TAHUN 2016 MENDATANG

BTN akan Cari Pendanaan Rp12 T

BTN akan Cari Pendanaan Rp12 T

JAKARTA (HR)-Bank Tabungan Negara telah menetapkan sejumlah target bisnis untuk tahun 2016 mendatang. Salah satunya, bank ini menargetkan pertumbuhan laba bersih lebih dari 25 persen di 2016.

Target laba juga sejalan dengan target pertumbuhan kredit di kisaran 18 persen hingga 20 persen. Selain itu, BTN menargetkan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) bisa tumbuh sebesar 19-21 persen, sehingga berdampak pada total aset yang diperkirakan naik berkisar 18 persen hingga 20 persen.

Untuk menyokong pertumbuhan kredit tersebut, bank yang memiliki kode emiten BBTN ini membutuhkan pendanaan di luar DPK sebesar Rp10 triliun sampai dengan Rp 12 triliun untuk wholesale.

Direktur Treasury dan Asset Management BTN Iman Nugroho Soeko menyebutkan, dana tersebut setidaknya akan dicari perseroan dengan beberapa cara semisal melakukan pinjaman bilateral, menerbitkan surat utang atau obligasi dan juga sekuritisasi.
"Kami sebetulnya tetap memaksimalkan pengumpulan DPK karena biaya dananya lebih murah. Kalau wholesale lebih mahal karena jangka panjang seperti pinjaman, obligasi, dan juga sekuritisasi," jelas Iman.

Ia menuturkan, jelang tutup tahun 2015, bank spesialis KPR ini menerbitkan sekuritisasi berupa EBA SP sebesar Rp200 miliar. Dengan berjalannya skema EBA SP ini, perseroan berecana untuk menerbitkan EBA SP sebesar Rp1 triliun di tahun 2016.

Sementara itu, perseroan pun masih memiliki kesempatan untuk menerbitkan obligasi berkelanjutan sebesar Rp3 triliun. Namun untuk penerbitan ini, perseroan akan melihat kondisi likuiditas BTN tahun depan. Jika memungkinkan, BTN lebih mengutamakan untuk menerbitkan negotiable certificate of deposit (NCD) ketimbang obligasi.
Alasannya, biaya untuk menerbitkan NCD jauh lebih murah ketimbang menerbitkan obligasi.

"Kalau ingin murah, maka kami terbitkan NCD karena dengan tenor yang tidak terlalu panjang sehingga biaya dana yang dibayarkan pun lebih murah. NCD mengacu pada tingkat suku bunga deposito sedangkan obligasi mengacu kepada tingkat suku bunga SUN yang lebih mahal. Jadi kami nanti akan melihat berdasarkan kebutuhan," jelas Iman.

Lebih lanjut Iman menambahkan, perseroan pun masih memiliki pundi-pundi likuiditas jika keadaan mendesak berupa pinjaman bilateral dengan Bank ICBC sebesar Rp10,4 triliun. Kuartal III-2015 kemarin, BTN meneken perjanjian fasilitas pinjaman dari PT Bank ICBC Indonesia senilai 5 miliar remimbi atau setara dengan Rp11,4 triliun. Pinjaman dengan skema bilateral loan agreement ini dapat ditarik dalam bentuk rupiah.

Sokongan dana dari bank yang berbasis di Cina tersebut ditujukan untuk mendukung infrastruktur dan pembangunan perumahan di Indonesia, terutama program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui BTN. Adapun, untuk tahap awal, BTN baru akan menarik fasilitas pinjaman sebesar Rp1 triliun.
Pinjaman tahap pertama ini berjangka waktu tiga tahun.

"Kemarin kami sudah cairkan pinjaman sebesar Rp1 triliun selama 3 tahun. Pinjaman berbasis swap renminbi sehingga pada saat mencairkan, kami akan melihat kondisi dan situasi swap market. Jika kondisi sedang tidak bagus, maka masing-masing pihak bisa review untuk menunda pencairan pinjaman ini. Jadi semuanya akan sangat tergantung pada kondisi pasar," ujar Iman.

Catatan saja, hingga September 2015, kinerja BTN terbilang moncer. Selain laba yang melonjak hingga 61,8 persen, BTN juga mampu mencetak pertumbuhan kredit sebesar 19,04 persen. Bank ini juga membukukan kenaikan DPK sebesar 22,22 persen. Realisasi DPK yang berhasil dikumpulkan perseroan mencapai Rp124,47 triliun atau meningkat dibanding periode yang sama tahun 2014 kemarin yang sebesar Rp101,84 triliun.

Target BTN lainnya di tahun depan, margin bunga bersih (NIM) sebesar 5-5,2 persen, loan to deposit ratio (LDR) 103-105 persen, serta biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) di kisaran 82–84 persen. Sementara, untuk kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross, BTN menargetkan sekitar 3 persen atau lebih rendah.

Emiten perbankan ini juga berupaya mempertahankan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) di kisaran 14 persen hingga 16 persen pada 2016.(kon/mel)