Kembangkan Ekonomi Berorientasi Domestik

Kembangkan Ekonomi Berorientasi Domestik

Ketidakpastian dalam ekonomi global diprediksi masih terjadi sepanjang tahun 2016. Harga komoditas global masih terus menurun, termasuk harga minyak dunia. Kalaulah rancangan ekonomi berorientasi domestik melalui pembangunan infrastruktur yang bertujuan meningkatkan konsumsi masyarakat, bisa berhasil, maka faktor-faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi Tiongkok yang memiliki hubungan dominan dengan ekonomi

Diakui, Tiongkok merupakan salah satu negara dengan nilai kerjasama terbesar dengan Indonesia. Artinya, perlambatan ekonomi Tiongkok bisa terasa, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga perlambatan tersebut beresiko lebih tinggi dari kenaikan suku Bunga acuan Fed-AS.

Namun diyakini kebijakan yang mempermudah investasi dan mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun-tahun mendatang. Dengan berkembangannya perekonomian domestik melalui peningkatan layanan infrastruktur, tentunya jumlah lapangan kerja bertambah dan selanjutnya pendapatan masyarakat akan bertambah.

Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada perkembangan properti dalam 10 tahun terakhir menjadikan pembangunan ekonomi rapuh. Sektor kelautan kesulitan untuk berkembang, karena pengaruh sektor ini terhadap PDB sangat rendah. Kondisi ini berdampak pada sektor perdagangan yang semakin terpinggirkan, seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan.  

Pembangunan industri, sejauh ini belum membangun industri hilir berbasis pertanian dan pertambangan  yang memiliki daya saing. Sektor formal memang meningkat, tetapi besaran sektor informal masih terlalu besar yakni lebih dari 58 persen. Keadaan ini mencerminkan iklim usaha yang belum kondusif. Kebijakan ekonomi terhadap UKM dan UMKM masih terbatas, seperti kebijakan fasilitas ekspor, lisensi, informasi pasar dan bahan baku.

Keputusan Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin  menjadi 7,25 persen merupakan bentuk tindakan yang akomodatif.  Diyakini bahwa ruang penyesuaian BI rate terbuka untuk beberapa kali sepanjang tahun ini walaupun tetap menjaga kehati-hatian di tengah tingginya ketidakpastian global dalam jangka pendek.  

Pengumuman BI rate ini dikeluarkan hanya sekitar dua jam setelah pengeboman  di kawasan Sarinah yang menunjukkan Bank Indonesia memang akan menurunkan BI rate apa pun yang terjadi.  

Penurunan BI rate bisa memberikan konsekuensi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi dapat membuat nilai rupiah tertekan terhadap Dolar AS. Pada sisi lain, dapat mendorong indeks harga saham gabungan ke level yang lebih tinggi. Akan tetapi ini sejalan juga dengan keinginan dunia usaha agar suku bunga perbankan turun untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Masih belum membaiknya perekonoman global, membuat industri berorientasi ekspor terancam kolaps apabila penurunan permintaan ekspor terus terjadi sepanjang tahun ini. Pembatalan ekspor dan penundaan pembayaran akan menyebabkan resiko ekspor menaik, sehingga bank akan enggan memberikan kredit atau terjadi kenaikan tingkat bunga dan premi ekspor yang akhirnya semakin menyulitkan bagi eksportir.  

Kinerja eksportir juga sangat tergantung pada pendapatan negara tujuan yang mempengaruhi permintaan mereka terhadap impor. Artinya, sektor yang bisa diandalkan pada tahun ini dan beberapa tahun ke depan adalah industry yang berorientasi ke pasar domestic yang tidak terlalu bergantung kepada ekspor dan kandungan impor. Industri  yang produknya bersifat kualitas rendah, seperti tekstil dan produk tekstil dan alas kaki diperkirakan dapat menyesuaikan diri dengan situasi ekonomi yang masih lemah sepanjang tahun ini.      

Sejalan dengan ini, bonus demografi yang ditandai dengan tingginya jumlah penduduk usia produktif bisa menguntungkan bagi perekonomian kita.  Saat ini kita memiliki usia produktif yang cukup besar disertai kelas menengah perkotaan yang memiliki daya beli kuat dapat dijadikan alat penggerak perekonomian.  

Sebenarnya, bonus demografi sendiri diperkirakan baru bisa dinikmati Indonesia pada tahun 2020-2030. Saat itu, diprediksi jumlah usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sisanya 30 persen penduduk yang tidak produktif. Kinerja perekonomian kita juga diuntungkan dengan pengalaman yang sudah beberapa kali menghadapi krisis ekonomi dan berhasil melaluinya.  Bisakah kita mengambil manfaat dari berbagai keuntungan domestik ini, semoga. ***