Berani Jujur Hebat

Berani Jujur Hebat

“Kita harus merubah kebiasaan buruk yang dapat menciptakan manusia bermental korup. Karena jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Karena itulah fitrah manusia (the man’s ontological vocation, Poulo Freire: Politik Pendidikan, 2007 )”.


Sesuai dengan apa yang dikatakan Poulo Freire di atas, dapat kita telusuri manusia bermental korup sebagai bentuk berkembangnya sikap tidak jujur. Akibatnya sikap jujur menjadi semakin langka di negeri ini. Orang jujur selalu hilang bila telah menduduki jabatan publik, meski mereka berlatar belakang aktifis antikorupsi. Hal ini dikarenakan tak ada yang cukup mampu menahan gempuran kepentingan politik pragmatis yang membelenggu.

Dari itu juga, bukan tanpa alasan mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mengatakan, berani jujur hebat. Dalam setiap kampanye melawan korupsi. Sebab memang hanya orang-orang hebat sajalah yang mampu jujur di tengah gemerlap cahaya korupsi yang terus menyelimuti Indonesia.



Ibarat hidup di lingkaran setan, jujur merupakan satu kata yang selalu berada dalam posisi sulit, terutama bila telah menduduki jabatan publik. Hanya ada dua pilihan, bertahan atau mati terbuang. Jika memilih bertahan, kita akan dikucilkan dan akhirnya terbuang. Begitulah kerasnya ancaman bagi orang-orang jujur, hingga akhirnya jujur hanya menjadi kata penghias bahasa karena keberadaanya di dunia nyata semakin terkesampingkan. Pada ahirnya, jika ingin jujur dengan aman maka hiduplah di tengah hutan sehingga kita dapat mengekpresikan kejujuran dengan bebas.

Dari itu juga jabatan publik hanya menjadi panggung orang-orang berwajah ganda, bersikap pura-pura jujur bila berhadapan dengan publik, namun menguras anggaran negara untuk keperluan pribadi. Meski presiden berganti, namun rezim politik akan beradaptasi dengan cepat menyesuaikan diri dan menekan pemimpin berkuasa. (Reza Sawawi, Sekolah Integritas 2016).


Menilik dari benang merah historis, perilaku koruptif di Indonesia merupakan warisan (legacy) kaum kolonial Belanda. Perilaku koruptif itu telah bermetamarfosis sejak zaman kerajaan Indonesia, yakni kita mengenal istilah upeti yang harus dibayar masyarakat kepada raja demi kelancaran usaha. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal penyuapan di negeri ini.

Penyuapan ini terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi budaya korupsi yang sulit untuk diberantas (Ari Wiriawinata, 2014). Hingga kini, korupsi itu terus mengalami kemajuan pesat di segala lini, terutama para pelakunya. Hal ini terbukti dengan kandasnya upaya pemberantasan korupsi oleh berbagai kalangan. Meski banyak pelaku korupsi yang tertangkap, namun tetap saja tidak memberikan efek jera terhadap para pelakunya.


Dari data yang dirilis Indonesia Coruption Watch (ICW) pada Februari 2015, pada tahun 2014 terungkap 629 kasus korupsi dengan jumblah tersangka mencapai angka 1.328 orang.  Total kerugian negara pada tahun itu adalah Rp5,29 triliun. Kemudian pada Agustus 2015, ICW kembali merilis data korupsi terungkap pada semester pertama 2015. Sebanyak 308 kasus korupsi berhasil di identifikasi dengan 590 orang dijadikan tersangka. Total kerugian yang harus ditanggung negara sebesar Rp1,7 triliun.
Akar Permasalahan


Banyak pengamat berpendapat, korupsi terus membudaya akibat tidak adanya aturan hukum yang mampu memberikan efek jera. Mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga harus diberantas dengan upaya yang luar biasa (special treatment), yaitu dengan menciptakan hukum yang kejam bagi para koruptor, seperti hukuman mati atau memiskinkannya sampai ke sanak famili, sehingga dia merasakan bagaimana hidup di bawah kemiskinan. Memang tidak heran para pengamat beranggapan cara tersebutlah yang paling ampuh, sebab korupsi mempunyai dampak besar berupa tertundanya perwujutan dari kesejahteraan rakyat.


Namun saya berpendapat lain mengenai apa yang harus diperbaiki untuk memberantas korupsi di negeri ini. Korupsi haus diberantas dengan memutus mata rantai budaya yang berkembang di masyarakat. Untuk mewujutkan itu semua, sektor pendidikanlah yang harus diperbaiki. Sebab sejauh ini, dunia pendidikan cenderung menjadikan manusia bermental korup karena sistem yang dibangun tidak mendidik manusia untuk menjadi seorang yang jujur.

Dalam dunia pendidikanlah kita diajarkan bagaimana menjadi orang baik, kita diajarkan metode antikorupsi, kita diajarkan bahwa korupsi itu berbahaya, dan kita diajarkan bahwa korupsi itu harus diberantas. Namun dunia pendidikan tidak menciptakan keseimbangan antara teori dengan praktik dan antara berbicara dengan berbuat. Kita banyak berbicara tentang korupsi, namun lupa bagaimana cara untuk berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya.


Contoh sederhana dari hal tersebut adalah penerapan sistem pendidikan dengan mengharuskan seorang murid untuk menghafal pendapat ahli, teori, dan lain sebagainya demi untuk menjawab soal yang diberikan guru tanpa diperbolehkan membuka buku. Karenanya, disaat soal ujian yang diterima berbeda dengan apa yang  di hafal, maka peluang sekecil apapun akan dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan seperti mencontek.

Sistem pendidikan harusnya menjadi kekuatan penyadar umat manusia tentang bagaimana bahaya korupsi itu, bukan malah melatih manusia menjadi seorang koruptor. Jangan hanya kita terus berkoar dengan menyuarakan antikorupsi, namun perbuatan yang dilakukan mencerminkan seorang koruptor.  Dunia pendidikan harus mampu menjinakkan sosial budaya (social and cultural domestication) korupsi yang berkembang dalam masyarakat.


Untuk itu, dunia pendidikan harus merubah sistem pembelajaran dengan menjadikan pendidikan moral menjadi pilar utama. Bila sistem pendidikan yang ada tidak segera diperbaiki, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara dengan korupsi yang tak terkendali. Sebab nantinya para sarjana, magister, doktor dan profesor yang dihasilkan bermental seorang koruptor.
Bila pun ada yang memiliki sikap jujur, namun keberadaanya akan tenggelam di bawah awan hitam korupsi. ***
Peneliti Lembaga Integritas, Padang