Revisi UU Terorisme dan Jaminan HAM

Revisi UU Terorisme dan Jaminan HAM

Rencana revisi UU Terorisme sebagai respons terhadap bom Thamrin (14/1), yang dikaitkan dengan organisasi teroris internasional, seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semestinya tidak dilakukan dengan terburu-buru dan reaktif. Tak hanya terkesan reaktif, tapi juga menimbulkan kecurigaan yang tak dapat dianggap picing sebelah mata.

Misalnya, yang dikatakan Desmond J Mahesa, wakil Ketua Komisi III DPR, yang mencurigai, apakah bom Thamrin ada kaitannya dengan UU Terorisme agar direvisi, mengingat belum jelasnya apakah kasus Sarinah atau Tahmrin itu bagian dari trigger untuk merevisi UU Terorisme? Apakah memang betul teroris atau by design yang belum terjawab secara maksimal oleh pemerintah? Kecurigaan ini tentu harus dijawab pemerintah agar dapat benar-benar menjelaskan secara gamblang kasus yang terjadi, sehingga solusi revisi UU Terorisme salah satu jalan terbaik yang harus diambil.

Ancaman terorisme bagi masyarakat dan negara memang nyata, bukan imajinasi kosong belaka. Bahkan, negara-negara maju, seperti Amerika, Perancis, dan Turki pun turut menjadi korban terorisme itu. Karenanya, sebagai bentuk respons bom Thamrin, keinginan melakukan evaluasi penanganan persoalan terorisme di Indonesia adalah suatu yang wajar. Baik itu evaluasi dari aspek pemberantasan terorisme maupun regulasi yang ada.

Yang menarik adalah komentar Presiden Jokowi dalam sebuah media yang menyebutkan UU Terorisme ini bisa saja direvisi, dibikin Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) atau UU baru. Tentu,
komentar ini kurang layak keluar dari seorang Presiden, karena seolah-olah tidak memahami perbedaan antara revisi undang-undang, pembuatan Perppu, atau pun dibuat UU baru. Khusus berkaitan dengan ide pembuatan Perppu, harus memenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Hal ihwal kegentingan yang memaksa inilah yang harus mampu ditunjukkan dan dibuktikan Presiden ketika mengeluarkan Perppu. Merujuk putusan MK No 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter "kegentingan yang memaksa", yakni, pertama adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU, tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Bagir Manan (2004) menyebutkan, unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu adanya krisis dan kemendesakan. Suatu keadaan krisis ditafsirkan dengan adanya gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Sedangkan, kemendesakan diartikan sebagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan memuat suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. Atau, telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness), bila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan bagi masyarakat maupun jalannya pemerintahan.

Dari perspektif ini maka kondisi pascabom Thamrin sebenarnya tidak menunjukkan adanya krisis dan kemendesakan. Dengan demikian, ide mengubah UU Terorisme melalui Perppu kuranglah tepat. Bahkan, bukankah ketika peristiwa bom Thamrin kesigapan aparat Indonesia menanggulanginya patut diacungi jempol. Karenanya, dengan perangkat hukum yang ada saat ini disertai perangkat penegak hukum yang memadai, ancaman terorisme di Indonesia masih dapat ditangkal dan dilakukan penegakan hukumnya. Jika kemudian adanya keinginan melakukan perubahan dalam regulasi pemberantasan terorisme lebih baik menggunakan pranata revisi atau pun pembuatan UU Terorisme yang baru.

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM BNPT maupun Polri, cukup serius mengusulkan agar UU Terorisme diubah karena perkembangan terorisme internasional, khususnya adanya ISIS. Tak hanya revisi UU Terorisme, juga mengusulkan Perppu Penanggulangan Kelompok atau Organisasi Terlarang atau Kelompok Radikal Terorisme. Ada beberapa hal yang patut dicermati dan dikritisi.

Misal, dalam usulan revisi UU Terorisme, Pasal 28 pengaturan mengenai batas waktu penangkapan disertai penahanan direvisi dari tujuh hari menjadi 30 hari. Padahal, sesuai KUHAP penangkapan disertai penahanan maksimal 1x24 jam.

Sementara itu, dalam draft Perppu tentang penanggulangan Kelompok atau Organisasi Terlarang atau Kelompok Radikal Terorisme, Pasal 4 mengenai ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun bagi orang yang, (a) dengan sengaja mengadakan hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan kelompok atau organisasi terlarang; (b) dengan sengaja menganut atau mengembangkan ajaran atau paham atau ideologi kelompok atau organisasi terlarang kepada orang lain atau kelompok lain; atau (c) dengan sengaja bergabung atau mengajak bergabung dengan kelompok atau organisasi terlarang.

Selain itu, keinginan melakukan perubahan hukum juga menyasar UU 9/1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum karena dianggap belum mampu menjerat orang yang secara tegas dan terang-terangan mendukung ISIS. Juga, menyasar UU 17/2013 tentang Ormas yang tidak mengakomodasi ormas yang tidak terdaftar dan bahkan radikal untuk ditindak. Lalu, juga menyasar UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan yang belum mengatur dapat hilangnya kewarganegaraan Indonesia akibat ikut organisasi terlarang. Belum lagi, keinginann BIN agar diberikan kewenangan penangkapan yang keluar dari rel tugas intelijen.

Dari berbagai UU yang hendak disasar mempunyai singgungan yang besar terhadap jaminan dan perlindungan HAM. Karenanya, kalau pemerintah tidak hati-hati dan secara jernih mendudukan persoalan terorisme ini, revisi UU Terorisme beserta aturan lain yang terkait hanya akan mengembalikan model pemerintahan otoriter. Tentu, ini yang harus dihindari.

Revisi UU Terorisme adalah keniscayaan, walau demikian harus dengan tetap berpegang pada prinsip pemenuhan tanggung jawab negara terhadap HAM, yakni menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Revisi ini hanyalah obat jangka pendek.

Dalam jangka panjang, sebagaimana disebut Todung Mulya Lubis, sebaiknya pemerintah segera melakukan perbaikan kesejahteraan masyarakat, mewujudkan keadilan sosial, dan membenahi sistem pendidikan akan membuat masyarakat lebih sadar mana yang baik dan yang buruk. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah terbujuk untuk bergabung dengan kelompok teroris. ***

Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia & Dosen Fakultas Hukum Unpad Bandung