UNBK dan Kesenjangan Pendidikan di Riau

UNBK dan Kesenjangan Pendidikan di Riau

Ujian Nasional siswa tingkat sekolah menengah atas dan sederajat telah dilaksanakan 4 April lalu dan akan berakhir, Kamis 7 April. Selanjutnya, pelaksanaan Ujian Nasional akan disusul siswa tingkat sekolah menengah pertama atau sederajat  satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 9 Mei 2016 .

Ujian  Nasional yang sudah di depan mata ini memiliki perubahan dengan tahun sebelumnya, yakni semakin banyaknya jumlah sekolah yang menjadi peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer.

Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) atau Computer Based Test (CBT) merupakan sistem pelaksanaan ujian menggunakan komputer sebagai media ujiannya.

Dalam pelaksanaannya, berbeda dengan sistem ujian nasional berbasis kertas atau Paper Based Test (PBT), yang selama ini berjalan. Tanpa sarana dan prasarana, seperti laptop/komputer dengan spesifikasi yang diisyaratkan, listrik, dan Informasti Teknologi (IT), Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdiri atas proktor utama, proktor pendamping, dan teknisi serta server, dapat dipastikan sekolah tidak bisa melaksanakan UNBK.

Pertanyaannya adalah bagaimana nasib sekolah-sekolah yang berada di pinggiran? Sekolah-sekolah yang tidak dapat mengikuti UNBK 2016, rata-rata terkendala masalah sarana dan prasarana, terutama untuk laptop atau komputer dengan spesifikasi yang disyaratkan.

Moto education for all atau pendidikan untuk semua ibarat masih jauh panggang dari api dan masih sebatas mimpi. Kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan pun masih terkesan ada keberpihakan pada kelompok tertentu.  

Hal ini dapat dibuktikan dengan UNBK tahun 2016 ini, dari sebanyak  4.451 sekolah yang melaksanakan UNBK tidak satupun yang merupakan sekolah pinggiran walaupun pesertanya jauh meningkat dari tahun 12015 lalu dengan mengikutsertakan sebanyak 555 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 378 SMK.

Untuk Provinsi Riau sendiri yang malaksanakan ujian menggunakan UNBK berdasarkan daftar yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per 25 Maret , diikuti sebanyak 57 sekolah yang terdiri dari 17 Sekolah menegah Atas (SMA) dan 40 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta yang tersebar di beberapa Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Riau dengan rincian Pekanbaru 15 SMK, 8 SMA dan 2 SMP, Dumai 7 SMK, 5 SMA dan 3 SMP, Kampar 1 SMK, dan 2 SMA, Inhu 2 SMK dan 1 SMA, Inhil 1 SMK, Bengkalis 5 SMK, Rohil 3 SMK, Siak 2 SMK dan 1 SMA, Kuansing, 2 SMK, dan Pelalawan 1 SMP.

Sayangnya, dari daftar yang dirilis Kemendikbud tersebut, Kabupaten Rohul dan Kepulauan Meranti tidak ada satu sekolah pun yang melaksanakan UNBK.

Daftar itu juga menunjukkan sangat jauh kesenjangan pendidikan antara kabupaten kota di Riau dibandingkan dengan ibukota provinsi tersebut. Minimnya sekolah di kabupaten kota di Riau yang melaksanakan UNBK bukan hanya karena sarana dan prasarana yang terbatas, tetapi juga disebabkan lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) guru.  

Minimnya guru yang menguasai teknologi informasi tentu berimplikasi pada siswa di sekolah. Hal ini terbukti ada beberapa sekolah yang gagal melaksanakan UNBK karena sangat sedikit guru yang mengusai teknologi informasi tersebut. Guru khawatir jika dipaksakan sekolah melaksanakan UNBK hasilnya akan mengecewakan karena siswa tidak mengusai IT. Pekerjaan Rumah (PR) pemerintah provinsi Riau bukan hanya dituntut memeratakan pendidikan di Riau namun juga mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan provinsi di Pulau Sumatera, jumlah sekolah peserta UNBK di Riau kalah jauh dari Provinsi Aceh yakni 109 sekolah, Sumatera Utara 100 sekolah, Sumatera Selatan 79 sekolah, dan Provinsi Lampung 95 sekolah. Beruntung, Riau unggul dari provinsi  yang memiliki tradisi pendidikan cukup hebat, yakni Sumatera Barat yang meloloskan 45 sekolah peserta UNBK. Kesenjangan sarana dan prasarana serta SDM provinsi Riau sangat jauh bila dibandingkan dengan provinsi di Pulau Jawa.  

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, secara umum disebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
 
Kemudian, pada UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, bab IV pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam konteks UNBK, kalau sampai siswa tidak bisa ujian secara online karena tidak adanya sarana dan prasarana adalah tanggung jawab pemerintah. Tidak mungkin siswa dibebani untuk membawa sendiri komputer atau laptop, sementara sekolah lain dibantu pemerintah secara lengkap.
Solusi

Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat sudah selayaknya bergerak cepat memperbaiki celah-celah yang dapat menyulut kesenjangan dalam dunia pendidikan.Perlu diimplentasikan dan dilaksanakan dengan cepat, agar hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dapat segera terwujud. Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diambil pemerintah terutama untuk jangka pendek.

Pertama, perubahan pengelolan SMA sederajat dari kota kabupaten ke provinsi berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah harus menjadi mementum bagi dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi Riau untuk menggesa pemerataan dan ketertinggalan sarana dan prasarana serta SDM guru tingkat SMA sederajat tersebut.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Riau harus menargetkan tahun 2017 atau 2018 seluruh sekolah tingkat SMA sederajat sudah melaksanakan UNBK. Target ini bukanlah hal yang muluk karena dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi akan lebih fokus dan efisien dalam pengelolaan Pendidikan Menengah (Dikmen).

Selain fokus dan efisien, Dinas pendidikan provinsi harus mengedepankan terjadinya pemerataan mutu pendidikan. Kedua adalah dengan memasukkan kembali mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang dihapus di dalam kurukulum tahun 2013.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi harus berperan aktif memperjuangkan ini, karena TIK semakin penting peranannya dalam perkembangan arus globalisasi yang mensyaratkan penguasaan teknologi tingkat tinggi di segala aspek kehidupan.  

Pelaksanaan UNBK, merupakan salah bentuk penerapan teknologi tersebut di sekolah. Jika memang UNBK akan terus ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya, mau tidak mau mata pelajaran TIK harus dimasukkan kembali dalam K13.

Kita berharap pengambil kebijakan perlahan tapi pasti dapat mengurangi kesenjangan  sarana dan prasarana dan SDM guru sehingga UNBK bisa dilaksanakan seluruh sekolah di Riau. UNBK juga membantu provinsi dalam melakukan pemetaan hasil UN secara objektif dan proporsional. ***
Penulis guru SMKN 2 Teluk Kuantan