KPK dan Polri Makin Panas

Keganjilan Warnai Penangkapan Bambang

Keganjilan Warnai Penangkapan Bambang

JAKARTA (HR)-Hubungan antara Kepolisian Republik Indonesia  dan Komisi Pemberantasan Korupsi, saat ini kian memanas. Satu demi satu, pimpinan lembaga antirasuah itu terus mengalami sandungan. Kali ini, giliran Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto yang mengalaminya.

Ia diamankan penyidik Bareskrim Polri, Jumat (23/1). Buntutnya, Bambang pun ditahan. Sejumlah pihak menilai, ada keganjilan dalam proses hukum terhadap Bambang Widjojanto.

Suasana panas yang terjadi di lembaga antirasuah itu, sudah bermula saat calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Sejak saat itu, bermacam sandungan dialami pimpinan KPK. Awalnya, adalah Ketua KPK Abraham Samad, yang diterpa berbagai isu miring. Mulai dari foto mesra dengan wanita, laporan ke DPR, hingga pengaduan ke Bareskrim dan Kejaksaan Agung.

Bambang Widjojanto ditahan penyidik Bareskrim Polri, tak jauh dari sekolah anaknya di SD IT Nurul Fikri, Depok. Penangkapan dilakukan Jumat pagi kemarin sekitar pukul 07.30 WIB, ketika Bambang selesai mengantar anaknya yang masih sekolah SD.

Kapolsek Sukmajaya Depok ada di lokasi melakukan pengaturan lalu lintas. Kapolsek yang meminta mobil Bambang menepi. Tak lama kemudian, 15 penyidik datang dan langsung menunjukkan surat penahanan. Bambang yang bergamis dan berpeci haji, sempat terlibat perdebatan dengan penyidik.
Tak lama, akhirnya Bambang diangkut dengan tangan diborgol. Dia sempat hendak diborgol di belakang, tapi dia meminta diborgol di depan.
Putrinya Izzati ikut di dalam mobil yang membawa ke Bareskrim Polri. Di dalam Bambang pun sempat dibentak penyidik dengan ancaman akan dilakban mulutnya. Bambang di dalam mobil pun bahkan sambil memangku anaknya. Sampai di Bareskrim Bambang langsung digelandang masuk, sedang sang putri diantar pulang oleh Kapolsek.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie, Bambang disangkakan dengan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP, yakni menyuruh melakukan atau memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 lalu. Hal itu terkait dengan gugatan Pilkada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Kasus itu bermula dari laporan masyarakat Nomor 67/1/2015, yang diterima Mabes Polri 15 Januari 2015. Namun Polri tak mau menyebutkan siapa pelapor.
 
"Penangkapan ini sudah memenuhi standar prosedur yang berlaku. Yakni penyidik sudah menemukan tiga alat bukti, mulai dari surat-surat berupa dokumen, keterangan saksi dan keterangan saksi ahli," terangnya.

Ganjil
Namun sejumah pihak menilai adanya sejumlah keganjilan dalam penangkapan itu. Di antaranya, terdapat perbedaan tanggal laporan versi Polri dan Sugianto Sabran sebagai pelapor.

Mabes Polri menyebut Sugianto Sabran melaporkan Bambang Widjajanto atas dugaan keterangan palsu pada 15 Januari 2015. Sementara dalam tanda bukti laporan yang ditunjukkan Sugianto, tanda bukti lapor itu bernomor TBL/34/I/2015/Bareskrim. Ia melaporkan Bambang atas tindak pidana memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Laporan itu ditandatangani pelapor Sugianto Sabran dan Perwira Siaga Kompol Ade Andrian. Jelas terlihat surat itu ditandatangani pada tanggal 19 Januari. Mengapa berbeda?
"Mungkin salah dicatat ke saya. Saya akan cek lagi ke penyidik," ujar Ronny Sompie.

Sedangkan mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga advokat senior, Amir Syamsuddin juga menilai ada keganjilan dalam kasus yang tengah menerpa Bambang. Dikatakan, berdasarkan pengalamannya sebagai pengacara, hanya hakim yang memimpin sidang yang dapat menetapkan seorang saksi melakukan sumpah palsu di hadapan persidangan.

Hakim, sebut Amir, juga harus terlebih dahulu mengingatkan yang bersangkutan akan ancaman hukuman karena sumpah palsu itu.
"Kalau saksi masih berketetapan pada kesaksiannya yang dinilai palsu oleh majelis hakim, maka ketua majelis hakim kemudian membuat penetapan dan memerintahkan jaksa memproses laporan kepada polisi atas dasar dugaan tindak pidana kesaksian palsu di bawah sumpah dalam sidang pengadilan," ujarnya.

Amir mengaku belum pernah mengetahui adanya proses pidana karena membujuk seorang saksi bersumpah palsu. Terlebih lagi, kata Amir, ketua majelis hakim sudah mengingatkan saksi tersebut bahwa dia akan bertanggung jawab atas setiap kesaksian di bawah sumpah.
"Yang jelas adalah pelaku tindak pidana kesaksian palsu itu bertanggung jawab penuh sendiri atas perbuatannya," ujarnya.

Sedangkan mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, menyoroti tahap-tahap penyelidikan yang dilakukan Polri terhadap Bambang. Di antaranya, soal laporan terkait Bambang yang pernah dicabut, lantas dimasukkan kembali ke Bareskrim pada 19 Januari 2015.

"Kalau dicabut dan dilaporkan kembali, itu akrobat. Harusnya kan dikumpulkan dulu fakta-fakta di lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang suatu perkara, bukan mengumpulkan barang bukti. Kalau mengumpulkan barang bukti itu namanya pemulung barang bukti. Nggak boleh," kritik Oegroseno.

