Pengamat: Mental Politisi Seperti Pengemis

Pengamat: Mental Politisi Seperti Pengemis
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) –  Pahlawan adalah bapak bangsa yang datang dari berbagai ideologi, bukan partai tertentu, tapi mereka merupakan bagian kebaikan dari bangsa ini. Pahlawan itu membawa kemaslahatan untuk rakyat dan menjadi perekat dan simbol persatuan nasional. Hal itu dikatakan Pengamat politik Yudi Latif.
 
“Karena itu, negarawan itu harus berpikir apa yang harus diberikan kepada negara dan bukan seperti politisi yang selalu berpikir apa yang bisa diambil dari negara. Politisi itu mentalnya seperti pengemis yang selalu berpikir apa yang bisa diambil dari negara,” tegas Yudi Latif, dalam diskusi "Esensi Hari Pahlawan, Satu dalam Kebhinekaan", di Media Center DPR RI, Rabu (23/11).
 
Dia mencontohkan seperti; Soekarno, Hatta, M. Nasir, Syahrir, Tan Malaka dan tokoh nasional lainnya, selalu hidup sederhana. Bahkan sampai tidak mempunyai rumah. Namun hal tersebut jauh berbeda dengan kondisi elite politik saat ini.
 
“Bagaimana dengan partai saat ini? Kalau terbukti semua hidup mewah dan tidak ada yang sederhana, berarti sudah tidak ada ideologi dalam berpolitik. Dulu mereka, baik yang Islami dan sosialias selalu memegang teguh ideologi sehingga kehidupan mereka sederhana. Dengan cara itulah maka kepahlawanan itu lahir,” kata Yudi.
 
“Pasca 17 tahun reformasi ini, kita masih mengalami defisit keadilan dan kebhinnekaan. Kalau itu tidak bisa diselesaikan, maka pahlawan itu ada hanya di TMP Kalibata,” pungkasnya.
 
Sekjen DPP PKB Abdul Kadir Karding tidak sependapat dengan Yudi Latif. Karena menurut Karding, selama politisi menjalankan tugasnya dengan etika politik dan berani membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara, maka bisa menjadi pahlawan sekaligus negarawan.
 
“Jadi, tidak benar kalau politisi itu berbeda dengan negarawan. Politisi itu kan hanya indentitas. Tapi, kalau dalam menjalankan tugasnya dia sesuai etika dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka dia adalah pahlawan sekaligus negarawan,” tegas anggota Komisi III DPR itu.
 
Karena itu kata Karding, kebhinnekaan itu bukan saja simbol, melainkan harus menjadi perilaku dan keteladanan untuk memperjuangkan kebersamaan, kesejahteraan, keadilan, gotong royong dan sebagainya yang sudah terbangun sejak 1908.
 
Problemnya saat ini menurut Karding adalah kesenjangan sosial, kaya dan miskin. Kekayaan negara ini baru dikuasai oleh 40 orang dan kebijakan negara tidak berpihak kepada mayoritas yang miskin. Ditambah lagi di era global saat ini banyak pengaruh ideologi keagamaan yang berbeda dengan Indonesia, yang moderat.
 
Selengkapnya di Koran Haluan Riau edisi 24 November 2016
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang