Gafatar dan Peran Negara

Gafatar dan Peran Negara

Pemulangan ribuan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ke daerah asal mereka di Jawa dan sejumlah daerah lain,  termasuk rencana pemulangan ke Riau, bukan solusi yang tepat untuk menangani persoalan aliran kepercayaan atau kelompok masyarakat yang dinilai menyimpang dari ajaran agama atau berniat membentuk negara sendiri. Mengungsikan orang-orang yang telah ditanamkan ajaran-ajaran menyimpang itu hanya akan memindahkan masalah dari satu daerah ke daerah lainnya.

Penolakan warga terhadap Gafatar atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya, bahkan sampai terjadi tindakan anarkistis, bukan berarti kelompok itu harus diungsikan atau diusir. Keputusan aparat penegak hukum dan lembaga keagamaan yang menyatakan bahwa Gafatar menyimpang tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan anarkistis. Pengusiran komunitas Gafatar, apalagi dilakukan dengan cara-cara kekerasan merupakan bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

Dalam hal ini, negara, termasuk aparat keamanan, bersama masyarakat sekitar seharusnya merangkul mereka dan secara perlahan mengembalikan pemahaman kelompok itu terhadap nilai-nilai agama dan kebangsaan yang benar. Ideologi, apalagi jika sudah mengakar dalam benak dan pikiran para anggota Gafatar, tidak bisa dihilangkan dengan pengusiran.

Sejak sepekan terakhir, sudah ribuan anggota atau mantan anggota Gafatar yang dipulangkan ke daerah asal mereka. Pemulangan dilakukan setelah warga di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur mengusir anggota kelompok yang oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dinyatakan menyimpang. Pengusiran oleh warga itu juga berujung anarkistis berupa pembakaran kawasan permukiman kelompok tersebut.

Selain dianggap menyimpang dari ajaran agama, Gafatar juga dianggap mengancam keutuhan negara. Kelompok itu disebut-sebut telah membuat struktur negara dengan adanya pejabat presiden, gubernur, dan bupati. Tindakan seperti itu dianggap sama dengan perbuatan makar. Polisi masih mengusut kebenaran informasi bahwa Gafatar akan membentuk negara sendiri.

Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, anggota Gafatar memang membentuk komunitas esklusif dan yang sudah diketahui ada di Kalimantan Barat dengan dipimpin Ahmad Musadeq. Di Kalbar saja, jumlah anggota Gafatar sudah lebih dari 4.000 orang. Keberadaan mereka membuat resah warga sekitar, sehingga terjadi aksi pengusiran.

Dalam kasus seperti ini, peran negara dan tokoh-tokoh agama sangat penting. Negara dan lembaga keagamaan harus secepat mungkin melakukan kajian. Setelah itu, segera diputuskan apakah suatu kelompok masyarakat telah menyimpang dari ajaran agama atau melanggar aturan-aturan kenegaraan yang telah disepakati, termasuk kemungkinan mereka melakukan gerakan makar. ***