MUI: Ada Indikasi Mengaburkan Substansi Kasus Ahok

MUI: Ada Indikasi Mengaburkan Substansi Kasus Ahok

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Ahli Hukum Pidana dari Majelis Ulama Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, menilai, saat ini ada upaya pengaburan substansi kasus penistaan agama, yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Saat ini kasus tersebut tengah diproses di Kepolisian. Dia menilai, indikasi adanya upaya untuk mengaburkan substansi kasus Ahok tersebut sudah terlihat.

"Sudah ada indikasinya, sekarang sedang dibentuk tim penelusuran terhadap uang sumbangan dari aksi 4 November lalu, yang ditampung oleh GNPF-MUI. Ini apa maksudnya?" ujarnya, saat Diskusi Publik 'Bedah Kasus Penondaan Agama, Layakkah Ahok di Penjara??' di Universitas Al Azhar Indonesia, Jumat (11/11).

Selain itu, Abdul Chair yang ikut memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam kasus Ahok tersebut, upaya mengaburkan substansi penistaan agama juga terlihat ketika polisi memasukkan Undang-Undang ITE dalam pemeriksaan kasus penistaan agama. Padahal, tidak ada urusan omongan Ahok dengan Undang-Undang ITE.

"Kalau UU ITE, tentu Ahok tidak akan kena, karena bukan dia yang menyebarkan video itu. Jadi terlihat sekali yang ingin diarahkan mentersangkakan si Buni Yani pengunggah ulang video Ahok di media sosial. Selain itu, adanya ketidakjelasan dalam hukum acara yang digunakan," tambahnya.

Menurutnya, yang disasar kepolisian hanya menggunakan pasal 156 b dalam KUHP 'ajakan supaya orang tidak menganut agama'. Padahal bisa juga menggunakan pasal ke 156 a, 'ucapan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia'.

"Saya ditanya apakah ini alternatif atau kumulatif, saya menegaskan alternatif. Jadi tidak berdisi sendiri. Kalau pasal 156 a itu terbukti, maka secara otomatis 156 b juga terbukti. Sedangkan kalau kumulatif, hanya masuk yang pasal 156 b, itu saya tolak," ujarnya.

Sekarang polisi meminta keterangan ahli di penyelidikan, dan menunggu sampai gelar perkara. Padahal, kata dia, pemeriksaan saksi itu ada domain di wilayah penyidikan, di mana kasus ini sudah ditetapkan ada unsur pidananya. Tapi sekarang polisi seperti ingin mencari unsur kesengajaannya. Padahal, Ahok ini sebenarnya juga pernah mengatakan terkait Al Maidah 51 ini sebelum di Kepulauan Seribu.

Kemudian, ia mengulang kembali soal Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu, dan itu ditegaskan kembali oleh Ahok di Balaikota kepada wartawan beberapa hari kemudian. Karena itu, tidak mungkin itu diucapkan tidak dengan sengaja.

"Jadi unsur apalagi yang diragukan oleh penyidik bahwa apa yang dilakukan Ahok ini tidak masuk unsur pidana penistaan agama. Kalau polisi tidak bisa membuktikan adanya penistaan agama, maka ini adalah kemunafikan hukum," katanya.

Ragu-ragu Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi, menilai pemerintah ragu-ragu dalam menyelesaikan kasus Ahok tersebut. Hal tersebut terlihat dari adanya pelebaran prosedur penanganan kasus tersebut.

Menurut Hasyim, kasus Ahok seharusnya bisa diselesaikan secara sederhana tanpa menimbulkan polemik yang berkepanjangan.  

"Mestinya sih sederhana tapi menjadi ruwet karena ada inproporsionalisasi pada eselon-eselon kekuasaan negara," ujarnya, usai acara silahturahmi Menteri Pertahanan dengan sejumlah ulama dan tokoh agama di aula Bhinneka Tunggal Ika, Kementerian Pertahanan, Jumat malam kemarin.

Ulama NU yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu menuturkan, dalam kasus Ahok, seharusnya tidak perlu sampai seorang presiden memberikan pernyataan.

Kepolisian cukup menjalankan laporan yang masuk sesuai dengan prosedur hukum tanpa perlu meminta pendapat siapa pun, termasuk Presiden. Apalagi, kata Hasyim, beberapa ulama sudah diminta pendapatnya terkait kasus Ahok.

Informasi yang didapat juga dianggap telah komplit. Pihak kepolisian pun diminta segera menyelesaikan proses penyelidikan untuk meredakan polemik.

"Dalam tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) kepolisian itu kan ada sendiri. Sehingga tidak perlu bekerja ekstra tupoksi begitu," kata Hasyim. "Jadi biasa saja. Seperti dulu menangani kasus Arswendo Atmowiloto dan Lia Eden. Saya enggak tahu ada apa, tapi kenapa ragu-ragu," ucapnya. (rol, kom, ral, sis)