Pilkada Serentak

Rendahnya Pemilih Hingga Maraknya Gugatan

Rendahnya Pemilih Hingga Maraknya Gugatan

Dinamika politik di Riau sepanjang tahun 2015, bisa dikatakan sangatlah tinggi. Khususnya dengan digelarnya Pemilihan Kepala Daerah serentak, 9 Desember lalu.

Namun sejumlah catatan masih mengiringi perhelatan politik rutin lima tahunan tersebut. Terutama terkait partisipasi masyarakat yang masih rendah, serta maraknya proses Pilkada yang berujung dengan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Cerita lainnya, adalah rontoknya sejumlah calon petahana, serta sistem pelaksanaan Pilkada yang dinilai belum maksimal. Namun secara umum, penyelenggaraan Pilkada serentak di Riau dinilai berjalan cukup sukses dan lancar.

Namun secara garis besar, program pemerintah pusat dengan menggelar Pilkada serentak, belum mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dan menyalurkan hak pilihnya. Yang jelas, pelaksanaan Pilkada sebelumnya, tingkat partisipasi dan kesemarakan masih tetap lebih tinggi. Ini artinya Pilkada serentak belum menjadi daya tarik masyarakat sebagai kebutuhan memilih calon pemimpin. Begitu pula ajang Pilkada dinilai tidak begitu menarik, termasuk calon yang ikut bertarung.

Dari sembilan kabupaten/kota di Riau yang menggelar Pilkada serentak pada tahun 2015 ini, rata-rata tingkat partisipasi masih rendah, yakni sekitar 65 persen. Padahal, KPU Riau awalnya sempat mematok target 80 persen.

Terkait fakta ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, Sri Rukmini, mengakui partipasi pemilih di Pilkada serentak 2015 cukup jauh meleset dari target. Bahkan tidak satu pun kabupaten dan kota yang partisipasi pemilihnya mencapai atau mendekati target yang dibuat lembaga penyelenggara Pemilu. Sri mengakui, pihaknya sudah melakukan upaya semaksimal mungkin melakukan sosialisasi dan melaksanakan tahapan Pilkada sesuai regulasi.

Dilihat prosentasi partisipasi pemilih Pilkada Serentak, Kabupaten Kuantan Singingi adalah yang tertinggi, yakni mencapai 73,80 persen. Selanjutnya Rokan Hulu 71,77 persen, Pelalawan 69,46 persen, Dumai 68,13 persen, Meranti 64,47 persen, Bengkalis 60,25 persen, Siak 60 persen, Rokan Hilir 59,99 persen dan Kabupaten Indragiri Hulu 57,83 persen.

Pengakuan serupa juga dilontarkan Badan Kesbang dan Politik Riau melalui Kabid Politik, Peri Yusnadi. Dari penilaian pihaknya, ada beberapa hal yang menyebabkan kurangnya antusias masyarakat menyalurkan hak pilihnya.

Di antaranya, masih banyak masyarakat yang menganggap Pilkada kurang menarik, begitu pula calon yang berlaga karena tidak sesuai dengan harapan, serta ditambah sikap partai politik yang tidak memberikan pelajaran politik kepada masyarakat.

Saatnya bagi lembaga penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu, membuat catatan serius tentang kegagalan penyelenggaraan Pilkada 2015 dan selanjutnya memaksimalkan pembelajaran politik kepada masyarakat secara menyeluruh. Karena bagaimanapun kesuksesan penyelenggaraan Pilkada harus didukung tingkat partisipasi pemilih yang tinggi.
    
Kurangnya keterlibatan parpol membantu mensukseskan penyelenggaraan Pilkada, berdampak lemahnya dukungan di masyarakat terhadap calon kepala daerah yang diusungnya. Ini berbeda dengan penyelenggaraan Pilkada sebelumnya, di mana parpol lebih mendominasi sosialisasi ke masyarakat dalam menyukseskan dan memenangkan calon yang diusung.

"Kita lebih melihat, selain lemahnya sosialisasi Pilkada oleh penyelenggara, juga faktor gagalnya Partai Golkar maupun PPP ikut pilkada sedikit berpengaruh. Dalam Pilkada sebelumnya atau Pilkada 2015, di mana ada kader PG ikut Pilkada justru tingkat partisipasinya cukup tinggi, seperti di Rokan Hulu maupun di Kuansing," jelasnya.
    
