah 8 kasus, isu keamanan 9 kasus, konflik ORMAS 1 kasus, sengketa lahan 6 kasus, dan terakhir konflik karena ekses politik berjumlah 2 kasus.

Disisi lain, berdasarkan sumber konflik (UU No. 7/2012) pada tahun 2013, 2014, dan juga tahun 2015 (medio kuartal Januari s/d April), rekapitulasi peristiwa konflik sosial yang terjadi pada tahun 2013 diantaranya permasalahan Ipoleksosbud yang paling dominan dengan jumlah 71 kasus, perseteruan SARA 8 kasus, serta sengketa SDA/Lahan 13 kasus. Sedangkan ditahun 2014 permasalahan konflik yang bersumber oleh poleksosbud berjumlah 68 kasus, perseteruan SARA 1 kasus, dan sengketa SDA/Lahan 14 kasus. Terakhir ditahun 2015 dalam medio kuartal, konflik sosial yang bersumber oleh Ipoleksosbud berjumlah 20 kasus, perseteruan SARA nol (tidak ada), serta sengketa SDA/Lahan berjumlah 6 kasus.

Pasca pergerakan kebangkitan reformasi, kebebasan masyarakat yang tadinya terpasung menjelma menjadi euphoria yang berlebihan, karena reformasi tidak diikuti dengan usaha-usaha perbaikan dalam menyusun pola-pola baru baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Selain itu sosial cost dan human cost yang hilang selama orde baru tidak dipulihkan di masa reformasi, akibatnya Indonesia tidak hanya mengalami krisis moneter ataupun krisis ekonomi, tapi diikuti pula oleh krisis sosial dan budaya. Akibatnya Indonesia mengalami kemerosotan rasa percaya diri, tumbuhnya konflik horisontal dan kehilangan konsep nasionalisme serta kebangsaan.

Akibat euphoria yang berlebihan tersebut, menimbulkan adanya pihak-pihak yang ingin mempertahankan sistem lama, dimana mereka memperoleh keuntungan-keuntungan besar untuk diri dan kelompoknya. Begitu besar kekuatan kelompok yang mempertahankan praktek-praktek itu sehingga mereka mampu menempuh cara-cara yang tidak jarang menimbulkan konflik SARA. Lebih spesifik lagi, demokrasi yang sedang dibangun, telah diarahkan pada sektarianisme, sebagai imbas dari konflik antar partai. Partai-partai melemahkan kekuatan reformasi dengan memecah belah dan mengadu domba masyarakat dengan menghembuskan sentimen SARA. Lemahnya penegakan hukum, masyarakat yang miskin dan bodoh juga memicu mudahnya masyarakat terpancing isu SARA tersebut yang berakibat konflik horizontal terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Konflik horisontal yang melanda Indonesia, terindikasi lebih dipengaruhi oleh politik penguasa ketimbang ketidakcocokan etnis atau SARA diantara masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 4 (empat) penyebab sumber konflik: Pertama, perbedaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yaitu pengaturan lahan, hutan, mineral, pasar dan distribusi, bank, kesempatan berkuasa, pengangguran, kemiskinan dan perlindungan politik.

Kedua, pengaturan perluasan batas-batas budaya seperti bahasa, pemukiman, simbol publik, upacara publik, pakaian, kesenian, etika dan kebiasaan-kebiasaan daerah. Politisasi etnis selalu akan mendapat tempat karena bisa mendatangkan uang sekaligus meraih dukungan publik.

Ketiga, pertentangan ideologi, politik dan agama dimana agama muncul dalam bentuk ideologi atau politik, budaya atau kelompok etnis, atau akses untuk memonopoli ekonomi. Sementara pertentangan politik dimunculkan untuk memperkuat segregasi atau kelanggengan kepentingan ekonomi.

Keempat, ketidakberesan penyelenggaraan negara seperti anti demokrasi, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), ketidakadilan, penguasaan alat produksi oleh elit, pelanggaran HAM, tindakan ekstra judicial, privilege (keistimewaan, perlakuan spesial) bagi kaum elit, dan impunitas.

Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan ataupun yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban. Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-masalah mendasar seperti uang, sumber daya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan, kehormatan dan keadilan. Dalam hal sumber daya, masyarakat yang ada juga memiliki kepentingan-kepentingan dalam mengelola sumber daya, bahkan ada beberapa pihak yang memanfaatkan kepentingan tersebut untuk kepentingan pribadi.

Plurarisme pada masyarakat Indonesia sangat mudah untuk dibenturkan dan di pecah belah, terutama terhadap isu keagamaan dan kesukuan. Dalam beberapa kejadiian kemudian menjadi konflik yang sangat rumit yang penyelesaiannya cenderung berlarut-berlarut karena adanya ego dari suatu kelompok kepentingan, yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik. Sementara itu, arus informasi dalam pemberitaan media, kerap kali di tuding menjadi suatu pemicu semakin meluasnya suatu konflik, terutama dari pemberitaan media yang terlalu provokatif dalam menempatkan judul beritanya seakan mengajak para pembacanya terlibat lebih jauh.

Bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, dimana masyarakat-masyarakat dan suku bangsa dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional yaitu Konsep kebangsaan. Setiap ras dan suku harus diakui sebagai bagian dalam budaya Indonesia yang merupakan kekuatan sosial.

Masyarakat kurang mendapat bimbingan dalam keterbukaan mencari solusi bersama dan lemah menganalisa provokasi pihak luar ataupun kepentingan-kepentingan tertentu, karena lemahnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

Aktor-aktor konflik seharusnya saling menahan diri agar tidak termakan isu-isu yang dapat membesarkan konflik dan memperkeruh masalah. Masyarakat sudah seharusnya memahami konflik yang terjadi agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sudah seharusnya konflik yang terjadi tidak menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan pribadi dari aktor individu atau kelompok yang ingin memanfaatkan konflik yang terjadi untuk mendapatkan keuntungan.

Beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan adalah: Pertama, perlu dilakukan upaya pencegahan dini konflik sosial. Pemerintah Daerah,  harus lebih tanggap dalam upaya pengelolaan konflik yang belum terjadi ataupun yang sudah terjadi. Pemerintahan di daerah harus lebih memperhatikan peluang konflik yang ada didaerah dan dapat memetakan daerah-daerah rawan konflik.

Kedua, pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubungan-hubungannya. Dalam suatu konflik yang menjadi sorotan utama adalah dua pihak yang bertindak sebagai aktor utama yang saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan masing-masing aktor konflik.
 
Ketiga, perlu dirumuskan sistem pengawasan secara terus menerus terhadap wilayah-wilayah dan masyarakatnya, yang rawan terjadi konflik. Sehingga dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak terjadi penyimpangan dan gesekan yang mengakibatkan konflik.

*) Penulis adalah alumnus Unpad, Bandung. Peneliti senior di Galesong Institute. Tinggal di Ciamis, Jawa Barat.