Selanjutnya, tahapan sebelum tersangka dicokok haruslah diawali dengan pemanggilan saksi-saksi. Baru setelah itu ada pemanggilan tersangka. Bila tersangka yang bersangkutan adalah pejabat negara, seperti Bambang, maka seharusnya penangkapan dibicarakan dulu sampai tingkat Kapolri.

Ia menyimpulkan, penetapan Bambang sebagai tersangka tak memenuhi tahap-tahap formal seperti yang diutarakan Oegroseno. Dengan kata lain, langkah Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto dinilai cacat.

"Sekarang kalau mau digugat surat keputusannya Kabareskrim itu sudah cacat hukum. Jadi ke bawah, cacat hukum semua, di PTUN kan," ujar Oegroseno.


Sementara salah seorang kuasa hukum Bambang, Nursyahbani Katjasungkana, juga mengeluhkan sikap penyidik Bareskrim Polri, yang terkesan menghalang-halangi pertemuan kuasa hukum dengan Bambang Widjojanto di ruang penyidik.

"Kami sempat bersitegang dengan penyidik tadi. Setelah berdebat, kami diberikan lima menit untuk berkonsultasi," ujar Nursyahbani.

Nur mengatakan, tim kuasa hukum tidak sempat mengorek banyak informasi atas Bambang lantaran waktu yang minim. Tim kuasa hukum hanya berhasil mendapatkan kronologi saat Bambang ditangkap, Jumat pagi kemarin. Dari kronologi yang diungkapkan Bambang sendiri, tim kuasa hukum menemukan dua hal yang tidak berkenan.

Pertama, penyidik tidak dapat menunjukkan surat penggeledahan. Kedua, penyidik juga tidak dapat menunjukkan surat penangkapan Bambang. Kedua surat itu baru ditunjukkan saat Bambang berada di Mabes Polri.
"Kami bilang sama Bambang akan mem-back up dia. Sampai saat ini, sudah ada 60 kuasa hukum yang bersedia membantu. Jumlah itu terus bertambah," lanjut Nur.

Ditambahkannya, Selama di Bareskrim Mabes Polri, Bambang ditempatkan di ruangan ber-AC berukuran 2 x 2 meter. Di dalam ruangan, hanya terdapat kursi dan meja penuh tumpukan kertas berkas. Selama belum diperiksa, Bambang mengisi waktu dengan membaca Alquran.

Tak Etis
Sedangkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai, cara penangkapan Bambang tersebut tidak tepat. "Penangkapan dilakukan di ruang publik saat mengantar anak ke sekolah, ini tidak etis," ujarnya.

Menurut dia, institusi Polri sebagai lembaga negara seharusnya bisa membangun suasana yang lebih baik.
"Polemik dua institusi penegak hukum tersebut justru dapat memicu keresahan. Masyarakat justru bertanya-tanya, mengapa dua institusi tersebut seolah berselisih," katanya.


Wajar
Menanggapi hal itu, Kadiv Humas Polri Irjen Ronny F Sompie menegaskan bahwa langkah yang dilakukan penyidik Polri adalah sesuatu wajar. Menurutnya, penetapan status tersangka terhadap Bambang yang hanya berselang 4 hari sejak pelaporan, bukan hal yang aneh. Ronny juga membantah penetapan status tersangka terkesan terburu-buru dan dikejar target.

"Bukan hal yang aneh (penetapan tersangka cepat). Proses penyidikan itu ketika sudah lengkap kenapa harus berlama-lama," ujarnya.

Dikatakan, saat masih menjabat di bagian reserse kriminal, dirinya juga pernah menyelidiki suatu kasus dan selesai dalam satu hari. Pada hari ketiganya, ia sudah menetapkan tersangka. "Ini justru bisa menjadi contoh. Penyidik Polri seperti ini seharusnya," katanya.

Ia menjelaskan, pengusutan kasus yang menjerat Bambang bukanlah asal-asalan. Penyelidikan telah dilakukan sesuai prosedur dengan alat bukti minimal dua. "Itu betul-betul disidangkan dan sidangnya memang menyatakan bersalah," tutup Ronny.

Sedangkan Kabareskrim Mabes Polri Irjen Budi Waseso menegaskan, penangkapan terhadap Bambang sesuai dengan aturan yang berlaku. Budi meyakinkan, seluruh proses penyidikan bersifat independen dan bertanggung jawab, sehingga tidak ada hubungannya dengan hubungan antara Polri dan KPK.
"Ini murni penegakan hukum pada pelaku," ujarnya.

Mantan Kapolda Gorontalo ini mengatakan, tindakan pelanggaran hukum sesorang tidak berkaitan dengan institusi tempatnya bernaung. Menurutnya, penangkapan Bambang sudah dilaporkan kepada Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pimpinan tertinggi Polri saat ini.

Menurutnya, jika KPK merasa ada keganjilan dalam proses penangkapan itu, pihaknya mempersilakan lembaga itu mengajukan praperadilan atas penangkapan Bambang tersebut. Melalui sidang praperadilan bisa diketahui apakah mekanisme yang ditempuh penyidik menyalahi aturan atau tidak.
"Nanti kita lihatnya dari situ (pengadilan)," ujarnya.

Terkait hal itu, tim kuasa hukum Bambang Widjojanto menyatakan siap mengajukan praperadilan jika Bambang tak dibebaskan sampai besok Sabtu (24/1). "Kalau masih belum dilepaskan hingga besok, akan dilanjutkan dengan praperadilan," ujar Nursyahbani Katjasungkana. (bbs, dtc, kom, viv, sis)