Penadangan senada juga dilontarkan Ketua Komisi A DPRD Riau, Hazmi Setiadi. Pihaknya juga menyayangkan kondisi ini. Seharusnya, dengan persiapan yang matang dan didukung adanya regulasi yang pasti, pelaksanaan Pilkada di Riau seharusnya mendapat dukungan penuh oleh pemilihnya.

Tidak ada alasan, rendahnya partisipasi pemiluh karena adanya kejenuhan masyarakat dengan proses Pilkada. Harusnya KPU sudah mengantisipasi jauh jauh hari dengan formulasi jitu guna menjaring pemilih agar bisa ke TPS.

Dikatakan, dari survei yang dilakukan Komisi A di sembilan daerah pemilihan, diakui sebagian besar pemilih merupakan masyarakat rendah, artinya masyarakat yang bersangkutan akan mengkaji saat pemilihan apakah harus ke TPS atau ke ladang mencari nafkah.

Seharusnya, kondisi ini dipahami KPUD setempat dengan berbagai cara, misalnya apakah saat pemilihan panitia menyediakan konsumsi untuk diberikan kepada pemilih sebagai pengganti mata pencarian karena pergi ke TPS.

Hazmi menolak rendahnya partisipasi pemilih harus dibebankan kepada masyarakat. Dalam hal ini masyarakat tidak bisa disalahkan. masyarakat tahu apa yang akan dilakukan dan selanjutnya bagaimana penyelenggara dapat memahami keinginan masyarakat.
    
Karena itu, ke depannya KPU segera menyiasati agar Pilkada bisa menjadi daya tarik masyarakat untuk bisa berpartisipasi semaksimal mungkin. Bahkan DPRD Riau siap menyediakan anggaran sesuai kebutuhan guna menjaring pemilih. Begitu juga dengan peran partai politik, diharapkan kepada fungsionaris maupun kader partai politik manapun bisa memotivasi kader di bawahnya dengan melakukan sosialisasi tentang pentingnya memberikan hak suaranya.

Gugatan Marak
Sementara terkait maraknya gugatan ke MK, Peri Yusnadi menilai hal itu merupakan sesuatu yang wajar dan diakui secara aturan negara. Namun, ia mempertanyakan substansi gugatan, yang kebanyakan mengarah kepada hasil perolehan suara. Karena sesuai aturan, perbedaan perolehan suara tersebut sudah ada aturan yang membahasnya. Dari sembilan daerah yang menggelar Pilkada serentak, hanya Kota Dumai yang berjalan mulus. Kota Pelabuhan ini juga telah menetapkan pasangan Zul As dan Eko Suharjo sebagai pemenang Pilkada Dumai 2015.
 
Terkait hal itu, staf pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Riau, Dr Mexsasai Indra, mengatakan, tak semua permohonan sengketa hasil Pilkada serentak dapat dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Hanya gugatan yang memenuhi persyaratan dari Undang-undang saja yang dapat diterima gugatannya oleh MK.

"Untuk dapat dikabulkan permohonan gugatan sengketa hasil Pilkada oleh MK, pihak pemohon yaitu pihak yang kalah harus bisa memenuhi salah satu dari dua aspek syarat untuk gugatannya dapat diterima Mahkamah Konstitusi. Pertama aspek kuantitatif dan yang kedua aspek kualitatif," terangnya.

Aspek Kuantitatif yaitu, pemohon bisa mengajukan permohonan pembatalan hasil Pilkada jika selisih suara sesuai ambang batas yang ditetapkan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang.

    Menurut Pasal 158 Ayat 2 dalam UU Nomor 8 tahun 2015 itu bahwa peserta dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan-ketentuan yang diukur dari jumlah penduduk di daerah tersebut.

Senada dengannya, Hazmi Setiadi juga menyayangkan peserta Pilkada 2015 yang mengajukan gugatan. Dikhawatirkan, gugatan tersebut akan termentahkan dengan adanya aturan UU. Untuk diketahui, dalam Pasal 158 Ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 menerangkan bahwa permohonan pembatalan hasil rekapitulasi dapat dilakukan bila terdapat perbedaan paling banyak 0,5 persen hingga 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU.

Sedangkan untuk Riau, hanya ada tiga daerah yang memenuhi syarat itu. Yakni Kabupaten Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan Pelalawan. Selebihnya, selisih suara melebihi dari dua  persen. (***)