Politikus Riau dalam Jerat Korupsi

Politikus Riau dalam Jerat Korupsi

Antrean panjang politikus Riau yang tersangkut kasus korupsi masih mewarnai dunia hukum dan kriminal di Bumi Lancang Kuning sepanjang tahun 2015. Sederet nama politikus Riau yang jatuh dalam jerat korupsi itu kian membuktikan bahwa syahwat korupsi teramat dahsyat.

Korupsi telah menjadi kejahatan yang punya magnet luar biasa bagi siapapun yang tergoda. Belum hilang di ingatan kita, bagaimana sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pada pengesahan pembahasan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2012 tentang venue lapangan tembak dan Perda Nomor 5 tahun 2008 tentang Pembangunanan Stadion Utama Riau. Kedua venue tersebut digunakan pada pelaksaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII Provinsi Riau.

Tersangka kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2012 lalu tersebut yakni, Taufan Andoso Yakin, M Faizal Azwan, M Dunir, Abubakar Siddik, Adrian Ali, Turoechan Asyari, Zulfan Heri, Tengku Muhazza, Syarif Hidayat dan Roem Zein. Para tersangka tersebut sudah menjalani proses persidangan dan telah dinyatakan bersalah.

Berselang beberapa tahun kemudian kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD di Riau kembali terjadi. Sebut saja, kasus korupsi penyimpangan dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kabupaten Bengkalis. Di mana, sejumlah anggota DPRD Bengkalis diduga terlibat. Seperti, mantan Ketua DPRD Bengkalis Jamal Abdillah yang saat ini perkaranya yang semula ditangani Penyidik Polda Riau, tengah bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Menyusul Jamal, empat anggota DPRD Bengkalis periode 2009-2014, turut ditahan Penyidik Polda Riau, yakni masing-masing Purboyo, Muhammad Tarmizi, Hidayat Tagor, dan Rismayeni. Tidak lama lagi, keempat tersangka juga akan menjalani proses persidangan.

Namun kejadian serupa ternyata tak cukup sampai di situ. Seolah-seolah tidak menjadikan pengalaman sebelumnya, kasus korupsi di tubuh DPRD kembali terjadi. Adalah Ahmad Kirjuhari, mantan anggota DPRD Riau ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengesahan APBD P Riau tahun 2014 dan APBD Riau tahun 2015. Dirinya, telah menjalani persidangan dan diyatakan bersalah dengan divonis selama empat tahun penjara.

Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Pekanbaru beberapa waktu lalu, menyatakan ada sejumlah mantan koleganya di DPRD Riau diduga terlibat dalam kasus suap dua pengesahan anggaran daerah Riau tersebut. Mereka, yakni Johar Firdaus, Suparman, dan Riki Hariyansyah. Tinggal, bagaimana penyidik KPK berani menindaklanjuti pertimbangan putusan majelis hakim tersebut.

Jika dilaksanakan berdasarkan alat bukti yang kuat, tidak menutup kemungkinan ketiga mantan legislator Riau tersebut akan menambah sederetan anggota DPRD di Riau yang menjadi pesakitan kasus korupsi.

Pakar Hukum Pidana Dr Erdianto Effendi SH M Hum mengungkapkan tidak jeranya sebagian oknum anggota Dewan di Riau berurusan dengan penegak hukum terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, karena didorong oleh beberapa faktor.

Pertama, sebut dosen Fakultas Hukum Universitas Riau tersebut, yaitu faktor fakta empiris. Di mana, oknum Dewan berani melakukan pelanggaran hukum karena ketika mereka melihat ada yang melanggar hukum tapi di dalam kenyataannya tidak dihukum. "Itu yang membuat dirinya kemudian mencoba untuk menjadi berani melakukan pelanggaran. Itu fakta hukum empirisnya," ungkap Erdianto, Sabtu (26/12).

Sementara faktor lainnya, lanjutnya, dapat dilihat dari substansi hukumnya. Di antaranya, adanya faktor untuk memperkaya diri sendiri. Menurut pemikiran sebagian oknum dewan, menjadi anggota Dewan itu hanya lima tahun. "Mumpung selama lima tahun menjabat tersebut, ada keinginan sebagian oknum yang ingin memperkaya diri sendiri selama menjabat," lanjutnya.

Erdianto juga melihat faktor kurang jelasnya struktur formulasi undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi. Apakah yang dilakukan orang tersebut merupakan kesalahan atau tidak. Sang oknum tersebut tidak mengetahuinya. Ternyata, setelah di kemudian hari apa yang mereka lakukan yang semula mereka anggap benar ternyata dianggap sebagai tindak pidana korupsi.

"Dalam kasus seperti itu, mungkin rekomendasi kita agar formulasi tipikor dipertegas, kongrit dan tidak multitafsir macam-macam," tegas Erdianto.

