Berantas Radikalisme, Bersatu Melawan Teroris

Berantas Radikalisme, Bersatu Melawan Teroris

RADIKALISME dan terorisme merupakan dua hal yang menjadi tren di era global, sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang disalahgunakan. Pengikut paham radikal yang pada akhirnya dijerumuskan menjadi teroris pun sepertinya terus "dikembangbiakkan".

Kelompok radikal yang kemudian bertransformasi menjadi teroris tak lagi memandang batasan-batasan norma sosial dalam menyebarluaskan pahamnya. Bahkan, sasaran yang "diracuni" oleh kelompok ini sudah bukan lagi individu berusia dewasa, melainkan remaja berusia belasan tahun.

Sebelum membahas tentang upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mendeteksi dan mencegah penyebarluasan paham radikal maupun ancaman terorisme, hal pertama yang harus diketahui adalah bahaya pergerakan kelompok radikal dan teroris.


Salah satu kelompok radikal dan teroris yang sedang menjadi perhatian di dunia maupun di Indonesia adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tujuan mereka tidak lain adalah untuk menyebarkan pahamnya dan memperluas wilayah kekuasaannya melalui cara-cara yang tidak manusiawi. Kelompok ini juga telah memicu terjadinya keresahan di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Dampak nyata dari pergerakan ISIS adalah munculnya ketakutan di masyarakat, akibat serangkaian teror dan pengeboman yang pernah dilakukan, baik yang tersebar melalui sosial media maupun yang terjadi di Indonesia.

Bahkan, mereka berhasil menyebarluaskan paham dan mendorong seseorang melakukan aksi teror di Indonesia tanpa harus bertatap muka langsung dan hanya memanfaatkan internet sebagai media untuk mencuci otak kaum muda, seperti yang terjadi di Medan.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Suhardi Alius juga pernah menyampaikan bahwa remaja pelaku teror di Medan memperoleh perintah dari Bahrun Naim, salah satu pemimpin ISIS di Asia Tenggara melalui media sosial. Maka akan menjadi suatu kemirisan jika peristiwa teror seperti yang terjadi di Medan dan melibatkan seorang remaja yang usianya bahkan belum mencapai 18 tahun sebagai pelaku kembali terulang.

Eksistensi kelompok radikal dan teroris bermula dari masyarakat yang masih terkotak-kotak dalam lingkungannya masing-masing dan menjadikan paham radikal sebagai suatu momok yang sangat menakutkan dan mengancam. Pada akhirnya, masyarakat yang masih terkotak-kotak justru mempermudah kelompok radikal maupun teroris untuk menanamkan doktrinnya dan menghambat terciptanya sinergitas bangsa Indonesia dalam mengatasi semakin tersebar luasnya paham radikal.

Sekertaris Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom dalam tanggapannya terkait aksi teror di Medan mengatakan untuk tidak melihatnya sebagai persoalan antar agama tapi harus dilihat sebagai persoalan bangsa, dimana ada sekelompok orang yang tidak setuju dengan Pancasila, tidak setuju dengan perdamaian dan kemanusiaan, serta hendak menggerogoti bangsa ini.

Di lain sisi, orang tua dan keluarga juga memegang peran penting dalam menanggulangi semakin tersebarluasnya doktrin-doktrin kelompok radikal yang menyesatkan. Hal tersebut berkaitan dengan pengawasan kepada anak guna mencegah masuknya doktrin paham radikal, serta deteksi perubahan pola tingkah laku maupun sikap remaja yang sudah mulai terpengaruh oleh paham-paham radikal.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Frank Musgrove dalam bukunya yang berjudul The Family, Education And Society (2012). Dalam bukunya, dinyatakan bahwa mentalitas seorang anak, baik radikal, ekstrem, moderat, sangat bergantung pada pendidikan di tengah keluarga.

Makmur Hasugian (66), ayah pelaku teror bom di gereja Medan dan merupakan anggota Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) DPC Medan, mengaku lalai dalam menjaga dan mengawasi anaknya, padahal orang tua berperan dalam upaya deradikalisasi maupun menangkal semakin berkembangnya paham radikal melalui pengawasan terhadap anak selama masa perkembangannya.

Mereka sebagai keluarga inti perlu melakukan pendekatan apabila seorang anak mengalami perubahan perilaku, sering menyendiri, maupun menjadi pendiam.

David Popenoe menyatakan bahwa pendidikan memiliki lima macam fungsi, yaitu transmisi (pemindahan) kebudayaan, memilih dan mengajarkan peranan sosial, menjamin integrasi sosial, mengajarkan corak kepribadian, serta sebagai sumber inovasi sosial.

Dalam upaya menanggulangi penyebaran paham radikal kepada anak usia sekolah, lembaga pendidikan juga memegang peran yang tak kalah penting melalui proses pembentukan kepribadian anak. Apabila seorang anak memiliki kepribadian yang mantap dan utuh, serta ditunjang adanya pengawasan dari lembaga pendidikan tempatnya berada, maka kelompok radikal akan mengalami kesulitan dalam menyebarkan pahamnya kepada anak.

Pada akhirnya, dalam upaya mengurangi potensi terjadinya aksi teror oleh anak maupun remaja sebagai dampak buruk pengaruh paham radikal, masyarakat perlu bersatu sebagai satu entitas nasional dan bangsa Indonesia. Selain itu, orang tua sebagai keluarga inti bersinergi dengan lembaga pendidikan harus terus melakukan pengajaran dan pengawasan kepada anak, agar tidak terpengaruh ajaran kelompok radikal.***