Desak Presiden Selamatkan KPK

Profesor di Sumbar Turun ke Jalan

Profesor di Sumbar Turun ke Jalan

PADANG (HR)-Beberapa profesor dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Barat, turun gunung berunjuk rasa. Mareka mendesak Presiden RI Joko Widodo segera bertindak menyelamatkan KPK. Aksi dukungan terhadap KPK itu digelar Selasa (27/1) di Padang.

Mereka di antaranya Rektor Universitas Andalas (Unand) Prof Dr Werry Darta Taifur, Pakar Hukum Tata Negara Unand Prof Dr Saldi Isra, Dosen UNP Prof Dr Mestika Zet bersama puluhan penggiat antikorupsi dan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sumatera Barat Antikorupsi.

Selain meminta Presiden Jokowi menghentikan kriminalisasi terhadap KPK, peserta aksi juga meminta Presiden mencopot Kepala Bagian Reskrim Mabes Polri.


Aksi dimulai dengan longmarch dari Kantor RRI Padang menuju pagar depan Kantor Gubernur Sumbar. Pakar Hukum Tata Negara Unand Padang, Saldi Isra berpendapat, konflik KPK dan Polri menjadi ujian seratus hari kerja Presiden Joko Widodo.

"Jika masalah tersebut bisa diselesaikan, maka Joko Widodo akan memiliki modal kuat meneruskan pemerintahan. Sebaliknya, jika kisruh tersebut berlarut-larut, maka Joko Widodo akan terus terombang-ambing dalam kepentingan pihak tertentu," ujarnya.

Untuk itu kata Saldi Isra, Presiden Joko Widodo harus bersikap tegas meminta Polri menghentikan upaya kriminalisasi yang dilakukan terhadap pimpinan KPK ataupun unsur lainnya.

"Pada 30 Januari 2015 adalah seratus hari kerja Jokowi. Masa ini, merupakan turbulensi atau guncangan hebat bagi kepemimpinan Jokowi. Jika dia mampu menyelesaikannya, maka ia memiliki modal kepercayaan dari yang kuat," paparnya.

Sedangkan Rektor Unand Weri Darta Taifur dengan tegas mendesak Presiden agar menghentikan kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK. "Presiden harus berdiri di atas konstitusi bukan pada kehendak partai, dengan menghentikan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, serta mencopot Kepala Bagian Reskrim Mabes Polri," katanya.

Sejarawan Sumbar yang juga dosen Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed mengatakan, konflik yang terjadi saat ini antara KPK dengan Polri merupakan langkah kriminalisasi terhadap KPK. Menurut Mestika, ini merupakan kisah lanjutan pertarungan  cicak versus buaya.

"Semua komponen masyarakat sipil harus save KPK, terutama di Sumbar sebagai front terdepan gerakan antikorupsi," ujarnya.

Dikatakan Mestika Zed, Presiden sebagai manajer negara mempunyai wewenang intervensi dalam kasus ini karena negara dalam keadaan krisis. Selain itu juga menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.  

Amankan Mega
Dari Jakarta, pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, menduga upaya kriminalisasi terhadap KPK untuk mengamankan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri terkait kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus itu tengah diusut KPK.

"Kriminalisasi KPK ini diduga untuk mengamankan Megawati dari jeratan kasus BLBI oleh KPK yang telah memanggil beberapa menteri saat Megawati menjabat sebagai Presiden, seperti Rizal Ramli dan Rini Soemarno," ujarnya, Selasa (27/1), seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, KPK telah memulai penyelidikan BLBI saat Antasari Azhar menjadi Ketua KPK. Sejak saat itu, upaya kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut sampai saat ini. Ada beberapa indikasi yang seolah mengonfirmasi dugaan tersebut. Pertama adalah fakta bahwa pengangkatan Irjen (Pol) Budi Waseso sebagai Kepala Bareskrim Polri yang bernuansa politik. Pasalnya, Budi Waseso merupakan loyalis Komjen Budi Gunawan, yang dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati.
"Itulah mengapa dia (Budi Waseso) dinilai kurang patuh pada instruksi Wakapolri (dalam hal penangkapan komisioner KPK Bambang Widjojanto)," ujar Igor.

Indikasi kedua, kata dia, ketika Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, Budi Waseso justru mengatakan bahwa ada pengkhianat di dalam tubuh Mabes Polri.
"Apalagi Budi Waseso mengatakan itu ketika baru saja menjabat Kabareskim, yang pelantikannya dilakukannya secara tertutup di gedung utama Mabes Polri," kata dia.

Indikasi ketiga, Budi Waseso belum pernah menjelaskan kepada masyarakat mengenai alasan dan cara penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Indikasi keempat, Bambang Widjojanto pernah mengimbau Budi Waseso untuk segera melaporkan harta kekayaannya ke laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di KPK. Namun, tidak beberapa lama, Bambang Widjojanto justru ditangkap aparat Bareskim pimpinan Budi Waseso atas tuduhan kesaksian palsu Pilkada Kotawaringin lima tahun silam.

Indikasi kelima, ada kecenderungan dari Budi Waseso untuk mengganti para bawahannya dengan mereka-mereka yang sejalan dengan kepentingannya. "Semua hal itu diduga untuk mengamankan Megawati," kata dia.

Dibantah
Menanggapi tudingan Igor Dirgantara, Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menegaskan, PDI-P tidak punya niat untuk memperlemah KPK. Terkait penyelidikan kasus BLBI itu, kata Eva, PDI-P justru mendorong KPK untuk mengusut tuntas kasus itu. Dia meyakini, Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden sama sekali tidak terlibat.

"Memang dalam pelaksanaannya (BLBI) ada malapraktik, masih banyak penunggak yang perlu disidik karena ngemplang, ada yang lari tidak membayar dan lain-lain. Jadi unsur yang merugikan negara adalah dilakukan oleh para pengusaha nakal tersebut. Kejar aja mereka," kata Eva.
BG Harus Mundur

Di tempat terpisah, sosiolog UGM Arie Sujito mengatakan, sikap Komjen Budi Gunawan (BG) yang belum mengundurkan diri dari calon tunggal Kapolri meski telah ditetapkan sebagai tersangka, justru akan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

"Kalau tidak mundur, citra Polri akan semakin hancur. Pengunduran diri Budi Gunawan satu-satunya cara kalau mau menyelamatkan Polri dan KPK juga," ujarnya.

Menurut Arie, pengunduran diri Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto adalah tanda bahwa standard moral institusi itu tinggi. Maka itu publik semakin percaya dengan KPK meski Bambang telah ditersangkakan oleh Bareskrim Polri. (kcm/dtc/met/h/mg-isr)