Sidang Dugaan Suap APBD Riau

Suwarno dan Saqlul Akui Siapkan Uang Suap untuk Dewan

Suwarno dan Saqlul Akui Siapkan  Uang Suap untuk Dewan

PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Sidang dugaan korupsi suap pengesahan APBD Riau tahun 2015 dengan terdakwa mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus dan Suparman, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Dalam sidang yang digelar Selasa (15/11),  dua saksi yang dihadirkan mengakui disuruh Gubernur Annas Maamun menyiapkan uang suap untuk DPRD Riau. Ada empat orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU)

Suwarno dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam sidang kemarin. Dua di antaranya adalah Suwarno, Kasubag Anggaran II pada Biro Keuangan Setdaprov Riau dan Said Saqlul, mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko SH, saksi Suwarno, mengakui Biro Keuangan dibebankan Rp110 juta untuk menyuap anggota DPRD Riau. Hal ini telah disampaikannya kepada Jonli selaku Kepala Biro Keuangan, yang ketika itu sedang menunaikan ibadah haji.


Selain yang Rp110 juta, lanjut Suwarno, ada Rp500 juta lainnya yang diantar staf Said Saglul kepada dirinya dalam sebuah tas ransel. Namun dirinya tidak menerimanya.

Selang beberapa saat, dirinya ditelepon Wan Amir Firdaus selaku Asisten II, menyuruhnya datang ke kediaman Gubernur Riau Annas Maamun. Sesampainya di sana, ia melihat Annas Maamun bersama Wan Amir Firdaus.

Wan Amir Firdaus kemudian menyerahkan uang dalam beberapa tas. Ketika itu, Wan Amir meminta Suwarno menyerahkan uang tersebut kepada Kirjuhari, anggota DPRD Riau (telah divonis, red). "Kasih yang ini kepada Kirjuhari, cari tempat yang sepi. Pandai-pandailah," ujar Wan Amir kepada dirinya.

"Uang itu saya ambil di kediaman sebelum Magrib. Setelah saya ambil saya taroh di kantor dan saya menunaikan salat Magrib. Setelah itu saya menghubungi Kirjuhari dan berjanji bertemu di basement Gedung DPRD Riau. Saya tiba terlebih dulu baru Kirjuhari kemudian uang diserahkan," ujar Suwarno.

Setelah menyerahkan uang, Suwarno kemudian menulis SMS kepada Wan Amir mengatakan surat telah diserahkan ke Kirjuhari. Suwarno mengakui kalau surat yang dimaksud adalah uang.

Sementara Said Saqlul dalam keterangannya, menyebutkan dirinya dipanggil Annas Maamun di kediaman. Saat itu telah selesai rapat. Dalam pertemuan itu, Annas Maamun mengatakan meminjam uang Rp500 juta untuk sagu hati DPRD Riau.

"Gubernur Annas Maamun saat itu mengatakan pinjam sementara untuk sagu hati anggota DPRD. Saya sebutkan saya lihat dulu apa masih ada anggarannya. Setelah saya cek, ternyata anggaran yang sebelumnya diambil Rp3 miliar yang dimasukkan ke rekening BPBD, masih ada Rp1 miliar lagi. Kemudian saya menyuruh bendara untuk mencairkannya," ujar Said Saglul.

Uang yang diambil dimasukkan dalam ransel dan diserahkan ke Suwarno. Namun Suwarno menolak karena uang tidak dibagi-bagi dan dimasukkan dalam amplop.

"Saya kemudian menyuruh dua staf saya untuk memasukkannya dalam amplop. Saya juga menyerahkan kertas daftar nama penerima yang diberikan Annas Maamun. Uang yang dimasukkan dalam amplop ada yabg Rp10 juta dan Rp15 juta. Setelah selesai, kertas daftar nama tersebut dirobek dan dibuang sesuai perintah Annas Maamun," ujarnya.

Sementara terkait keterangan kedua saksi ini, penasehat hukum terdakwa Suparman,Eva Nora menanyakan kepada saksi Suwarno apakah Suparman ada memanggilnya keruangan dan menanyakan tentang isu adanya penyerahan uang kepada anggota DPRD tersebut, Suwarno membenarkannya.

"Ketika ditanya Suparman soal adanya penyerahan uang kepada DPRD tersebut, saya katakan tidak ada. Itu saya ucapkan secara spontan kepada Suparman, karena saya berharap biarlah penyidik yang mengungkapkannya jika terjadi permasalahan di kemudian hari," ujarnya.

Suwarno juga mengaku bahwa Suparman sama sekali tidak pernah meminta uang atau pun berbicara sesuatu yang tujuannya untuk memuluskan APBD Riau tersebut.

Seperti diketahui, sesuai dakwaan JPU dari KPK, perbuatan kedua terdakwa disebutkan bermula pada 12 Juni 2014, Gubernur Riau Annas Maamun mengirimkan Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2015 kepada Ketua DPRD Riau.

Tanggal 24 Juli 2014, Annas Maamun juga mengirimkan KUA dan PPAS RAPBD Perubahan tahun 2014 kepada Ketua DPRD Riau.