Kendati begitu, terkait kasus suap, Erdianto menyebut tidak menyalahkan substansi hukumnya. Melainkan kembali ke faktor manusianya dan faktor budaya masyarakat. Anggota Dewan, sebutnya, selama ini dianggap sebagai orang yang kaya. Citra inilah yang kemudian ingin penuhi oleh sebagian oknum legislator, yang menganggap prinsip the rich man is the noble man (orang kaya adalah orang terhormat,red).

Untuk membangun citra itu, kemudian para anggota Dewan melakukan berbagai cara dan terobosan untuk membuat mereka untuk selalu mempunyai kantong-kantong keuangan.

"Ini kan, mereka (para anggota Dewan,red) terbebani dengan banyaknya permintaan sumbangan-sumbangan. Sebagai seorang anggota Dewan dianggap sebagai seorang yang harus bisa semua di tengah masyarakat. Jadi, masyarakat juga menyumbang ini (terjadinya tipikor oleh oknum Dewan,red)," sebut Erdianto lebih lanjut.

Untuk itu, Erdianto mengatakan kalau akibat prinsip the rich man is the noble man, fenomenanya banyak pejabat-pejabat yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka korupsi itu justru dibela oleh masyarakat. Karena masyarakat merasa berkepentingan dan mendapat fit back dari hasil kekayaan yang dimiliki pejabat tersebut.

Lebih lanjut, Erdianto juga menyebut tingginya biaya politik yang dikeluarkan seseorang untuk menjadi seorang legislator, turut menjadi faktor seseorang anggota Dewan menjadi korup. Mereka, sebut Erdianto, juga harus menyumbang ke partai tempat bernaung. Mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan suara sampai mereka duduk. Termasuk untuk 'menyuap' masyarakat untuk memilihnya dalam pemilihan anggota legislatif.

"Ini sebenarnya juga terjadi di seluruh Indonesia. Cuma masalahnya, Riau ini duitnya banyak, APBD-nya besar. Jadi peluang-peluang terjadinya korupsi juga lebih besar di Riau dibanding daerah lain," tukas Erdianto.

Ke depan, harap Erdianto, masyarakat harus berani menolak setiap pemberian dari anggota Dewan yang tidak jelas sumbernya. Selain itu, masyarakat diminta untuk tidak menekan anggota Dewan dengan segudang permintaan, dengan modus yang bermacam-macam.

"Kalau masyarakat memang betul-betul mau memberantas perilaku korup, masyarakat juga harus berani menolak pemberian-pemberian yang tidak jelas, sumbernya diragukan, atau patut diduga uangnya bersumber dari hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," harap Erdianto menutup.

Direktur Riau Corruption Watch (RCW) Mayandri Suzarman menyebutkan, tidak jeranya sejumlah oknum Dewan di Provinsi Riau melakukan tindak pidana korupsi, salah satunya karena kondisi pragmatis di tengah-tengah masyarakat, dalam memilih calon legislator.

Dikatakan Mayandri, ongkos politik tinggi pada saat mencalonkan diri menjadi anggota dewan terutama untuk meraup suara di tengah-tengah pemilih.

"Kondisi masyarakat yang pragmatis kemudian cara-cara untuk duduk menjadi anggota DPRD yang juga tidak baik. Mereka harus mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Tentu tidak ada satupun yang mau merugi," ungkap Mayandri, Senin (28/12).

Kalau oknum Dewan telah mengeluarkan cost politik yang tinggi, sebut Mayandri, tentu mereka akan menutup hal tersebut dengan salah satunya dengan korupsi. "Sepanjang mekanisme untuk duduk menjadi anggota dewan dan kondisi masyarakat yang pragmatis itu tidak dirubah, ini akan berlangsung terus menerus sampai kapanpun," lanjut Mayandri.

Ke depan, harapnya, pola pikir masyarakat tidak lagi pragmatis. Sehingga, mereka memilih wakil rakyatnya dengan hati nurani bukan untuk kepentingan sesaat. Kalau hanya kepentingan sesaat, kondisi seperti inilah yang akan terjadi.

"Inilah produk yang dihasilkan dari sifat pragmatis. Ditambah dengan rendahnya moralitas di tengah-tengah anggota dewan," pungkas Mayandri.

3 C Masih Menjadi Atensi

Di samping kasus korupsi yang menyandung politikus di Riau, di tahun 2015, tindak pidana 3 C, yakni curat (pencurian dengan pemberatan), curas (pencurian dengan kekerasan) dan curanmor (pencurian kendaraan bermotor), kembali menjadi atensi Kepolisian Daerah Riau dan jajaran.

Sejak awal Januari hingga akhir November 2015, tercatat 4.456 kasus 3 C, dari 18.935 tindak kriminalitas yang terjadi. Kasus 3 C tersebut, 2.931 kasus masih dalam penyelidikan polisi. Sisanya, 1.525 kasus telah masuk ke tahap penyidikan.

