Kejaksaan Tetap Gunakan UU LHK

Kejaksaan Tetap Gunakan UU LHK

PEKANBARU (HR)-Pihak Kejaksaan di Riau tetap akan menggunakan Undang-undang yang mengatur masalah Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam melakukan gugatan dan penuntutan, terhadap sejumlah korporasi yang diduga melakukan pembakaran lahan dan hutan di Riau.

Meskipun, UU ini telah dimentahkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang, yang menolak gugatan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH).

Saat ditemui Haluan Riau di ruang kerjanya, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Akmal Abbas, menerangkan kalau dalam perkara karlahut, ada 3 upaya hukum yang bisa ditempuh. Yakni, terkait administrasi dimana sanksinya berupa pembekuan bahkan pencabutan izin pihak korporasi oleh KLHK.

"Kedua, melalui perdata. Dalam upaya ini, sanksinya berupa ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kelalaian pihak korporasi. Terakhir, melalui jalur pidana, yang sanksinya berupa pidana badan dan denda terhadap pihak yang bertanggungjawab dalam masalah pembakaran lahan," jelas Akmal, Selasa (5/1).

Menyikapi putusan PN Palembang yang diputus akhir tahun kemarin, Akmal menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, putusan majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan, dengan hakim anggota masing-masing Eli Warti dan Kartidjo, telah memberikan preseden buruk dalam upaya penanggulangan karlahut di Indonesia.

"Kalau hakim menganggap seperti itu (kerusakan lingkungan bisa diperbaiki kembali,red), bisa kacau semua," tegas Akmal Abbas.
Kendati demikian, Akmal menegaskan kalau pihak kejaksaan selaku institusi yang melakukan proses penuntutan di persidangan nantinya, tidak gentar dengan putusan PN Palembang tersebut. Pihaknya tetap akan mengendepankan UU yang mengatur masalah Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melakukan gugatan dan penuntutan di persidangan, terhadap sejumlah korporasi yang telah di tetapkan sebagai tersangka.

"UU (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) masih menjadi primadona. Fokus kita tetap bagaimana kerusakan lingkungan harus diperbaiki.
Apalagi, ahli yang digunakan adalah ahli lingkungan hidup yang telah melakukan kajian dan hitung-hitungan secara ilmiah," sebut Akmal.

Lagipula, sebut Akmal, putusan PN Palembang tersebut belum bisa dijadikan Yurisprudensi baru. Pasalnya, putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang tetap atau inkrah. Pihak penggugat tentunya akan melakukan upaya hukum banding, bahkan ke tingkat kasasi.

"Selagi belum inkrah, putusan itu (PN Palembang,red) belum bisa dijadikan yurisprudensi," pungkas Akmal Abbas.***