Merawat Pemberantasan Korupsi

Merawat Pemberantasan Korupsi

Pelemahan dan upaya mutilasi terhadap kekuatan dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi bukan perkara baru semenjak institusi anti rasuah itu ada. Perdebatan soal pelemahan dan penguatan menjadi isu-isu strategis yang menyeruak di setiap relung-relung publik.

Boleh saja kita berpikiran nakal, Revisi UU KPK yang menjadi satu dari 40 agenda program Legislasi Nasional tahun 2016 ini sebuah upaya nyata dalam pelemahan komisi independen tersebut. Dalam perjalanannya, KPK menjadi momok menakutkan bahkan mengancam penyelenggara negara yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri.

Dalam catatan sejarah, KPK merupakan anak kandung dari agenda reformasi. Pada tahun 2002, PDIP dan Megawati membidani lahirnya lembaga yang diharapkan mampu untuk membersihkan Indonesia dari penyakit koruptif. Namun diusianya yang masih belia, KPK acap kali mendapatkan teror amputasi bernama revisi Undang-undang dengan berbagai alasan dan rasionalisasi. Dilihat dalam perspektif pemberantasan korupsi, memang diakui KPK menjadi 'anak nakal' reformasi. Bahkan, komisi anti rasuah tersebut telah banyak memenjarakan orang yang membidani kelahirannya.
 
Komisi ini juga berperan besar mengantarkan penyelenggara negara ke penjara, dan memiskinkan mereka dengan penyitaan dan perampasan harta benda oleh negara. Ini mungkin salah satu yang menjadi faktor PDIP, Golkar, PAN, PKB dan Hanura getol untuk merevisi undang-undang terkait.
Menjinakkan Pelemahan KPK.

Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-undang KPK kembali menguat seiring dengan masuknya Revisi Undang-undang KPK ke dalam Prolegnas 2016. Suara penolakan itu muncul dari berbagai elemen masyarakat, LSM, akademisi, artis, komisioner dan matan pimpinan KPK. Bakan Pimpinan KPK mengancam mundur dari jabatannya jika revisi dilanjutkan. Pelemahan secara sitematis terhadap gerak langkah pemberantasan korupsi ditanah air sudah terjadi delapan belas kali dalam bentuk yudicial riview terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi, namun MK masih melindungi KPK.

Hiruk-pikuk terhadap kontroversi revisi Undang-Undang KPK membuat Jokowi harus angkat bicara. Bertempat di Istana Negara, Senin (22/1), Jokowi menyatakan dirinya bersama DPR sepakat untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. Mantan Gubernur DKI itu menganggap, rencana revisi UU KPK perlu mendapat kajian lebih mendalam, termasuk sosialisasi terhadap masyarakat. Ini artinya  pelemahan KPK tampaknya sulit untuk dihindari. Berbagai macam cara tetap ditempuh oleh kelompok yang merasa terancam oleh sepak terjang KPK selama ini. Agenda demi agenda selalu disisipi untuk pelemahan KPK.

Menunda pembahasan Undang-undang anti korupsi tersebut bukan bermaksud untuk memberhentikan upaya revisi. Ini artinya hanya sebatas menjinakan terhadap upaya pelemahan KPK. Hal ini ditandai dengan pernyataan Ketua DPR Ade Komarudin, pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan revisi Undang-undang KPK, dan tidak menghapus dalam daftar prolegnas.

Merawat Pemberantasan Korupsi Revisi undang-undang KPK yang masuk dalam prolegnas 2016 ini setidaknya memiliki empat stressing point  yang menjadi urgensi untuk dilakukan revisi, yaitu pembatasan kewenangan penyadapan KPK, Kewenangan KPK menerbitkan SP3 (Surat Perintah Perhentian Penyidikan), Kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik dan pembentukan Dewan Pengawas KPK yang merupakan langkah ahistoris dan mengamputasi independensi Komisi.

Kalau kita telisik lagi, bahwa keempat poin diatas lebih cenderung memimiliki potensi untuk mengkerdilkan pemberantasan korupsi. Penyadapan contohnya, wewenang ini menjadi inti dari pergerakan KPK dalam memberantas praktek koruptif di tanah air. Hampir semua upaya mengungkap kejahatan korupsi bermula dari penyadapan. Di satu sisi, isu kewenangan mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri kontradiktif dengan kenyataan. Buktinya, draf revisi UU KPK justru menutup ruang KPK untuk mengangkat penyelidik independen.

Menyikapai polemik revisi UU KPK, ada baiknya kita memakai pandangan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, yang mengatakan sebaiknya DPR menanyakan kepada KPK apakah diperlukan revisi atau tidak? Jika pandangan Zulkifli itu dirujuk, surat Pimpinan KPK 9 November 2015 jadi jawaban. KPK berpendapat, pada prinsipnya Pimpinan KPK tidak setuju dengan keinginan beberapa orang di DPR untuk merevisi UU KPK. Pimpinan KPK menyarankan segera dibuat UU Perampasan Aset. Itu sejalan dengan dokumen Nawacita. ***

Sekretaris Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Provinsi  Riau