Di mana, Polresta Pekanbaru merupakan Satuan Wilayah Hukum (Satwilkum) yang paling banyak menangani kasus 3 C, dengan 938 kasus dilidik institusi yang dikomandani Kombes Pol Aries Syarif Hidayat. Sedangkan, kasus 3 C yang disidik Polresta Pekanbaru sebanyak 446 kasus.

Disusul oleh Polres Kampar sebanyak 630 kasus, dimana 414 kasus dilidik Polisi, dan 216 tengah disidik. Selanjutnya, Polres Indragiri Hulu dengan 407 kasus, dengan 274 kasus dalam lidik dan 133 kasus disidik.

Menyikapi hal ini, Kapolda Riau Brigjen Pol Dolly Bambang Hermawan, melalui Kabid Humas Polda Riau, AKBP Guntur Aryo Tejo, menyebut banyak faktor yang menyebabkan kasus 3 C masih saja terjadi di Bumi Lancang Kuning ini. Salah satunya, dengan bertambahnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu di perkotaan, yang diikuti dengan tingkat perekonomian yang cukup signifikan.

"Sehingga, masyarakat banyak memiliki kendaraan dan harta benda. Objek-objek kriminalitas inilah yang menjadi sasaran pelaku 3 C," ungkap Guntur, Sabtu (26/12).

Selain itu, masyarakat cenderung memancing pelaku kejahatan dengan menyimpan barang-barang berharga di dalam rumah. Atau mengenakan berbagai perhiasan yang mencolok. Menurut Guntur, aksi kriminalitas bisa terjadi karena adanya niat pelaku dan kesempatan. Untuk mengantisipasinya, kita bisa menghilangkan kesempatannya.

"Misalnya, menyimpan menyimpan uang dan barang berharga di Pegadaian atau Bank. Tidak memakai perhiasan yang bisa memancing tindakan pelaku. Kalau memiliki kendaraan, mestinya memarkirkannya di tempat yang telah disediakan serta menggunakan kunci ganda," lanjut Guntur.

Sementara untuk daerah pedalaman, sangat rentan terjadinya tindak pidana curat dan curas. Hal tersebut dikarenakan karena jarak antar rumah satu dengan yang lainnya memang berjauhan. Ditambah dengan penerangan wilayah yang kurang memadai. Upaya komunikasi dengan tetangga juga sulit untuk dilakukan.

Untuk itu, masyarakat, sebut Guntur, harus menjadi Polisi bagi dirinya sendiri. Tindakan Polisioner dibutuhkan seperti yang tadi itu. Menyimpan barang berharga di tempat yang aman. Memakirkan kendaraan dengan melengkapi dengan kunci ganda. Atau, dengan melakukan Siskamling di perkampungan. Itu juga harus ditingkatkan. Ada kelompok-kelompok pengamanan di perkampungan bekerjasama dengan pihak kepolisian," terang mantan Kapolres Pelalawan tersebut.

Selain tindakan Polisioner dari masyarakat, aparat kepolisian juga terus melakukan upaya preemtif, preventif, dan persuasif, untuk mencegahnya terjadinya tindakan kriminalitas.

Untuk preemtif, sebut Guntur, Polda Riau dan jajaran telah membuat forum diskusi untuk mengantisipasi kriminalitas. Fungsi Pembinaan Masyarakat (Binmas) sudah jalan. Forum Group Discussion (FGD) melalui tokoh-tokoh pemuda dan tokoh masyarakat.

"Melakukan sosialisasi tentang arti pentingnya keamanan lingkungan, kemanan diri sendiri, termasuk keamanan berkendara. Misalnya, ceramah-ceramah pada saat Salat Jumat, atau kegiatan-kegiatan keagama di Gereja dan rumah ibadah lainnya. Ini disampaikan oleh Polisi Bhabinkamtibmas," sebut Guntur.

Sedangkan, upaya preventif, lanjutnya, melalui kegiatan patroli yang massif dan skala besar. Bahkan, mengerahkan patroli Direktorat Shabara Polda Riau untuk memback up kota-kota besar, atau wilayah yang rawan menjadi sasaran pelaku curas dan curat.

"Untuk tindakan persuasif dan penegakan hukumnya, sudah banyak kasus yang diungkap. Sebut saja, kasus curanmor, yang pelaku beraksi di beberapa TKP (Tempat Kejadian Perkara,red). Begitu, kasus-kasus lainnya yang diungkap Polda Riau dan jajaran," tegas Guntur.

Ke depan, harap Guntur, perlunya sinergitas antara masyarakat dengan meningkatkan tindakan Polisioner, bersama aparat kepolisian. "Kalau aparat kepolisian saja yang memback up, tentu akan sulit mewujudkan lingkungan yang aman. Makanya, perlunya kerjasama yang erat antara masyarakat dengan aparat kepolisian," pungkas Guntur.***