Melindungi Generasi Muda sebagai Tunas Bangsa

Melindungi Generasi Muda sebagai Tunas Bangsa

Setiap anak, merupakan aset bangsa. Merekalah generasi muda calon pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa berikutnya.

Sehingga, wajar jika negara senantiasa ada untuk melindungi aset berharganya. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 2, mengamanatkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sehingga, negara dalam konteks kali ini memiliki kewajiban melindungi anak. Kemudian, perlu dicatat adalah konteks melindunginya.

Karena, melindungi tentu bukan hanya ketika dan setelah sebuah kasus muncul, tetapi juga berkaitan dengan tindakan preventif.

Belakangan pemberitaan mengenai kekerasan terhadap anak kembali menghangati ruang publik. Publik terhenyak, ketika YY (14 tahun) seorang siswa SMP di Bengkulu mengalami kasus  perkosaan hingga meregang nyawa.

Korban ketika kejadian dikepung 14 laki-laki, dan lokasi kejadian yang jauh dari rumah warga membuat para pelaku leluasa dalam menjalankan tindakan tak bermoral.

Dan ternyata, kasus YY tersebut merupakan puncak gunung es, yang secara serta merta membuka mata publik akan rentetan kasus serupa yang muncul berikutnya. Serentetan kasus serupa kemudian menyeruak kehadapan publik.

Kasus serupa di Manado, Bogor, Bekasi, Semarang, Jakarta Barat dan pada 30 Mei lalu SA (14), menjadi korban di Sulsel.

Realita kasus YY, menjadi bukti bahwasanya perlindungan yang diberikan negara belum maksimal. YY yang notabene memiliki hak untuk merasa aman dan kelangsungan hidupnya, justru harus meregang nyawa.

Hal menjadi catatan negara harus mulai melihat kondisi suatu wilayah. Karena, kondisi wilayah ini yang kemudian menjadi faktor apakah aman atau tidaknya anak-anak.

Misalnya daerah domisili YY yang ternyata menjadi potret kemiskinan wilayah tersebut. Selain itu, ternyata anak-anak di daerah sana harus berjalan lebih kurang 1 kilometer untuk mencapai sekolah. Diperjalanan, mereka harus melewati kawasan perkebunan karet yang curam dan sepi.

Parahnya, lokasi kebun karet tersebut berjarak 100 meter dari perumahan warga dan sering menjadi tempat berkumpul pemuda-pemuda (Kompas, 7/5).

Dan itulah yang kemudian menimpa korban. Kasus YY menjadi cerminan bahwa anak dan perempuan belum memasuki tahap aman dan terlindungi.

Mereka masih rentan akan kekerasan seksual dan kasus perkosaan. Beragam elemen bangsa mulai mendesak pemerintah mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Kondisi negeri, tampak mulai mengarah kepada darurat kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sehingga, perlu langkah konkrit dalam hal pemberian perlindungan terhadap mereka.  

Beragam organisasi atau perkumpulan mulai melakukan Aksi bersama, sebagai bentuk duka atas wafatnya YY, dan sebagai dukungan kepada pemerintah sesegera mungkin mencari solusi bersama. Aksi membunyikan tanda bahaya dengan hashtag dilakukan. Apa yang menimpa YY, tak bisa terulang lagi.

Karena, akibat yang dihasilkan hanya dua, kalau tidak meninggal, atau menyisakan trauma mendalam. Jika sang anak mengalami trauma, akan berimbas kepada keengganannya bergaul dengan lingkungan luar.

Bayangan kejadian akan selalu mempengaruhi pola pikirnya, sehingga menjadikannya introvert. Butuh bantuan psikiater dan dukungan moril mengembalikannya seperti semula.

Bangsa akan merugi jika tiap hari, tiap bulan atau tiap tahun ada generasi mudanya yang mengalami kasus seperti ini. Pembangunan bangsa akan mengalami sedikit kemunduran. Karena, moral generasi muda tengah mengalami degradasi.

Kasus YY memiliki banyak implikasi dan musabab. Selain mencerminkan belum amannya anak dan perempuan, kasus ini juga mencerminkan bagaimana degradasi moral tengah menerpa generasi muda bangsa ini.

Generasi muda  seharusnya belajar dengan baik, bersinergi dengan pemerintah dan membangun daerah, malah terhanyut dalam dunia tak bermoral.

Dalam hal gerak cepat penanggulangan, selain dari sisi struktural, langkah cepat dalam konteks kultural juga perlu dilakukan.

Pertama, UU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa dijadikan payung hukum dalam melindungi anak dan perempuan, serta memberi efek jera pada pelaku.

Namun, payung hukum tersebut harus diimbangi dengan perbaikan moral generasi muda. Karena memperbaiki degradasi moral, pada dasarnya bukan pada ranah struktural, namun kultural.
 
Kedua, peran keluarga. Peran orangtua tentu menjadi sangat penting kalau musababnya adalah degradasi moral. Sehingga, ketika sang anak beranjak dewasa, pendiriannya telah terbentuk dari sosialisasi dalam lingkungan keluarga tadi.

Namun, dalam hal ini pemerintah juga tidak bisa lepas tangan. Karena suksesnya sosialisasi dalam keluarga memiliki faktor yang mempengaruhi, yaitu kesejahteraan.

Apa yang terjadi pada lingkungan YY tidak dapat terus dibiarkan. Orangtua korban yang bekerja sebagai petani karet dan kopi, harus bekerja jauh dari rumahnya.

Alhasil, mereka tidak bisa memantau sang anak. Jarak rumah jauh, jalanan yang sepi menjadi stimulus bagi oknum tak bertanggungjawab untuk beraksi. Dan disanalah perhatian khusus harus diberikan negara.

Ketiga, pemerintah daerah perlu bersinergi dengan tokoh masyarakat. Apa yang terjadi di daerah, pada dasarnya akan lebih efektif jika yang lebih berperan dalam proses penyelesaiannya dilakukan oleh tokoh masyarakat.

Karena, kekuatan politik local strong man akan lebih kuat dibanding negara, jika kita berbicara pada saat era otonomi daerah ini.

Pemerintah Pusat melalui pemerintah daerah menjaga komunikasi  baik dengan tokoh masyarakat, karena persoalan kekerasan terhadap anak dan perempuan bukanlah semata persoalan pemerintah Pusat maupun daerah, namun persoalan bangsa. Peran tokoh masyarakat misalnya mengatur atau memaksimalkan peran pemuda sekitar.

Pemuda setempat tak hanya menjaga daerah sekitar dari orang-orang yang pacaran sampai larut malam, atau pencurian, tetapi juga melindungi anak dan perempuan di daerah sepi. Artinya, posko pemuda juga perlu disebar.

Namun, hal mendasar yang harus dilakukan tentu pendidikan karakter dan penyadaran akan perlunya perlindungan terhadap anak dan perempuan kepada pemuda.

Selain oleh negara, juga lembaga adat. Pantauan dan kontrol tokoh masyarakat kepada pemuda harus diperkuat. Terakhir, jangan sampai pemberitaan mengenai kasus kekerasan kepada anak dan perempuan begitu berlebihan.

Misalnya dalam hal penggunaan bahasa, karena akan berpengaruh kepada kecemasan berlebihan orangtua kepada anak. ***

Penulis analis pemb0angunan politik Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Andalas (Unand), Padang