Membunuh Pembawa Pesan, Potret Hitam Kebebasan Berbicara

Membunuh Pembawa Pesan, Potret Hitam Kebebasan Berbicara
RIAUMANDIRI.co - Untuk kesekian kali publik harus terhenyak dan kaget melihat reaksi Presiden Jokowi dan jajarannya dalam menyikapi berbagai isu yang muncul dan berbagai konfik yang mendera bangsa.
 
Saya tidak ingin membahas jauh kebelakang reaksi-reaksi Presiden Jokowi selama ini, karena tentu akan membuat tulisan ini terlalu panjang dan tidak menarik untuk dibaca. Kita akan membahas beberapa reaksi saja yang terbaru, yang mana kesemuanya adalah reaksi membunuh pembawa pesan. 
 
Kill The Messenger, sebuah ungkapan singkat dari bahasa asing yang selama ini saya tidak suka menggunakannya dalam artikel-artikel tulisan saya. Tapi kali ini saya tertarik dengan judul tersebut, sekali lagi saya ulangi menuliskan Kill The Messenger, membunuh pembawa pesan.
 
Pertama adalah ketika beredar sebuah pesan berantai menjelang akhir November sebagai bagian dari Aksi Bela Islam yaitu pesan agar Umat Islam menarik tabungannya dari bank dan menyimpan di rumah. Pesan berantai ini kemudian disikapi dengan perintah mencari penebar pesan dan harus dipenjarakan, kemudian sang pembawa pesan terancam dan dibunuh hak-haknya untuk berbicara dan menelurkan ide-ide perlawanan.
 
Kedua, saya teramat kaget mendengar reaksi Presiden Jokowi menanggapi isu serbuan tenaga kerja Cina. Padahal sesungguhnya hal tersebut sudah tidak dapat disebut sebagai isu namun lebih kepada sebuah kenyataan yang faktual di lapangan. Data yang dirilis, tenaga kerja ilegal yang ditangkap oleh pihak imigrasi hampir mendekati angka seribu. Ini angka fantastis yang sangat menguatirkan bagi kedaulatan bangsa.
 
Yang menjadi lucu namun tak layak ditertawakan adalah ketika dalam salah satu acara bersama Kementerian Tenaga Kerja, Presiden Jokowi menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja Cina di Indonesia hanya sekitar 21 ribu orang. Namun bagi saya yang menyedihkan adalah bukan masalah angka 21 ribu itu, akan tetapi perintah Presiden Jokowi untuk menindak penebar isu tenaga kerja ilegal Cina itulah yang menyesakkan. Pembawa pesan harus dibunuh agar pesan tidak terus bergulir dan mengganggu kenyamanan kekuasaan. Membunuh di sini bukanlah membunuh dengan menghabisi nyawa sang pembawa pesan akan tetapi membunuh dalam bentuk lain, mumgkin secara politik atau secara hukum.
 
Tidak semestinya seorang Presiden pilihan rakyat memberikan perintah pembungkaman kebebasan berbicara. Presiden harusnya menampung informasi itu sebagai masukan kepada pemerintah dan segera melakukan evaluasi dan penelitian serta penindakan, bukan malah menilai pesan itu sebagai fitnah dan pembawa pesan harus dihabisi secara politik maupun hukum.
 
Serbuan tenaga kerja Cina itu bukanlah isapan jempol, bukan fitnah dan juga bukan isu. Namun bicara angka, saya yakin penerintahpun tidak memiliki data akurat tentang jumlah orang Cina di Indonesia saat ini yang tercatat sebagai tenaga kerja maupun wisatawan atau yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Presiden kita harapkan lebih bijaksana menyikapi dinamika yang ada, karena tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.
 
Presiden harus lebih berhati-hati dalam menyikapi serbuan orang asing karena Presiden telah mengangkat sumpah akan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kita bisa belajar dari pola yang dilakukan Inggris membuang tahanan ke Australia dan kita tahu kini Australia dikuasai oleh siapa dan pribuminya Aborigin tersingkir. Kita juga harus waspada atas infiltrasi intelijen asing yang memang ingin mengkooptasi Indonesia secara ekonomi dan politik.
 
Penulis: Ferdinand Hutahaean, Relawan Jokowi-JK Pada Pemilu 2014, Pimpinan Rumah Amanah Rakyat (RAR)
Editor: Nandra F Piliang