Tuduhan Makar

Pakar Hukum: Karena Cinta Mereka Kepada Jokowi Melebihi NKRI dan Keadilan

Pakar Hukum: Karena Cinta Mereka Kepada Jokowi Melebihi NKRI dan Keadilan
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai pihak kepolisian telah menggunakan hukum di luar hukum yang ada di Indonesia dalam mengusut kasus makar dan penghinaan pada simbol negara. 
 
“Kita harus tanya para penyidik, apa mereka menggunakan hukum  dari mana dan hukum apa. Mungkin saja mereka gunakan hukum dari planet lain, karena kalau menggunakan hukum yang ada di Indonesia, maka aturan penghinaan terhadap simbol negara maupun makar tidak seperti yang dituduhkan polisi terhadap para aktivisi tersebut,” ujar Margarito di Jakarta, Senin (5/12).
 
Menurut Margarito dalam Undang-undang No 24 TAHUN 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. "Tidak ada satupun pasal, ayat, huruf atau kata yang menyebut presiden sebagai lambang negara. Kalau aparat penegak hukum mengatakan bahwa Jokowi sebagai presiden adalah lambang negara, maka UU dari mana yang mereka gunakan?. Yang namanya simbol negara itu yah bendera, bahasa, lambaga negara dan lagu kebangsasaan. Lambang negara itu Garuda Pancasila,” jelasnya.
 
Sementara untuk tuduhan makar, Margarito juga merasa heran dengan alasan maupun logika aparat penegak hukum dari kepolisian. Dimana salahnya kata Margarito orang meminta MPR bersidang untuk kembali merubah UUD 1945 bisa disebut makar.
 
“Kalau mau tahu yang namanya makar itu contohnya apa yang dilakukan terhadap Bung Karno. Beberapa kali orang mencoba membunuh dan mencelakakannya. Makar itu menggunakan senjata seperti bom Cikini terhadap Bung Karno maupun bom di Jembatan di Bandung ketika Bung Karno lewat. Lah kok orang datang ke DPR, kirim surat ke DPR minta ubah UUD dibilang makar,” tegasnya.
 
Lebih jauh Margarito menegaskan bahwa tuduhan makar dan menghina lambang negara hanyalah bentuk kecintaan Polri yang berlebihan terhadap sosok Jokowi dan melebihi kecintaan mereka pada NKRI maupun pada hukum yang harusnya mereka tegakkan.
 
“Mereka mencintai Jokowi melebihi cintanya pada NKRI, pada aturan hukum dan pada keadilan. Orang kalau memang cintanya berlebih-lebihan tindakannya suka tidak masuk akal. Atau bisa jadi karena cuaca dingin, polisi ingin mencari suasana lain makanya mereka membuah tuduhan yang bukan-bukan,” tandasnya.
 
Jaga Kesucian Aksi 212
 
Sementara itu Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (5/12) menjelaskan, penangkapan sejumlah tokoh atas tudingan makar menjelang aksi damai 2 Desember lalu dilakukan untuk menjaga kesucian Aksi Belas Islam JIlid III atau Aksi 212.
 
“GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa) bilang, 'Pak, tolong jaga agar tidak ada yang ganggu massa aksi 212 ini.  Karena itu penangkapan dilakukan sebelum aksi 212 pada Jumat dinihari. Hal itu, agar tidak terjadi informasi yang simpang-siur di media sosial," tegas Tito.
 
Menurut Tito, penangkapan juga dalam rangka upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang ingin memanfaatkan massa aksi sebagai momen, agar bisa menduduki Gedung DPR. "Kalau demo-demo biasa di depan DPR silakan. Tapi, kalau memaksa menduduki gedung DPR RI itu inkonstitusional," ujarnya.
 
Untuk itu kata Tito, prosedur yang dilakukan oleh Kepolisian sudah melalui sejumlah pertimbangan, termasuk pertimbangan kesehatan. Karena itu, ada beberapa tersangka yang tidak ditahan. "Seperti Rachmawati, Beliau tensinya naik. Maka Yusril Ihza Mahendra memohon pemeriksaan ditunda, dan akhirnya kita persilakan dibawa ke rumah sakit, minta ditunda," tambah Tito. 
 
Seperti diketahui, 11 orang ditangkap karena ingin makar. Saat ini tiga orang yang masih ditahan di Polda Metro antara lain Sri Bintang Pamungkas, Jamran dan Rizal Kobar. Sedangkan 8 orang yang sudah dilepas antara lain Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, Eko Suryo Santjojo, Adityawarman Thahar, Kivlan Zein, Firza Huzein, Alvin Indra dan Ahmad Dhani.
 
Baca juga di Harian Haluan Riau edisi 6 Desember 2016
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang