Menilik Kemiskinan

"Minyak Hitam, Hasil Kami Terima Juga Hitam"

RENGAT(HR)-Tekanan penduduk dan kelangkaan lahan untuk produksi akan menyebabkan konflik, karena tekanan penduduk menyebabkan perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Konflik penguasaan lahan ini disebabkan oleh tidak adanya pengakuan kuat tentang hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah dan sumber daya pertambangan.

Konflik vertikal kerap dipakai untuk menjelaskan konflik yang terjadi dalam interaksi antara negara dan rakyat. Negara sebagai entitas politik yang memiliki otoritas dan kewenangan memaksa, tampil secara antagonis berhadap-hadapan dengan rakyat. Konflik dalam kategori ini terjadi secara tidak berimbang dan kerap rakyat sebagai pihak yang dikalahkan.

Konflik tambang dan masyarakat adat adalah cermin kegagalan dialog Pemda, masyarakat adat dan pengusaha, mulai dari memutuskan mengekstrak sampai ke rantai nilai distribusi pendapatan dan pengelolaannya .

Distribusi sumber daya ekonomi yang tidak adil pada masyarakat adat, sebagai akibat dari tidak diakuinya hak masyarakat adat untuk pertambangan, maka masyarakat adat tidak memperoleh bagi hasil atas kegiatan pertambangan di tanah ulayat. Banyak studi ekonomi dan politik mempelajari akar masalah konflik.

Apabila hal tersebut tercampur, maka akan menyebabkan eskalasi konflik yang lebih besar disertai dengan tindak kekerasan.

Ini bisa saja terjadi pada masyarakat yang berada di wilayah sekitar wilayah tambang minyak bumi yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu. Salah satunya seperti yang didatangi Haluan Riau, Desa Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim.

Dimana daerah ini ternyata sejak tahun 1952 sudah dilakukan penambangan minyak bumi yang dilakukan PT Medco. Namun tak sedikit pun masyarakat merasakan nikmat dari hasil bumi yang diambil dari tanah desa tersebut. Ironisnya, masyarakat desa tersebut 70 persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan.

Tetuah adat di desa yang dihuni masyarakat Suku Talang Mamak tersebut yang biasa disebut Batin yakni Batin Madi menyebutkan perusahaan sudah beroperasi sejak tahun 1957, namun masyarakat tetap saja tidak merasakan apapun dari tambang tersebut selain hanya menjadi penonton di kampung halaman kami sendiri.

"Kami hanya menjadi penonton, tak sedikit pun yang kami rasakan untuk bisa meningkatkan perekonomian kami yang sejauh ini hanya mengandalkan hasil kebun karet kami yang terkadang hanya cukup untuk makan saja hasilnya. Belum lagi masyarakat yang tidak memiliki kebun," tegasnya.

Ladang minyak yang dieksplorasi PT Medco, sebelumnya perusahaan milik Arifin Panigoro ini bisa menghasilkan dari lapangan yang mereka beri nama Field Binio tersebut lebih kurang 400 barel per hari dari lebih kurang 75 sumur minyak yang diekplorasi, meskipun dalam dua tahun ini hasil  tersebut menurun hingga 100 barel per hari.

"Minyak yang dihasilkan warnanya hitam, hasil yang kami dapat dari minyak hitam tersebut tetap membuat kehidupan kami juga hitam, ucap Kades Talang Sungai Limau Muhammad Inci.

Menurut Kades, pihaknya hanya ingin mendapatkan hak Coorporate Social Responsibilty (CSR) yang harusnya bisa mereka terima. Seharusnya sebagai daerah penghasil minyak, Talang Sungai Limau berhak mencicipi Dana Bagi hasil (DBH) dari pemerintah Pusat dan juga CSR dari pengeruk hasil bumi di desa tersebut.

Apa yang dilakukan oleh PT Medco ini tentunya tidak sesuai dengan Undang-undang Mineral dan Batu Bara pasal 95 huruf D, dimana pengembangan masyarakat didaerah tambang adalah kewajiban hukum dari perusahaan penambang. Begitu juga dengan UU Minyak dan Gas, pasal 40 ayat 5. (bersambung)