PT SSL di Rokan Hulu Dikepung Konflik

PT SSL di Rokan Hulu Dikepung Konflik
PASIR PENGARAIAN (ROHUL) - Konflik antara manajemen PT Sumatera Silva Lestari (PT SSL) dengan masyarakat Rohul begitu pelik dan tampaknya belum ada pihak yang mampu menyudahinya. Baik yang terjadi antara masyarakat Desa Tangun, Kecamatan Bangun Purba, maupun konflik dengan Kelompok Tani Sialang Sakti (Koptan SS) Desa Batas, Kecamatan Tambusai.
 
“Kalau dikaji secara mendalam PT SSL ini banyak melanggar poin yang disepakati dalam MoU. Salah satunya adalah  lahan seluas kurang lebih 2.200 yang saat ini dikelola oleh PT SSL, pada awalnya di pola mitrakan dengan PT Lestari Unggul Makmur (LUM) dan bukan deng PT SSL. Seandainya pun ada perubahan ditengah jalan, seharusnya ada pemberitahuan kepada masyarakat untuk dirapatkan ditingkat kelompok tani,” ungkap Penasehat Koptan SS, Mintareja didampingi Kisman (wakil Ketua Koptan SS), Jamron (Sekretaris Koperasi), Yusni Faisal (Badan Pengawas Koperasi) dan Sofian (anggota penasehat Koptan SS) kepada Riaumandiri.co, Sabtu (4/9/2016).
 
Selain itu, Mintareja Cs mengungkapkan hasil yang diterima masyarakat dari hasil pola mitra dengan PT SSL tidak mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Hasil yang diterima masyarakat setiap bulannya hanya Rp7.500 per bulan per kepala keluarga (KK) atau per anggota Koperasi.
 
“Parahnya lagi, mulai kegiatan tanam, penghitungan hasil produksi, harga penjualan produksi, hasil produksi yang dikeluarkan dari areal kerjasama semua tidak jelas. Semua dilakukan sendiri oleh perusahaan tanpa melibatkan masyarakat,”beber Mintareja Cs.
 
Poin lainnya yang dianggap masyarakat dilanggar oleh PT SSL, kata Mintareja Cs lagi, yakni tentang penghitungan hasil produksi yang seharusnya dilakukan per 1 daur ( 1 daur 6 tahun). Sementara saat ini sudah memasuki daur ketiga namun penghitungan belum dilakukan secara transparan dengan  melibatkan kelompok tani.
 
“Dalam MoU itu, semua tahapan mulai dari penanaman, jumlah tonase, hasil penjualan produksi ke Pabrik, dan pengurusan RKT yang seharusnya memiliki izin seharusnya melibatkan masyarakat. Bahkan  harga penjualan 15 tahun lalu sampai sekarang nilainya tidak berubah. Demikian juga dengan luas HGU perpanjangan HGU tidak memberitahu masyarakat. Inilah yang saya katakan itu tidak transparan.  Sehingga masyarakat menduga luas lahan yang dikuasai PT SSL secara keseluruhan diduga melebihi HGU,” tegas Mintareja Cs.
 
Tidak terealisasinya kesepakatan pada MoU kata Mintareja  Cs membuat masyarakat yang tergabung di Koptan SS menuntut untuk membatalkan MoU. Kemudian lahan yang dikelola dikembalikan kepada masyarakat. Sebab, lahan untuk berococok tanam saat ini sudah tidak ada karena semakin bertambahnya penduduk.(gus)
 
Ulasan selengkapnya di Koran Haluan Riau edisi Senin, 05 September 2016
 
Editor: Nandra F Piliang