Belenggu Korupsi

Belenggu Korupsi

Kesejahteraan merupakan cita-cita umat manusia, tidak hanya selagi manusia itu hidup, setelah matipun manusia juga menginginkannya di Surga.

Dalam konteks nation, cita-cita itu menggumpal menjadi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, di Indonesia saat ini, kesejahteraan itu digerus oleh pelaku tindak korupsi.

Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Konsideran menimbang UU Nomor 20 Tahun 2011. Hukum pun belum apa-apa dalam memberikan efek jera terhadap para koruptor.

Hal ini tergambar dari data Transparency International Indonesia (TII) yang mana mencatat hasil skor Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia pada tahun 2015 adalah 36, menempati urutan 88 dari 168 negara.  Sementara itu, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tidaklah sedikit.

Sebagaimana yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara pada tahun 2015 sebesar Rp31,077 triliun, Kemudian pada tahun 2014 negara merugi sebesar Rp5,29 T, tahun 2013 sebesar Rp7,3 T dan pada tahun 2012 sebesar Rp10,4 T. Modus korupsi yang terjadi pun beragam.

Penyalahgunaan anggaran berada pada urutan teratas, kemudian penggelapan, mark up, dan penyalahgunaan wewenang.

Bila ditotal seluruhnya, maka dalam rentang waktu 4 tahun, yaitu dari 2012 sampai 2015 negara merugi sebesar Rp54,057 T.

Namun data kerugian negara yang dirilis ICW tersebut belum apa-apa bila dibandingkan dengan data penelitian dan pelatihan ekonomi dan bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.

P2EB  merilis kerugian negara akibat korupsi yang telah diputus MA dalam rentang waktu dari 2001 sampai 2012 adalah sebesar Rp168,19 T.

Terhadap kerugian negara tersebut, para koruptor hanya diberi hukuman finansial sebesar Rp15,09 T. Jika ditotal, negara merugi Rp153,1 T.

ang negara yang begitu besar merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, namun faktanya hanya dinikamati oleh segelintir orang yang berlabel  penguasa.

Bayangkan saja bila anggaran yang begitu besar dipergunakan untuk keperluan pendidikan, mungkin sudah tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah, mengingat negara Indonesia merupakan salah satu negara paling banyak menyumbang anak putus sekolah.

Laporan terbaru Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Education at Glance 2015, menyebutkan 17 persen kelompok usia dewasa muda 25-34 tahun, tidak menyelesaikan pendidikan menengah mereka pada 2013.

Angka ini merupakan hasil perbandingan dengan 34 persen kelompok usia dewasa 55-64 tahun, di semua negara OECD. Dari 17 negara, Indonesia berada pada posisi kedua dengan persentase anak putus sekolah adalah 60 persen.

Kemudian data dari  UNICEF, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Data statistik menunjukkan, terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan sebagian besar berasal dari keluarga miskin, sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.  

Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, memiliki kemungkinan putus sekolah emapat kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan.

Untuk data statistik geografis, tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1  dibandingkan dengan perkotaan. Bila penyelengara negara tidak menyalah gunakan anggaran yang telah digunakan, maka jumlah masyarakat miskin dapat ditekan.

Dampaknya pun jumlah anak putus sekolah juga dapat ditekan. Kemudian andai saja uang negara yang dikorupsikan itu digunakan untuk anggaran pendidikan, maka fasilitas pendidikan di daerah dapat ditingkatkan.

Namun apalah daya, penyelenggara negara telah menjadikan korupsi sebagai ‘cara berpolitik’. Mereka bungkam terhadap nasib jutaan masyarakat miskin yang ada di negara ini.

Akibatnya pun sudah dapat diprediksi, yaitu anggaran negara selalu dikorupsikan dan kemiskinan akan tetap menjadi masalah besar bangsa.  

Koruptor laksana pengkhianat dari cita-cita bangsa. Mereka ingin memperoleh kehidupan yang sejahtera dengan sesegera mungkin.

Hal ini kemudian terus menjadi pilihan cara berpolitik, dengan pertaruhan masa depan bangsa Indonesia. Kesejahteraan  berubah menjadi kesengsaraan, yang selalu dipelopori  para koruptor. Jadilah Indonesia bernasib sebagai bangsa yang selalu menempati skala korupsi tingkat tinggi.

Akibatnya, negara yang seharusnya melindungi dan memberikan rasa keadilan dalam masyarakat akan menjelma leviathan. Karena hukum negara hanya mampu menjerat maling-maling kecil saja, sementara maling-maling besar merajalela menguasai negeri ini.

Apabila hal ini terus-menerus terjadi, dan tak kunjung usai, maka kemakmuran dan kedaulatan rakyat akan terancam. Karena koruptor akan terus menggerogoti uang rakyat, yang semestinya menjadi sumber pembagunan  untuk kesejahteraan bangsa.  

Namun bila penyelenggara negara dapat berfikir jernih dan mematuhi kaedah yang berlaku, maka masalah kemiskinan dan pendidikan dapat diminimalisir sesegera mungkin.

Kita harus bersinergi secara bersama-sama dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi, karena hanya dengan cara itu pula kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang baik bagi masyarakat miskin.

Jika lingkungan pendidikan baik, maka kesejahteraan bisa sesegera mungkin terwujud. Sebab pendidikan merupakan sarana utama untuk menuju cita-cita umat manusia tersebut.

Akhir kata, dapat kita ambil kesimpulan  kesejahteraan tidak akan pernah terwujud bila korupsi masih terjadi dan “menguasai” negeri ini.

Jika korupsi masih saja dijadikan “cara berpolitik” bagi penyelenggara negara, maka kesejahteraan itu hanya akan menjadi cita-cita selamanya, tanpa dapat digapai. ***

Peneliti muda dan pegiat antikorupsi INTEGRITAS