Kelirumologi Gugatan Perselisihan Hasil Pilkada

Kelirumologi Gugatan Perselisihan Hasil Pilkada
Gugatan Pilkada di MK bagi sebagian publik mungkin tidak begitu menarik. Beralasan Pilkada 9 Desember 2015 telah usai dan hanya menunggu jadwal pelantikan. Namun bagi kalangan pemerhati, akademisi dan pecinta informasi politik, khususnya Pemilu terlebih bagi KPU dan Bawaslu beserta jajaran kesempatan ini sangat ditunggu, mengingat fenomena ini hanya terjadi  di setiap siklus musim Pilkada saja. 
Bukan persoalan menang atau kalah dengan diterima atau ditolaknya gugatan tapi lebih kepada pengungkapan, penelusuran dan pembuktian terhadap isi dari materi gugatan. 
 
Sebenarnya penyebutan gugatan terhadap perselisihan hasil pemilihan di MK lebih lazim dikenal dengan permohonan karena pada praktiknya berisi materi-materi permohonan kepada MK namun acapkali disebut gugatan. Dari sembilan Pilkada kabupaten kota di Riau tercatat delapan gugatan telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi yang diregistrasi masing-masing, dengan Nomor Siak: 122/PHP.BUP-XIV/2016, Pelalawan: 9/PHP.BUP-XIV/2016, Indragiri Hulu: 45/PHP.BUP-XIV/2016, Rokan Hulu: 106/PHP.BUP-XIV/2016, Rokan Hilir: 92/PHP.BUP-XIV/2016, Bengkalis: 103/PHP.BUP-XIV/2016, Kepulauan Meranti: 144/PHP.BUP-XIV/2016 dan Kuantan Singingi: 65/PHP.BUP-XIV/2016. 
 
Gugatan Siak telah sejak awal diputus ditolak pada tanggal 18 Januari 2016, karena terlambat dari ketentuan waktu yang sudah ditentukan undang-undang dan dasar lainnya, sedangkan permohonan untuk Pelalawan, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Bengkalis, Kepulauan Meranti diputus dan dibacakan pada Selasa tanggal 26 Januari 2016 dengan putusan ditolak. Artinya hanya ada satu kabupaten yang berlanjut dalam sidang berikutnya yang dijadwalkan MK pada tanggal 1 Februari  untuk mendengarkan.
 
keterangan saksi ahli pemohon, termohon, pihak terkait dan keterangan Bawaslu. Dalam hal ini disampaikan oleh Panwas Kabupaten Kuantan Singingi yang didampingi Bawaslu Provinsi Riau. Secara umum ada substansi sengketa yang  terlupakan dan selalu diartikan dan dipahami  keliru atau tidak tepat dari proses awal gugatan sampai pasca putusan yang berkembang di tengah masyarakat kita. 
 
Pertama, sebuah gugatan yang disampaikan ke MK seringkali dimaknai terbalik bagi pihak  yang menilai sebagai bentuk ketidakpuasan, kemudian menuntut seharusnya diartikan sebagai hak konstitusi.
 
Ketidakpuasan dan hak konstitusi tentulah sangat berbeda. Pembiasaan berpikir positif dalam nalar hukum sangatlah penting untuk meletakkan peran mencari penegakkan hukum sesuai koridor yang tepat dalam langkah dan upaya hukum. Itu artinya gugatan ke MK bukanlah penyaluran ketidakpuasan, tetapi upaya hukum yang dapat ditempuh karena merupakan hak konstitusi warga negara, termasuk pasangan calon yang memohon.
 
Nalar hukum harus dipahami bahwa proses dan putusan sidang di MK adalah  bagian yang terintegral dalam berkepemiluan. 
 
Artinya ada mekanisme akhir yang dapat ditempuh apabila pasangan calon yang dirugikan atau kuasa hukumnya beranggapan, bahwa perolehan suara dari Pilkada tersebut dinilai cacat hukum atau dengan dalil-dalil hukum lainnya yang dijadikan materi pengajuan permohonan kepada MK. Pintu masuk  hak konstitusi memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan permohonan ke MK. Itu sebabnya dalam setiap pembacaan Putusannya, MK selalu saja menyebutkan bahwa peradilannya tersebut adalah pengadilan pertama dan terakhir dengan putusan final dan mengikat.
   
Kedua, hasil putusan seringkali dijadikan satu penilaian menang atau kalah  padahal amar putusan MK sendiri tidak pernah menyebutkan memenangkan atau mengalahkan  permohonan pemohon. Artinya amar putusan yang membunyikan menolak atau menerima suatu permohonan bukanlah identik dengan menang ataupun kalah. Jika ada pihak yang mengatakan akan memenangkan gugatan di MK, itu berarti seolah-olah merasa dalam kompetisi pertandingan di MK.
 
Padahal “ pemain inti“ demokrasi dalam pemilu adalah masyarakat. 
Itu sebabnya rasa suka atau tidak suka terhadap adanya permohonan sengketa harus dikesampingkan, apapun kapasitas orang tersebut tidak terkecuali bagi penyelenggara Pemilu atau pengawas Pemilu,  karena sesungguhnya proses dan putusan sidang jelas bermuara akhir berkontribusi dalam pengayaan pengetahuan hukum, pemahaman dan praktek hukum yang demokratis yang bersumber dari, oleh dan untuk rakyat. 
 
Putusan MK tersebut juga dapat dijadikan materi refleksi untuk melakukan perbaikan revisi hukum dalam Pilkada atau kodifikasi hukum kepemiluan. Sisi lainnya harus dinilai bahwa seluruh proses permohonan sengketa adalah bagian edukasi politik bagi siapa saja yang bersentuhan dengan politik. Edukasi politik kemudian menggiring pembiasaan menilai lumrah  dikabulkan atau ditolaknya permohonan sengketa harus dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Pilkada. 
 
Putusan MK yang telah dibacakan pun menjadi pencermatan umum yang menjelaskan ada dasar-dasar, dimana MK dapat atau tidak perlu memperhatikan eksepsi  termohon atau pihak terkait yang dijadikan dasar pertimbangan sebuah putusan namun dengan tetap mengacu kepada UU 8 Tahun 2015 dan Peraturan MK dimaksud yang menggambarkan kemandirian lembaga penegak konstitusi ini. ***