Pengawasan Pemilihan Umum Berbasis Partisipatif

Pengawasan Pemilihan Umum  Berbasis Partisipatif

KUALITAS dari sebuah Pemilihan Umum salah satunya bisa di ukur dari rendahnya tingkat pelanggaran yang terjadi, semakin rendahnya tingkat pelanggaran yang ada maka penyelenggaraan Pemilihan umum semakin mendekati kualitas yang baik. Pelanggaran dalam Pemilihan Umum memiliki dua dimensi yang sama krusialnya yaitu, pelanggaran yang dampaknya secara langsung mempengaruhi hasil Pemilihan Umum, misalnya menghilangkan hak pilih seseorang atau mengubah perolehan suara hasil Pemilu, dan Pelanggaran yang dampaknya secara tidak langsung mempengaruhi hasil pemilihan umum, seperti pelanggaran tata cara dan sejenisnya.

Pada setiap momentum Pemilihan Umum (Legislatif, pemilihan Presiden dan Wakil presiden dan pemilihan kepala daerah) tingkat kerawanan terhadap pelanggaran tersebar diberbagai tahapan secara variatif, pelanggaran-pelanggaran yang ada tersebut umumnya dilakukan oleh berbagai pihak, seperti peserta Pemilihan umum atau tim sukses dan penyelenggara Pemilihan umum itu sendiri. Setidaknya ada 4 (empat) pra syarat dari terciptanya Pemilihan umum yang berkualitas, yakni (a) tersedianya sistem rekrutmen kader di partai politik, (b) sistem Pemilihan umum dan kerangka hukum yang memayunginya, (c) tersedianya penyelenggara pemilihan umum yang netral dan profesional, (d) kecerdasan pemilih.

Tersedianya penyelenggara Pemilihan umum yang netral dan profesional adalah kunci utama terselenggaranya Pemilihan Umum yang berkualitas. Pemilihan umum bukanlah sebuah tujuan akhir, namun Pemilihan umum menjadi sarana konstitusional bagi lahirnya pemimpin-pemimpin penyelenggara negara dalam mencapai tujuan nasional.


untuk itu penyelenggaraan pemilihan umum harus melibatkan semua partisipasi masyarakat baik dalam tahap perencanaan Pemilihan umum yang meliputi aspek regulasi, anggaran, struktural dan tahapan-tahapan pemilihan umum. Hingga pelibatan masayarakat dalam pengawasan penyelenggaran pemilihan umum yang berbasis pada pencegahan, penindakan dan partisipatif.

Secara filosofis, pengawasan penyelenggaraan pemilihan umum dapat dilakukan oleh masyarakat umum sebagai pelaku utama pemilihan umum dan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, namun secara formal pengawasan penyelenggaraan pemilihan umum di lakukan oleh Badan Pengawas Pemilu RI, Badan pengawas pemilu Provinsi, Panitia pengawas pemilu Kab/Kota, Panitia pengawas pemilu kecamatan, Penagawas Pemilu Lapangan dan pengawas pemilu luar negeri, hal ini sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 15 tahun 2011 pasal 69. Sebagai lembaga pengawas pemilu yang bersifat tetap, Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis, sebagaimana perintah Pasal 73 ayat 2, UU No; 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, yang diantaranya  meliputi: a). Pengawasan persiapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas rangkaian perencanaan, penetapan jadwal, pengadaan logistik, penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi, sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan pelaksanaan tugas pengawasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;  b). mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu;  c). mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu dan ANRI;  d). memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu oleh instansi yang berwenang; e). mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu; f). evaluasi pengawasan Pemilu; g). menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; dan h). melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Disamping tugas tersebut di atas, Bawaslu memiliki kewenangan sebagaimana tercantum dalam pasal 73 ayat 4 UU 15 tahun 2011, yakni: a). menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; b). menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada yang berwenang; c). menyelesaikan sengketa Pemilu; d). membentuk Bawaslu Provinsi; e).

mengangkat dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi; dan f). melaksanakan wewenang lain yang diatur Pengawas pemilu harus mampu mengawasi untuk mencegah dan menindak pelanggaran pemilu dengan prinsip pengawasan To Observe (pengamatan), To Monitor (pantauan), To Control (pengendalian), To Supervise (penyelesaian).

