Keterbukaan Pilkada

Keterbukaan Pilkada

RUANG publik itu bernama pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebelumnya, sejak Indonesia merdeka, ruang itu tak pernah melibatkan masyarakat secara langsung. Yang ada hanya melalui perwakilan, yaitu memilih kepala daerah melalui perwakilan di  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Tapi, sejak reformasi dan otonomi daerah, ruang ‘tabu’ itu dibuka. Lebar sekali. Era ketertutupan pun ditinggalkan. Sudah tak zamannya lagi. Idealnya, sistem keterbukaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung diterapkan, sebagai tanda menjawab era reformasi.

Sejalan dengan itu, UU No.22/1999 tentang Pemda, yang lebih dikenal dengan UU otonomi ketika itu, tak menjawab keinginan masyarakat. Regulasi yang lebih difokuskan untuk menjawab persoalan ancaman disintegrasi bangsa itu belum cukup.


Tapi, masyarakat di daerah menghendaki, mereka dilibatkan langsung dalam pemilihan  pemimpin di daerahnya. Apalagi, sejak era reformasi wacana pembatasan jabatan presiden terus mengelinding. Berikut proses pemilihannya.

ehingga pada amandemen ke-3 UUD 1945 periode 1999-2001, jabatan presiden dibatasi untuk masa 2 kali jabatan. Pemilihannya juga tak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tapi sudah ditegaskan langsung dalam konstitusi Pasal 6A UUD 1945, yaitu melalui pemilihan langsung.

Sistem pemilihan presiden (Pilpres) baru itu, ternyata diingini untuk diterapkan dalam pilkada: yaitu untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Meskipun Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tak menyiratkan pilkada secara langsung. “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan di provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. 

Makna “demokratis” di pasal tersebut dimaknai juga sebagai pemilihan secara langsung. Sehingga salah satu desakan merubah UU No.22/1999 ketika itu adalah menginginkan memasukkan pilkada secara langsung di UU Pemda yang baru. Maka, disahkanlah UU No.32/2004 tentang Pemda, yang di dalamnya juga mengatur tentang pilkada langsung.

Koreksi Pilkada Sesungguhnya, pilkada kali ini ingin mengoreksi model pilkada sebelumnya. Bukan orientasi pada prosesnya, tapi pada esensi hasilnya. Yaitu melahirkan figur kepala daerah yang ideal. Dulu untuk mencalonkan diri, harus memiliki uang yang banyak. Nyaris harus siap mengeluarkan uang yang tak terbatas jumlahnya. Makanya, para calon usai tak terpilih: pusing tujuh keliling, karena harus membayar utang.

Jumlahnya, kadang di luar nalar. Karena, tagihan demi tagihan terus mengalir seolah-olah tak ada hentinya. Itu bagi yang kalah. Yang menang saja, juga pusing. Selama 5 tahun menjalankan periode kekuasaan, rasanya juga tak selesai untuk mengembalikan uang. Apalagi, kadang utangnya abstrak tak terukur.

Inilah yang kemudian disiasati ketika wacana memisahkan antara UU Pemda dengan UU pilkada. Soalnya, sejak pilkada periode 2005 – 2008 dan 2010 – 2013, pelaksanaan pilkada masih menyatukan antara pengaturan tentang pemerintahan dengan pemilihan kepala daerah dengan UU No. 32/2004.

Intinya, para perumus UU menghendaki UU pilkada berdiri sendiri, dan memungkinkan fokus mengoreksi sejumlah kelemahan di sepanjang dua periode pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia.

Yang paling anyar, adalah model pembatasan kampanye di media. Rumusan ini sebenarnya sudah masuk sejak naskah akademis UU pilkada masuk ke gedung Senayan di tahun 2011.

