Antara Kleptokrasi dan Punglikrasi

Antara Kleptokrasi dan Punglikrasi

PADA tanggal 21 Oktober 2016 kemarin, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar yang mengatur upaya pemberantasan pungutan liar secara terpadu. Sebagai sebuah kebijakan yang bersifat populer, tentunya kita sangat menghargai usaha pemerintah dengan mengeluarkan Perpres tersebut.

Dimana, hampir dalam keseluruhan aspek publik / penyelenggaraan negara, praktik tersebut kita temui. Secara harfiah,, pungli sebenarnya turunan dari praktik sistem kleptokrasi, di mana pada intinya, sistem tersebut merupakan bentuk kekuasaan negara yang di dalam sistem pemerintahannya menjalankan praktik-praktik korupsi, penyuapan, kronisme, klientelisme, nepotisme, bahkan oligarki yang dilakukan secara kolektif.

Dalam tulisan ini penyebutan Punglikrasi secara sarkasme diambil dari kata Pungli yang berarti Pungutan Liar dan krasi (cracy) yang berarti kekuasaan / aturan, sehingga dapat disebutkan bahwa punglikrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana negara menjalankan kekuasaannya dengan berdasarkan praktik pungutan liar.


Dalam terminologi politik dan mengikut para ahli akademik, sistem kleptokrasi adalah biasanya dapat ditemui di negara-negara yang menjalankan bentuk politik otoriter, diktator, dan bahkan yang dikontrol oleh junta militer.

Di mana, adanya pemusatan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dengan sekelompok elit (oligark) akan dapat dikontrol melalui pendekatan-pendekatan represif dan otoritatif, sehingga disaat yang bersamaan, munculah keterbatasan masyarakat dalam keterlibatannya pada sistem politik yang menyebabkan terbentuknya ‘gap’ dan ruang terhadap transparansi publik.

Pertanyaannya adalah, apakah saat ini negara kita menjalankan sistem pemerintahan otoriter, diktator atau bahkan junta militer? Tentu jawabannya tidak. Hal tersebut didasari dengan telah berakhirnya rezim Orde Baru dibawah pemerintahan Suharto atau yang dikatakan Winters (2011) sebagai rezim ‘Sultanistik’ pada 1998, dimana pada saat ini Indonesia sedang memasuki era transformasi politik, dari rezim otoriter ke arah instalasi demokrasi yang terbuka.

Namun, mengapa hari ini ketika negara kita telah mengadaptasi sistem demokrasi secara total, terbuka, transparan dan terdesentralisasi pada tataran lokal, justru melahirkan bentuk-bentuk kecurangan seperti halnya korupsi hingga pungli dalam tatanan pemerintahan yang juga melibatkan kecurangan dalam masyarakatnya? Kembali kepada pendapat Winters (2011), ia mengatakan bahwa pasca Orde Baru, tatanan politik-ekonomi Indonesia memang hanya akan membawa kepada bentuk oligarki kekuasaan baru yang ter-otonomi dalam tingkatan daerah dan berisikan dengan bermacam skandal dan kecurangan.

Sebenarnya pada era Orde Baru, negara ini telah masuk ke dalam kategori pemerintahan yang melakukan praktik kleptokrasi dengan menggunakan kekuatan oligarki politik yang berdasarkan kroni untuk memperkaya diri dan kelompok secara terstruktur (Winters, 2011).

Bahkan, pada saat ini pula (pasca Orde Baru), kecurangan dalam sistem pemerintahan bukan hanya dilakukan oleh oknum pemerintahan, namun juga melibatkan sebagian masyarakat.

Praktik kleptokrasi seakan menjadi bentuk ‘warisan’ yang dilakukan oknum pemerintah dan sebagian masyarakat (termasuk pungli yang dilakukan oknum masyarakat atau suatu kelompok terhadap masyarakat lainnya), baik dalam tataran nasional dan juga lokal, dengan jumlah besar ataupun pungli dengan nominal Rp.2.000.

Mahasiswa Hukum  Pasca Sarjana  UIR