Pasal PKPU Multi Tafsir

Pilkada 2017 Berpotensi Kacau

Pilkada 2017 Berpotensi Kacau

JAKARTA (riaumandiri.co)-Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 masih dibayangi masalah. Hal ini akibat masih adanya pasal-pasal multi tafsir dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Demikian disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow di Jakarta, kemarin.

"Pilkada 2015 adalah contoh sekaligus cermin yang harus jadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Ada beberapa pelaksanaan pilkada sampai tertunda karena bercabangnya pemahaman terhadap aturan main," katanya.

Jeirry menyontohkan, masalah pencalonan dari partai yang sedang berkonflik harusnya menjadi perhatian, karena ujung-ujungnya merepotkan pelaksanaan di lapangan.


"Jika tidak dikelola, gugatan dan konflik bisa terpicu dari sini. Aturannya memang sudah jelas, bahwa partai kalau masih sengketa tak bisa mencalonkan. Tapi dalam tataran teknis ini kerap masih jadi gangguan," ujarnya. Selain itu, Jeirry menyoroti aturan main kampanye. Selama ini, proses kampanye difasilitasi KPU. Padahal akan lebih baik jika masalah kampanye dikembalikan ke pasangan calon dan partai pengusung.

"Tapi, secara umum, kita tentu harus yakin bahwa pilkada serentak nanti bisa berjalan lancar. Namun membuat aturan main tegas dan jelas adalah bagian penting dalam menyukseskan Pilkada serentak ini," tegasnya.

Kacau Hal yang sama diungkapkan Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil. Kata Fadli, salah satu implikasi terburuk jika draf PKPU tak kunjung ditetapkan adalah kacaunya pelaksanaan tahapan Pilkada 2017. Sampai saat ini, jelas Fadli, baru ada tiga PKPU yang sudah ditetapkan KPU. Masih ada sekitar delapan PKPU yang harus ditetapkan KPU.

"Implikasi terburuknya adalah kacaunya tahapan pilkada. Itu sudah pasti. Bagaimana mungkin melaksanakan pilkada di atas tahapan yang regulasinya tidak ada," ujar Fadli.

Dia mencontohkan, tahapan pencalonan. Menurutnya, KPU belum mempunyai dasar hukum untuk memverifikasi administrasi dan faktual pasangan calon dari partai politik jika draf PKPU tentang pencalonan belum ditetapkan.

"Bisa jadi un-legitimate nanti pilkadanya. Jadi, tidak hanya hasil yang dipertanyakan, tetapi prosesnya juga dipertanyakan. Itu bahaya bagi legitimasi pilka­da itu sendiri," paparnya.

Bahkan, Fadli mengatakan, ada tiga PKPU yang telah ditetapkan KPU tanpa melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah sehingga dipersoalkan oleh DPR. Menurutnya, sah-sah saja DPR mempersoalkan karena ada proses yang dilewatkan KPU sebagaimana diamanatkan UU Pilkada.

"Kalau itu, biar lembaga peng­adilan saja yang menguji, apakah pelanggaran atau tidak? Apakah proses formil yang terlewatkan itu bisa berdampak secara sub­stansial terhadap materi PKPU-nya. Apa yang dilakukan KPU sebenarnya untuk melindungi tahapan pilkada yang tidak memiliki regulasi atau dasar huku­mnya. Jadi biarkan Mahkamah Agung (MA) yang menilai pengujiannya," terang dia.

Dorong DPR Fadli juga mendorong agar DPR dan Pemerintah serta penyelenggara segera menyelesaikan pembahasan PKPU yang tersisa. Pasalnya, banyak hal berubah dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Seperti terkait pencalonan, kampanye, dana kampanye, penegak hukum, penyelesaian sengketa pilkada dan lain-lain.

"Perubahan-perubahan itu disesuaikan. Khususnya, kampanye misalnya calon boleh melakukan pemasangan alat peraga dan penyebaran alat kampanye yang di PKPU lama tidak bisa. Itu mengatur berapa banyak, di mana saja boleh dipasang dan dampaknya terhadap dana kampanye seperti apa, pelaporannya seperti apa. Itu kan disusun peraturan teknisnya dan sosialisasinya kepada peserta, pemilih dan penyelenggara pemilu," pungkasnya. (net)