Golkar Kaji Sistem Proporsional Tertutup

Golkar Kaji Sistem Proporsional Tertutup

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) 2019, Hetifa Sjaifudian, menyatakan saat ini partainya, Golkar, masih mengkaji sistem proporsional tertutup. Namun kata, Hetifa sebenarnya sistem proporsional tertutup tidak jauh berbeda dengan  proporsional terbuka terbatas.
 

Hanya saja, dia berpendapat dengan sistem tertutup bisa memperoleh anggota-anggota legislatif yang lebih berkualitas. Kemudian juga peran partai dalam merekrut kader menjadi lebih penting.


“Dari Munaslub terakhir yang melibatkan komponen pimpinan partai dari berbagai daerah menitipkan agar menggunakan sistem tertutup. Itu agar bisa mendapatkan legislatif yang berkualitas,” jelas Hetifa saat dihubungi melalui seluler, Minggu (20/1).



Menurut Hetifa dimaksud terbuka terbatas, karena terdapat daftar Calon Legislatif (Caleg). Akan tetapi nomor urut caleg terikat oleh Partai Politik (Parpol) pengusung. Sistem proporsional terbuka terbatas yang diusulkan pemerintah dengan harapan untuk memperkuat kewenangan parpol sebagai pilar demokrasi. Maka dengan menggunakan sistem terbuka terbatas, parpol berhak menentukan nomor urut caleg berdasarkan kualifikasi yang ditentukan.


Meski demikian, sistem Pemilu yang diusulkan oleh pemerintah tersebut masih “ambigu”. Kalau sistem ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa calegnya, maka keterpilihan seharusnya didasarkan pada perolehan suara terbanyak, bukan oleh parpol. Sebagai contoh, caleg dengan nomor urut 3 dan 5 memperoleh suara terbanyak, tetapi caleg yang terpilih adalah caleg nomor urut 1. Sistem ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai sistem “close list”.


“Pendapat saya, persoalan sistem pemilu ini akan menjadi perdebatan alot. Setiap fraksi mempunyai pendapat lain soal sistem Pemilu 2019. Saya kira rapat perdana Pansus juga akan menanyakan DIM,” tambahnya.


Lanjut, Hetifa ada anggapan bahwa sistem terbuka terbatas tersebut melanggar putusan MK No. 22/PUU-IV-2008 yang menyatakan dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan partai politik. Namun putusan MK itu berbeda konteksnya  dengan RUU Pemilu saat ini.


Selain itu yang bakal menjadi perdebatan adalah berubahbya Panwaslu Kab/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Konsekuensi dari perubahan ini tentunya alokasi anggaran, seperti pada pasal 80 RUU Penyelenggaraan Pemilu. Kemudian dalam RUU Pemilu kali tidak diatur adanya Mahkamah Pemilu, yang sempat diwacanakan. Keberadaan Mahkamah Pemilu sendiri supaya penyelesaian sengketa Pemilu tidak berlarut-larut.(rep)