Diduga Rambah Kawasan Hutan Produksi

PT Meskom Agro Sarimas akan Dilaporkan

PT Meskom Agro Sarimas akan Dilaporkan

PEKANBARU (riaumandiri.co)-PT Meskom Agro Sarimas diduga melakukan penyelewengan perizinan perkebunan dan tindak pidana korupsi di bidang kehutanan. Pasalnya, sampai saat ini perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Bengkalis tersebut tidak mendapatkan pertimbangan teknis rekomendasi dari Dinas Kehutanan Riau.

"Karena areal yang dimohon oleh PR Meskom Agro Sarimas yang dimohon berdasarkan RTRWP dan TGHK berada pada areal Arahan pengembangan kawasan hutan (APKK). Berdasarkan hal-hal tersebut pihaknya akan melaporkan ke penegak hukum," kata Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Handri Yansyah kepada Haluan Riau, Minggu (8/5).

Menurut Handri, berdasarkan hasil investigasi dan analisa data dari data yang diperoleh pihaknya, bahwa areal perkebunan kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas yang bekerja sama dengan Koperasi Meskom Sejati tidak sesuai dengan peruntukannya dan melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.

"Berdasarkan Perda Nomor 10 tahun 1994 tentang RTRWP bahwa areal pembangunan perkebunan kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas  seluas 10 ribu hektare berada pada wilayah arahan pengembangan kawasan kehutanan (APKK). Dan lokasi pencadangan tersebut juga berada pada kawasan hutan produksi terbatas Sungai Bengkalis, sesuai dengan hasil tata batas kawasan hutan Provinsi Riau yang dilakukan pada tahun 1992," terang Handri.

Selain itu, proses perizinan perkebunan kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas yang bekerja sama dengan Koperasi Meskom Sejati pada kawasan hutan terbatas (HPT)Sungai Bengkalis diduga sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme karena telah melanggar UU yakni UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 19 ayat (1) perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan hasil penelitian terpadu.

Kemudian Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 376 tahun 1998 tentang Kriteria penyediaan areal hutan untuk budidaya kelapa sawit. Dimana sesuai pasal 3 kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi perkebunan budidaya kelapa sawit berdasarkan RTRWP berada pada kawasan budidaya non kehutaan (APL)/Arahan Penggunaan Lain.

"PT Mesko Agro Sarimas yang bekerjasama dengan Koperasi Meskom Sejati diduga telah melakukan pembabatan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Bengkalis, sehingga negara dirugikan sektor Kehutanan dari hasil tegakan kayu lebih kurang 116.725 m3 mencapai Rp32 miliar lebih dan dari Pajak PSDH/DR mencapai Rp5, 78 miliar sebagaimana hasil audit BPK RI dengan surat Nomor 296/S/1/09/2009.

Berdasarkan kondisi tersebut serta untuk menjaga kelestarian hutan Pulau Bengkalis dan penegakan hukum maka pihaknya meminta Menteri Kehutanan dapat melakukan tindakan hukum sesuai pasal 50 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kepada pimpinan perusahaan PT Meskom Agro Sarimas karena telah melakukan pembabatan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Sungai Bengkalis sebagai penyangga seluas sekitar 8.055 hektare pada saat itu masih hutan alam.

"Apalagi PT Meskom Agro Sarimas telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan (banjir dan abrasi). Di samping itu terjadi pembohongan kepada masyarakat petani mengenai pembagian hasil yang telah disepakati sehingga nantinya dapat menjadi pemicu kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa. Hal ini adalah merupakan kejahatan korporasi yang harus mendapatkan sanksi sesuai aturan yang berlaku," pungkas Handri.

Sementara itu, Pemerhati Lingkungan yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Jhoni S Mundung menyikapi persoalan konflik lahan dan penyelewengan perizinan lahan di Riau menegaskan, hingga saat ini dirinya melihat bersama aktivis lingkungan yang lain nyaris tidak menemukan perusahaan perkebunan di Riau yang tidak berkonflik di Riau.

"Hampir semua perusahaan perkebunan berkonflik di Riau, baik konflik dengan masyarakat tempatan, masyarakat adat termasuk konflik dengan  warga pendatang. Belum lagi persoalan penyalahgunaan izin. Seperti izin yang mereka miliki 10 ribu hektare tetapi yang mereka kelola melebihi sesuai izin yang mereka kantongi," papar Mundung.

Untuk menyikapi persoalan konflik lahan ini, dirinya menyebut peran tokoh-tokoh adat sangat penting dalam meredakan konflik lahan ini, selain perlunya Perda Protokol penanganan konflik yang pernah mereka usulkan, walaupun hingga kini belum terealisasi.

"Selain itu, upaya lainya adalah melaporkan perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan ke penegak hukum. Sebab persoalan penyalahgunaan perizinan ini juga sebagai pemicu munculnya konflik dengan masyarakat," ujar tokoh lingkungan Riau ini.(hai)