Mengenal Aneka Makanan Khas Petalangan

Gurihnya Sesagun Bakar dan Tepung Tuak Menggugah Selera

Gurihnya Sesagun Bakar dan Tepung Tuak Menggugah Selera

Aroma wanginya kian menyengat dan menebar seantero, manakala wanita paroh baya ini mulai mengaduk-ngaduk makanan yang dimasak di dapur sederhana menggunakan tungku tanah liat dan berbahan bakar kayu api.

Sesekali ia palingkan wajahnya dari tungku agar tak tersapu asap yang menebal dari hasil pembakaran kayu bakar jenis kayu para alias batang karet tua tersebut. Namun, dipercaya dari pembakaran ala tradisionil itu, sesagun (sagun) semakin menambah citra enaknya. Tak percaya, mari kita cicipi pelan-pelan.

Adalah sesagun bakar atau juga disebut sagun, adalah salah satu diantara banyak makanan khas ali suku Petalangan. Namun, kini makanan terbuat dari tepung beras padi ladang itu semakin susah ditemukan. Dulu, jenis makanan kering ini menjadi makanan resmi ketika ada helat dan kenduri dalam suku Petalangan yang tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Pelalawan ini. Seiring bertukarnya masa, makanan yang gampang-gampang sulit membuatnya ini, mulai terlupakan.

"Dulu sewaktu saya masih gadis hingga beranak dua, sesagun bakar ini menjadi hidangan atau kuliner kebanggan dalam suku Petalangan. Di saat ada jamuan makanan seperti pesta nikah kawin, maka sesagun ini pasti selalu tersaji. Tapi kini, anak-anak sekarang lebih suka yang namanya makanan cepat saji ala eropa dan sebagainya. Sehingga makanan ciri khas daerah menjadi terlupakan. Dan saya berani bertaruh, banyak anak-anak gadis suku Petalangan ini yang tidak tahu cara membuatnya," ungkap Mak Utih, wanita yang sudah beranak-pinak 7 orang ini, berkisah bagaimana caranya membuat sesagun bakar yang memiliki citra rasa tinggi.

Tak, hanya sekedar bebual-bual kosong, wanita yang sudah dikaruniai selusin cucu ini pun langsung ke dapur sederhananya yang dipenuhi asap tebal dari pembakaran kayu bakar jenis para itu, Minggu (13/12).

Adalah Wak Jonih, anak kedua dari Mak Utih yang baru tiba dari perantauan bersama keluarga kecilnya dua hari yang lalu dari Serawak, Malaysia. Wak Jonih macam labu di ondam, bak bongkak nak melotui (keinginan yang kuat) yang tak tertahankan untuk pulang ke tanah kelahirannya, Bandar Petalangan.

Konon, selain didera rindu yang bergelora ingin bersua dengan emak tersayang, pria yang nyaris 21 tahun merantau ke negeri seberang ini, juga merindukan gurihnya sesagun bakar made ini emaknya. Semasa kecil, sesagun ini amat akrab di lidahnya.

"Anak saya sengaja minta dibuatkan penganan ini, sesagun bakar. Sebenarnya cara membuatnya amat sederhana. Bila ingin mendatangkan rasa yang nikmat, sebaiknya menggunakan tepung beras padi ladang. Kebetulan, padi ladang masih tersisa beberapa petak, makanya saya buatkanlah sesagun untuk anak cucu yang katanya lebih dari sekedar mengidam untuk mencicipi? sesagun ini," ungkap Mak Utih, sembari bertengkuluk (penutup kepala khas Petalangan) indah menutupi rambutnya yang memutih rata itu.

Mak Utih, tak sendirian membuat penganan gurih itu, ia ditemani wanita seberang, menantunya yang telah memberikannya lima orang cucu itu. Asnidar, istri dari Wak ?Jonih, turut nimbrung mulai mengaduk sesagun bakar yang mulai terjerang itu.
"Ya sekalian ikut belajar dengan mak ini, karena saya pun tak bisa membuat penganan ini," sahut Kak Asnidar dari dapur.

Tak berselang lama, maka sesagun bearoma khas itu pun tersaji untuk disantap Wak Jonih dan keluarga. Sesagun, yang berasa manis menggoda ini pun barang sekejap ludes menjadi santapan keluarga Mak Utih. Hanya satu kata, Sesagun buatan Mak Utih lezat tiada tara.
Ternyata tak hanya sesagun bakar saja yang dibuat oleh Mak Utih menyambut kedatangan anaknya itu, di dalam dandang hitam buatan tahun 60-an itu, Mak Utih juga memasak penganan khas lainnya, Tepung Tuak. Tepung Tuak ini bukanlah sejenis minuman keras yang memabukkan itu, tapi penganan dari tepung beras juga yang dimasak direbus menggunakan daun pisang.

"Sesagun bakar dan tepung tuak ini, makanan khas dan amat gurih. Sebenarnya, penganan ini mesti dilestarikan dan sebaiknya dikenalkan kepada generasi muda. Bisa saja, oleh pemerintah penganan ini di perlombakan saban musim atau melalui kegiatan-kegiatan pemerintah, makanan ini disajikan. Karena, jika kita yang tak melestarikan kuliner tradisionil ini, ya siapa lagi," pungkas Wak Jonih.***