Mencegah Kebakaran Hutan

Mencegah Kebakaran Hutan

Sejumlah negara dilanda cuaca panas yang menyebabkan kekeringan. Pemanasan global diduga sebagai penyebab utama. Menurut statistik badan antariksa Amerika Serikat, suhu pada Maret lalu memang yang terpanas sepanjang abad ini.

Suhu di dunia pada bulan itu naik 1,28 derajat celcius atau lebih panas daripada suhu rata-rata global di abad sebelumnya. Selain itu, para ilmuwan juga menemukan es di Greenland mencair tiga bulan lebih cepat daripada biasanya gara-gara perubahan iklim.  

Beberapa waktu lalu misalnya, sekitar 12 persen es di permukaan Greenland atau sekita 1,7 juta km persegi menunjukkan tanda mencair.

Dampak yang sangat mengkhawatirkan dari berangsur-angsur melelehnya ‘es batu’ di kutub adalah peningkatan evaporasi (penguapan tanah) dan terendamnya wilayah pesisir pantai.

Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini, termasuk suhu ekstrem, diyakini terkait erat dengan pemanasan global yang tengah terjadi. Beberapa bencana dikhawatirkan berpotensi terjadi seiring dengan memanasnya bumi.

Pada tahun 2100 bumi diperkirakan akan memanas 4 derjat celcius dan  permukaan air laut meningkat 26-82 sentimeter yang membuat es di Greenland dan Antartika mencair dan laut akan semakin hangat.

Hutan merupakan sumber kehidupan kedua terbesar setelah matahari di muka bumi. Hutan memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan umat manusia. Hutan melepaskan oksigen (O2) ke udara pada saat proses fotosintesis.

O2 inilah yang kemudian di hirup oleh  manusia demi keberlangsungan hidupnya yakni untuk bernafas. Karena itulah hutan disebut sebagai paru-paru dunia.  

Selain itu, hutan telah berjasa dalam keseimbangan iklim, mengurangi polusi,mereduksi, menyerap C02, dan mengurangi pemanasan global.

Namun, seiring perkembangan Iptek dan laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali telah mengancam keberadaan hutan di muka bumi ini. Hampir setiap tahun selalu terjadi penjarahan hutan yang tidak terkendali.

Ancaman kerusakan hutan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa, karena adanya efek elnino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi ekologis dan biodiversiti yang besar.

Pembakaran hutan telah menyebabkan pelepasan zat polutan yang terperangkap di atmosfer yang telah menyebabkan kerusakan pada lapisan ozon yang memilki fungsi sebagai filter cahaya matahari yang tembus ke bumi.

Untuk mencegah datangnya bencana alam dan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh pemanasan global, maka mulai sekarang marilah kita mulai merubah prilaku jahat pada hutan dengan melaksankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.

Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah mengatur hak dan kewajiban berbagai pihak terhadap lingkungan hidup. Dalam Pasal 71ayat (1), pemerintah berperan dalam pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab izin usaha.

Pemerintah juga diwajibkan untuk transaparan mengenai laporan pelaku usaha dan menyediakan database yang mudah di akses oleh masyarakat untuk mengetahui sepak terjang perusahaan yang diberi izin khususnya yang berdampak kepada lingkungan hidup.

Untuk peran masyarakat, pada Pasal 70 ayat (2) meliputi, pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul,keberatan, pengaduan dan penyampaian informasi, laporan kepada aparat.

Selanjutnya melakukan kebijakan moratorium/jeda tebang yakni penghentian sementara segala bentuk aktivitas yang berpotensi merusak hutan baik kualitas maupun kuantitas dikawasan hutan dan kawasan non hutan guna menjamin kelestarian ekosistim hutan dan keselamatan hidup manusia.

Maksud dari kebijakan ini, melakukan tindakan kehati-hatian dini, guna menjamin kepastian hukum bagi terpenuhinya hak-hak rakyat terhadap keselamatan, produktifitas, dan jasa alam secara berkelanjutan.

Agar hasilnya lebih optimal maka diperlukan juga pendeteksian sedini mungkin ketika terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Pemerintah perlu meng-upgrade teknologi yang dipakai dalam memonitoring karhutla.  Selama ini, untuk memantau titik api (hotspot), pemerintah menggunakan satelit NOAA yang merupakan satelit buatan negeri paman sam (Amerika Serikat).

Kekurangan dari satelit ini terdapat pada resolusinya yang terlalu rendah (besar dari 1 km) menyebabkan jumlah hotspot yang terdeteksi tidak dapat ditentukan secara tepat.

Selain itu, sistem peringatan atau alarm titik api banyak mengalami kesalahan yang diakibatkan oleh panas matahari dan panas alami dari permukaan tanah, bukan dari panas dari titik api.

Berlandaskan pada pemaparan di atas, maka pemerintah harus mulai mengganti penggunaan satelit NOAA dan milirik penggunaan teknologi satelit lainnya untuk mencegah Karhutla.

Mengingat wilayah geografis Indonesia yang beragam dan sangat luas, salah satu teknologi yang menurut saya pantas untuk digunakan adalah Satelit Remote Sensing. Teknologi ini menawarkan alat yang berguna memantau kebakaran, menajeman, dan penilaian kerusakan yang di timbulkan oleh karhutla.

Satelit Remote Sensing memiliki resolusi yang tinggi dengan cakupan area yang luas, dilakukan sesering mungkin dan berulang-ulang dari suatu daerah tertentu.

Pengukuran kuantitatif fitur tanah menggunakan sensor radiometris yang dikaliberasi, memiliki pandangan sinoptik peristiwa yangberkaitan dengan lingkungan, dan pengolahan komputerisasi semi automatis dalam analisanya serta biaya yang relatif rendah per satuan luas cakupan.

Diusulkan juga pembentukan gugus tugas (task force) yang bersifat lintas sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) bagi pelaksanaan rencana aksi nasional konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan berkelanjutan.

Hal ini seharusnya berada langsung di bawah kewenangan Presiden, melalui Badan Adhoc multi pihak yang diketuai Menteri Kehutanan. ***
 Analis Hukum Teknologi dan Informasi FH Unand, Padang