Dalam konteks pencegahan yang merupakan upaya antisipasi potensi sekecil apapun yang dapat menimbulkan pelanggaran dan mengganggu integritas proses dan hasil pemilu maka Bawaslu dapat memetakan potensi pelanggaran berdasarkan kecenderungan dan mempelajari pengalaman yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Upaya pencegahan ini semaksimal mungkin haruslah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari proses sosialisasi instrumen peraturan perundang-undangan pemilu (terkait pelanggaran dan sanksi) kepada seluruh pemangku kepentingan, hingga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk mendorong penyampaian pesan-pesan moral untuk Pemilu yang berkualitas dan bermartabat.

Dalam konteks penindakan pelanggaran pemilu, diperlukan sikap responsif yang terukur sesuai ketentuan yang ada untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran baik secara administrasi, kode etik maupun pidana mendapatkan sanksi yang sesuai. Lembaga pengawas pemilu pada setiap tingkat harus dipastikan serius dan tegas termasuk aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Pengadilan, KPU, DKPP dan MK).

Penanganan pelanggaran sejak diketahui atau di temukan haruslah dikaji secara cepat dan tepat oleh pengawas pemilu, untuk kemudian di putuskan ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti paling lama 3 (tiga) hari sesuai pasal 249 ayat 4,5 dan 6 UU No 8 tahun 2012, hal ini patut dipertahankan karena bertujuan untuk segera memulihkan keadaan yang tercederai akibat pelanggaran yang terjadi.

Demikian pula halnya dengan mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum diperlukan ketegasan dan keseriusan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan kategori pelanggaran yang ditangani, sengketa pemilu oleh Bawaslu, pelanggaran administrasi oleh KPU, pelanggaran etika oleh DKPP, dan pidana oleh kepolisian, jaksa dan pengadilan, sengketa hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi.

Diluar aspek tersebut, keterlibatan masyarakat masih terbuka lebar, dalam kaitannya dengan penyiaran dan/atau pemberitaan baik dimedia cetak maupun elektronik, pasal 93 dan pasal 94 UU No. 8 tahun 2012 telah mengaturnya secara tegas dan jelas. Setiap media harus berlaku adil dan berimbang kepada setiap peserta pemilu termasuk soal iklan kampanye. Media wajib menjaga independensi dalam setiap proses produksi program siaran tentang pemilu.

KPI sebagai lembaga yang berwenang mengatur penyiaran di radio dan televisi, serta Dewan Pers yang diberikan kewenangan sesuai ketentuan Undang-undang hendaknya dapat membangun kesadaran untuk turut membantu terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang bermartabat, yang antara lain menciptakan siaran dan pemberitaan yang tidak terjebak pada persaingan antar peserta pemilu tetapi penting untuk melihat kepentingan publik yang terkandung dalam setiap tahapan pemilihan umum.

Hal ini pada muaranya kelak akan turut mendorong masyarakat yang lebih luas agar sadar tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara terutama dalam berpartisipasi dalam hal kepemiluan dan demokrasi.

Media juga penting dalam mendorong partisipasi pemilih yang cerdas, rasional dan mandiri serta mengedukasi tentang tahapan dan teknis pemilu. Pada tahap inilah hendaknya media mampu menjadi instrumen representasi kepentingan publik.

Pengawasan oleh lembaga pengawas (Bawaslu dan seluruh perangkatnya), media, dan masyarakat umum bertujuan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu pada setiap tahapannya, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu benar-benar berkualitas dan bermartabat baik secara prosedural maupun substansial. Tentunya keseluruhan proses tersebut membutuhkan sebuah manajemen pengelolaan yang memadai. ***