Kredit Bank Mandiri

60 Persen Dialokasikan untuk Perkebunan

60 Persen Dialokasikan untuk Perkebunan

PEKANBARU (riaumandiri.co)-Porsi penyaluran kredit Bank Mandiri di Riau selama ini mencapai Rp5 triliun. Sebanyak 60 persen di antaranya dialokasikan untuk sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Hal itu disampaikan Area Head Bank Mandiri Pekanbaru Agus Sanjaya saat diskusi 'Penyelamatan Petani di Tengah Anjloknya Harga Sawit' yang dilaksanakan di Hotel Grand Tjokro, Selasa (23/2).

Diakuinya, secara umum usaha perkebunan kelapa sawit masih dinilainya produktif. Meskipun dua tahun terakhir harga kelapa sawit mengalami tekanan akibat berbagai faktor.

"Penurunan harga ini memang memberikan pengaruh. Tapi belum begitu mengkhawatirkan. Intinya kondisi saat ini masih relatif aman. Ada penurunan kualitas kredit tapi hanya bekisar satu persen," kata Agus.

Atas kondisi merosotnya harga sawit beberapa tahun belakangan ini, menurutnya ada alternatif lain yang bisa dilakukan petani. Yakni dengan melakukan usaha bidang lain. Seperti peternakan atau usaha lain yang tidak berimbas terhadap pergolakan harga global.

Bahkan Bank Mandiri Area Pekanbaru pada tahun ini, diakuinya menurunkan jumlah penyaluran kredit untuk sektor perkebunan kelapa sawit ini menjadi 55 persen. Bank Mandiri juga akan menggarap kredit di sektor unggulan lain. Misalnya industri kesehatan, pendidikan, perdagangan, minyak dan gas khususnya usaha SPBU dan SPBE, otomotif untuk sparepart dan juga sektor telekomunikasi.

Peneliti dan pengamat ekonomi pedesaan dari Universitas Riau Profesor Almasdi Syahza mengatakan, petani sawit khsusnya swadaya yang paling terasa saat harga anjlok. Hal ini lebih disebabkan faktor internal petani sendiri.

"Karena kualitas yang dihasilkan rendah dampak penggunaan bibit, perawatan hingga proses sampai panennya tidak tidak memenuhi standar," katanya.

Petani masih memandang kelapa sawit sangat menguntungkan. Tak heran banyak terjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Harusnya dicarikan sumber pendapatan yang sebanding. Jadi tak perlu sawit.

"Seperti di Merbau potensi jeruk nipis berpotensi. Tapi tidak mau karena baru melihat potensi sawit. Sedangkan harga ini adalah kewenangan pasar. Harusnya pasar dalam negeri yang diciptakan," katanya.

Hal senada disampaikan Perwakilan Gapki Sumatera Wisnu. Menurutnya, gejolak harga pada 2015 bagi petani plasma turut mengalami pengurangan pendapatan. Namun hanya sekitar 10 sampai 15 persen.

 Namun sangat berdampak pada petani swadaya. Hal ini menjadi tugas bersama untuk melakukan pembinaan agar hasil panen bisa diterima perusahaan. Karena kendala bagi petani swadaya ini karena menggunakan bibit tidak jelas, cara panen, transportasi, tak ada badan hukum dan tidak memiliki link ke perusahaan. (rls/hai)