Sebelumnya, digelar rapat konsultasi antara pimpinan, ketua-ketua fraksi dan Komisi D dan Annas Maamun bersama SKPD. Saat itu Annas Maamun menyampaikan keinginannya agar RAPBD P 2014 dan RAPBD 2015 dibahas dan disahkan anggota DPRD Riau periode 2009-2014.

Annas Maamun juga menyampaikan bahwa terkait pinjam pakai mobil anggota DPRD Riau disetujui untuk diperpanjang selama dua tahun dan nantinya pada saat lelang akan diprioritaskan untuk bisa dimiliki oleh anggota DPRD Riau periode 2009-2014.

Keinginan Annas Maamun ini kemudian disetujui terdakwa Johar Firdaus dan akan membahas dalam rapat Banggar. Tanggal 8 Agustus 2014, Banggar dan RAPBD melakukan pembahasan. Dalam rapat, Banggar mempertanyakan tentang penyerapan APBD yang hanya 12 persen.

Selain itu juga dibahas perubahan SOTK dan pergeseran anggaran. Karena tidak ada titik temu, maka rapat diskors. Karena itu, terdakwa Johar Firdaus meminta agar dilakukan pertemuan tertutup di ruang Komisi B yang dihadiri Banggar.  

Terdakwa Suparman kemudian mengusulkan pembentukan tim informal sebagai penghubung antara DPRD dan Annas Maamun. Terdakwa Suparman juga menginformasikan tawaran Annas Maamun soal kendaraan dinas tersebut.

Sekitar dua atau tiga hari kemudian, terdakwa Suparman menyampaikan kepada terdakwa Johar Firdaus, Riky Hariansyah dan Zukri Misran, bahwa terdakwa Suparman telah bertemu Annas Maamun dan menawarkan pemberian uang antara Rp50 juta hingga Rp60 juta untuk 40 anggota Dewan tertentu yang ditentukan Annas Maamun, yang diistilahkan terdakwa Suparman dengan istilah 50 sampai 60 hektare. Sementara mengenai mobil tetap disetujui.

Dengan perjanjian tersebut, tanggal 9 Agustus 2014 DPRD Riau menyetujui RAPBD 2014. Tanggal 31 Agustus 2014, tim Banggar dan TAPD mulai membahas KUA dan PPAS RAPBD 2015, kemudian rapat lagi tanggal 25 Agustus yang kesimpulannya Pemprov diminta segera menyampaikan KUA dan PPAS dan disesuaikan dengan RPJMD dan SOTK, paling lambat 26 Agustus.

Tanggal 30 Agustus 2014 terdakwa Suparman, melaporkan kepada Annas Maamun melalui telepon bahwa RAPBD 2015 tidak ada masalah. Padahal saat itu koreksi buku KUA PPAS 2015 belum diterima DPRD dan belum dibahas.

Tanggal 1 September 2014 di rumah dinas gubernur, Annas Maamun menyampaikan kepada Zaini Ismail selaku Sekda, Wan Amir Firdaus, Asisten II, Hardi Jamaludin selaku Asisten III, Said Saqlul dan M Yafiz selaku Kepala Bappeda dan Suwarno selaku Kasubag Anggaran, bahwa untuk pengesahan diberi uang Rp1,2 miliar kepada tim Banggar.

Untuk memenuhi itu, Annas Maamun membebankan kepada Biro Keuangan melalui Suwarno, Rp110 juta, meminjam kepada Saqlul Rp500 juta, kepada Syahril Abu Bakar selaku Ketua PMI Rp400 juta, dan sisanya Rp190 juta dari Annas Maamun.

Pukul 16.00 WIB, Annas Maamun melalui Wan Amir Firdaus memanggil Suwarno dan memerintahkan Suwarno mengantarkan yang Rp1,2 miliar kepada Ahmad Kirjuhari.

Keesokan, Kirjuhari bertemu terdakwa Johar Firdaus menyampaikan uang sudah ada, dan disebut disimpan saja. Terdakwa Johar kemudian memimpin rapat lanjutan KUA PPAS RAPBD 2015.

Namun karena buku KUA PPAS belum juga diserahkan, maka rapat tidak diteruskan. Namun terdakwa Johar telah mengagendakan penandatanganan MoU malam harinya, dan keesokannya penyampaian nota keuangan.

Selanjutnya, meski JUA PPAS tidak pernah dibahas, terdakwa Johar, Noviwaldi dan T Rusli Ahmad tetap menandatangani MoU KUA PPAS.

Tanggal 8 September, terdakwa Johar menelepon Ahmad Kirjuhari dan Riky Hariansyah ubtuk segera datang ke kafe Lick Latte. Dalam pertemuan itu, terdakwa Johar minta uang bagiannya Rp200 juta dari uang yang telah diterima Kirjuhari dari Annas Maamun. Namun karena uangnya kurang, akhirnya disepakati terdakwa Johar menerima Rp155 juta. Selanjutnya uang tersebut diserahkan Riky Hariansyah ke rumah terdakwa Johar.

Atas perbuatannya kedua terdakwa didakwa sesuai pasal 12 huruf a dan pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, jo pasal 55 ayat 2 ke 1 KUHP.(hen)