Sayangnya mangkrak, dan baru mulai dibahas jelang berakhirnya pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Dan, baru diketok di akhir masa sidang jabatan anggota DPR periode 2009 – 2014. Keluarlah ketika itu UU No. 22/2014 yang tak sampai umurnya 1 x 24 jam, presiden SBY ketika itu langsung mengeluarkan Perppu No.1/2014.

Sebagai akibat diaspora perseteruan antara koalisi Merah-Putih dan koalisi Indonesia Hebat di Senayan, pilkada langsung, oleh mayoritas anggota DPR dikembalikan melalui pemilihan di DPRD. Tentunya mencederai semangat reformasi, sehingga presiden SBY harus buru-buru mengeluarkan Perppu No. 1/2014.

Karena inti pokoknya fokus menyelamatkan pilkada langsung, sehingga sejumlah norma di Perppu No. 1/2014 sulit untuk diterapkan. Makanya anggota DPR yang baru periode 2014 – 2019, sepakat mengesahkan dulu Perppu No.1/2014 menjadi UU atau menolak Perppu menjadi UU.

Dengan konsekuensinya, harus diajukan RUU pilkada yang baru dan terjadi kekosongan payung hukum pilkada. Akhirnya yang disepakati adalah menetapkan Perppu No.1/2014 menjadi UU No. 1/2015 dengan catatan akan dilakukan revisi.

Maka secara berturut-turut keluarlah UU No. 8/2015, dan UU No. 10/2016 masing-masing sebagai revisi pertama dan kedua atas UU No. 1/2015 tentang pilkada.

Keterbukaan Pilkada Melihat dari proses perjalanannya, pasca pilkada langsung, semangatnya adalah keterlibatkan rakyat atau masyarakat di daerah. Prinsip-prinsip demokrasinya cukup sempurna.

“Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Prinsip ini tentunya, harus dijawab dengan sistem keterbukaan dan keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraannya. Artinya, seluruh rangkaian pelaksanaan pilkada menghendaki keterlibatan masyarakat. Dan, penyelenggaraannya harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Bukan kepada pemerintah, atau kepada partai politik pengusung pasangan calon.

Kondisi ini tentunya menjadi tantangan dan pekerjaan mulia yang harus diemban oleh penyelenggara, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Yaitu, sebagai garda terdepan mewakili masyarakat untuk mewujudkan cita-cita keterbukaan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. KPU dan Bawaslu harus memformulasikan, keterlibatan masyarakat dalam seluruh rangkaian tahapan penyelenggaraan pilkada tersebut.

Karena itu, KPU sebagai penanggungjawab akhir pelaksanaan pilkada, dan Bawaslu sebagai penanggungjawab akhir pelaksanaan pengawasan pilkada, sejak sebelum tahapan mencoba membangun keterlibatan masyarakat. Salah satunya, KPU dan Bawaslu sudah membangun sistem keterbukaan informasi publik. Di mana seluruh kegiatan kedua lembaga ini bisa diakses dan diikuti oleh publik atau masyarakat.

Hal ini sesuai kehendak reformasi, dimana kelahiran lembaga penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu sebagai penjelmaan civil society. Bentuknya berupa keterlibatan masyarakat/publik yang lebih besar lagi dibanding era sebelumnya.

Untuk mewujudkan keterlibatan masyarakat ini, terutama di KPU menyediakan sejumlah data informasi melalui Pusat Pelayanan Informasi Publik (PPID). KPU juga Mengaktifkan seluruh website untuk menginformasikan setiap tahapan pilkada.

Di KPU misalnya, dikenalkan adanya  Sistem Informasi Pilkada (Sitap), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Logistik (Silog), Sistem Penghitungan (Situng) dan Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu (SIPP).

Kesemuanya bisa diakses luas oleh masyarakat dan media melalui http://www.kpu.go.id/. Dan, untuk Bawaslu dapat mengakses melalui http://www.bawaslu.go.id/. Semoga pilkada ini tak ada sudut ruang sekecil apapun yang ditutup-tutupi, sepanjang itu haknya publik, maka publik berhak untuk tahu (right to know).***